Pesangon bagi Korban PHK karena Kesalahan Berat
Utama

Pesangon bagi Korban PHK karena Kesalahan Berat

Sepanjang Peraturan Perusahaan tidak melarang, uang pesangon masih bisa diberikan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Pesangon bagi Korban PHK karena Kesalahan Berat
Hukumonline

 

Putusan menjadi tambah menarik ketika uang pesangon itu dikalkulasikan, jumlahnya sedikit berlebih dari 'kerugian' yang harus ditanggung perusahaan akibat ulah Maruli. Menghukum perusahaan agar membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengantian hak sebesar Rp 27,6 juta, urai Heru dalam amar putusannya.

 

Ketua Pusat Kajian Hukum Ketenagakerjaan Universitas Pasundan Bandung, Wirawan, menyambut baik putusan ini. Menurutnya, majelis hakim dalam perkara ini memang sudah benar dalam melakukan penemuan hukum. Ketika Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi oleh Mahkamah Konstitusi, menurut saya terjadi kekosongan hukum. Terutama mengenai apakah buruh yang di-PHK karena kesalahan berat berhak atas pesangon atau tidak. Nah, putusan ini diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum itu, tandas Wirawan yang juga mantan Direktur LBH Bandung ini. Pesangon, lanjutnya, adalah hak 'mutlak' yang dimiliki buruh ketika di-PHK.

 

Pendapat berbeda dilontarkan Gandi Sugandhi. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Depnakertrans ini mengungkapkan bahwa buruh yang di-PHK karena kesalahan berat tidak berhak atas pesangon.

 

Prematur

Meski di satu sisi mengapresiasi putusan hakim yang dianggap sebagai terobosan hukum ini, di sisi lain Wirawan juga mengaku kecewa. Menurutnya, hakim terlalu terburu-buru memutuskan hubungan kerja Maruli. PHI tidak memiliki ranah untuk menyatakan seseorang bersalah secara pidana, ujarnya.

 

Bagi Wirawan, ketentuan peraturan perusahaan Taylor Indonesia yang menyebut penggunaan fasilitas perusahaan untuk keperluan pribadi juga masuk ke dalam konstruksi tindak pidana seperti pencurian atau penggelapan. Sehingga seharusnya sebelum di PHK, dibuktikan lebih dulu dengan putusan pidana. Ini sejalan dengan putusan MK dan Surat Edaran Menteri,  tuturnya.

 

Hal senada diungkapkan Gandi. Meski atas kesalahan berat si pekerja tidak berhak atas pesangon, namun seharusnya PHI menunggu putusan pidana terlebih dulu untuk melakukan PHK, cetusnya.

 

Karena dianggap prematur, Wirawan menilai seharusnya putusan hakim adalah gugatan tidak dapat (niet ontvantkelijk verklaard, NO). Hakim harusnya fair. Kalau gugatan buruh sering di-NO karena dianggap obscuur, maka gugatan pengusaha yang prematur seperti ini juga di-NO dong.

 

Campur aduk

Pada bagian pertimbangan hukumnya, hakim mempertimbangkan pengakuan Maruli yang membenarkan bahwa dirinya telah memakai uang kantor senilai Rp27 jutaan. Atas adanya pengakuan itu dan alat bukti yang lain, hakim akhirnya mengabulkan tuntutan PHK.

 

Terhadap hal ini, Wirawan berkesimpulan bahwa hukum acara pembuktian di PHI masih tidak jelas. Kalau memang begitu, hukum acara pembuktian di PHI masih campur aduk, imbuhnya.

 

Lebih jauh Wirawan menyatakan, UU No 2 Tahun 2004 tentang PPHI memang memakai hukum acara perdata biasa untuk masalah alat bukti. Sementara dalam Pasal 164 HIR, pengakuan memang menjadi salah satu alat bukti yang diterima dalam peradilan perdata.

 

Namun begitu, Wirawan mengingatkan kepada hakim PHI untuk tidak sembarangan menggunakan pengakuan sebagai alat bukti. Kalau yang diungkapkan dalam pengakuan di sidang PHI itu adalah masalah perdata, tidak jadi soal. Tapi kalau pengakuan pekerja tentang tuduhan pencurian atau penggelapan yang dialamatkan kepada dirinya, maka pengakuan itu tidak bisa dijadikan alat bukti, pungkasnya.

 

Entah kabar baik atau sebaliknya yang bisa diambil dari putusan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta ini. Majelis hakim yang diketuai Heru Pramono pada Selasa (18/3) memutuskan mengabulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas nama Maruli Simatupang dari tempatnya bekerja, PT Taylor Indonesia.

 

Majelis hakim beranggapan bahwa tindakan Maruli yang telah menggunakan uang perusahaan sekitar Rp27 juta-an untuk keperluan pribadi sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan 'sanksi' PHK. Pasalnya, peraturan perusahaan di PT Taylor Indonesia itu menyatakan, perusahaan berhak melakukan PHK bagi karyawan yang memakai fasilitas atau dana perusahaan untuk keperluan pribadi.

 

Putusan ini menjadi menarik ketika majelis hakim juga memerintahkan perusahaan untuk membayarkan pesangon sebanyak 1 kali kepada Maruli. Padahal Pasal 158 UU Ketenagakerjaan -sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi- menyatakan buruh yang di-PHK karena kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian hak (UPH). Sementara UU Ketenagakerjaan membedakan secara tegas antara pesangon dengan UPH. Lantas apakah buruh yang di-PHK itu berhak atas pesangon?

 

Majelis hakim bisa jadi punya dasar menghukum PT Taylor Indonesia untuk membayarkan pesangon. Menurut majelis, pesangon bagi buruh yang di-PHK karena kesalahan berat masih belum jelas pengaturannya. Apabila peraturan perundang-undangan maupun peraturan perusahaan tidak mengatur, maka hakim wajib menemukan hukum, ujar Juanda Pangaribuan, anggota majelis hakim yang lain saat gilirannya membacakan putusan.

 

Dalam konteks perkara ini, hakim melihat bahwa UU Ketenagakerjaan tidak tegas melarang hak buruh atas pesangon. Selain itu, peraturan perusahaan di PT Taylor hanya menyebutkan mengenai sanksi PHK. Namun tidak mengatur mengenai tidak berhaknya pekerja yang di PHK karena memakai fasilitas kantor untuk mendapatkan pesangon, sambung Juanda.

Tags: