Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Oleh: Muhammad Ichsan, SH.

Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi

Apakah kolusi dokter dan perusahaan farmasi itu riil? Apa bentuknya? Apa akibtanya? Siapa yang dirugikan? Apa sanksinya? Inilah antara lain pertanyaan yang banyak disampaikan konsumen.

Bacaan 2 Menit
Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi
Hukumonline

 

Dari uraian di atas semakin jelas bahwa kolusi  menyebabkan harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di luar negeri.

 

Aspek hukum perbuatan kolusi

Walau kolusi dokter - perusahaan farmasi sulit dibuktikan, pada tahun 2002 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengantisipasinya melalui perangkat Surat Keputusan (SK) Kepala BPOM No. HK.00.05.3.02706 tentang Promosi Obat. Pasal 9 SK ini memuat sejumlah larangan bagi Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi.

 

Mereka dilarang (a) melakukan kerja sama dengan apotik dan penulis resep; (b) kerja sama dalam pengresepan obat dengan apotik dan/atau penulis resep dalam suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu; (c) memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank draft, pinjaman, voucher, tiket) dan/atau barang kepada penulis resep yang meresepkan obat produksinya dan/atau yang didistribusikan. Sedangkan pengawasan terhadap kegiatan promosi obat oleh perusahaan farmasi dilakukan sepenuhnya BPOM dengan membentuk komisi independen.  

 

Mereka yang melanggar larangan tadi bisa dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin edar obat bersangkutan.

 

Mengacu pada sanksi pidana sebagaimana dimaksud SK BPOM tadi, pasal 62 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :  ‘Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 Ayat (2), pasal 15, pasal 17 Ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lima tahun atau pidana denda maksimal dua miliar.

 

Sayang, langkah mundur justru datang dari Departemen Kesehatan yang  pada tanggal 11 Juni 2007 memfasilitasi kesepakatan bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan GP Farmasi membentuk ‘Etika Promosi Obat'. Padahal izin usaha perusahaan farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) SK Menkes RI No.1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perusahaan Besar Farmasi. Demikian juga  izin praktek dokter dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pasal 37 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

 

Seharusnya Depkes proaktif menghentikan kolusi dokter - perusahaan farmasi sekaligus melindungi rakyat dari kesulitan membeli obat. Caranya, antara lain menerapkan perangkat hukum dengan sanksi yang tegas dan pasti. Bukan sebaliknya menerbitkan etika/kode etik yang justru cukup dan terbatas hanya di lingkungan organisasi masing-masing, seperti Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) untuk kalangan dokter.

 

Ada beberapa poin ‘Etika Promosi Obat' yang patut dikemukakan di sini. Pertama, seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu. Kedua, dukungan apapun yang diberikan perusahaan farmasi kepada seorang dokter untuk menghadiri pertemuan ilmiah tidak boleh didikaitkan dengan kewajiban untuk mempromosikan atau meresepkan suatu produk. Ketiga, perusahaan farmasi boleh memberikan sponsor kepada seorang dokter secara individual dalam rangka pendidikan kedokteran berkelanjutan, yaitu hanya untuk biaya registrasi, akomodasi dan transportasi dari dan ke tempat acara pendidikan kedokteran berkelanjutan.

 

Keempat, perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium dan atau uang saku kepada seorang dokter untuk menghadiri pendidikan kedokteran berkelanjutan, kecuali dokter tersebut berkedudukan sebagai pembicara atau menjadi moderator. Kelima, dalam hal pemberian donasi kepada profesi kedokteran, perusahaan farmasi tidak boleh menawarkan hadiah/ penghargaan, insentif, donasi, finansial dalam bentuk lain sejenis, yang dikaitkan dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat perusahaan tertentu. Keenam, pemberian donasi dan atau hadiah dari perusahaan farmasi hanya diperbolehkan untuk organisasi profesi kedokteran dan tidak diberikan kepada dokter secara individual. Terakhir, ketujuh, Ikatan Dokter Indonesia harus menyusun dan memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, khususnya yang berkaitan dengan sponsorship atau pendanaan dari anggota GP Farmasi Indonesia serta melakukan koordinasi dengan perusahaan farmasi untuk tindak lanjutnya.

 

Sebelum adanya Etika Promosi Obat, sejak tahun 1983 telah berlaku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pasal 3 KODEKI menetapkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.  

 

Apakah dengan KODEKI ini prilaku dokter berubah sejak tahun 1983, sementara pelayanan medis dokter semakin mengarah pada ‘profit oriented', dibandingkan ‘service oriented' atau ‘social oriented'?. Masalahnya, harga obat tetap  tinggi dan kolusi diduga tetap berjalan.  

 

Perusahaan farmasi maupun dokter akan selalu menyiasati dengan berbagai cara menghindar dari ketentuan KODEKI maupun Etika Promosi Obat yang notabene tidak memiliki kekuatan hukum apapun, baik sanksi maupun eksekutorialnya.  Cara yang lazim dilakukan antara lain melampirkan brosur  seminar/temu ilmiah pada lembar transfer bank dan mengalokasikan komisi dokter pada jumlah gaji staf marketing guna menghindari keterlibatan perusahaan secara lansung.

 

Kolusi sebagai tindak pidana korupsi

Wantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan, bahwa korupsi itu terjadi karena ‘power tidak disertai dengan akuntabilitas' (‘Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan', Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 01 Maret 2006). Makna akuntabilitas adalah pertanggung jawaban dari seseorang yang diberi amanah untuk melaksanakan tugas kepada pihak yang memberikan amanah. Dokter sebagai tenaga professional memiliki power dan kewenangan untuk memutuskan diagnosis apa yang dia yakini benar, kewenangan memberikan perawatan dan pengobatan atas diagnosis yang telah diputuskan.

 

Mengacu pada model yang dikemukakan Syahruddin Rasul, maka power dan kewenangan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesional harus akuntabel. Seandainya tidak akuntabel atau tidak bisa diaudit keputusan-keputusannya, maka peluang korupsi akan tercipta.

 

Dasar hukum untuk melakukan audit terhadap semua keputusan dokter berupa diagnosis dan tindak lanjutnya tertuang dalam Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 434/Menkes/SK/X/ 1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Menurut regulasi ini, seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, dapat ‘dibuktikan' merupakan kata kunci yang memberi peluang untuk dilaksanakannya audit terhadap semua keputusan yang ditetapkan dokter dalam menggunakan power dan kewenangannya itu.

 

Relevan dengan itu, UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan ‘gratifikasi', yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa uang, ticket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya, dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

 

Dengan demikian, kolusi dokter – perusahaan farmasi berpotensi untuk dibawa ke ranah korupsi. Konsumen yang merasa dirugikan ulah dokter dan perusahaan farmasi bisa melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Celakanya, hingga saat ini KODEKI dan Etika Promosi Obat belum bisa sepenuhnya mengubah prilaku dokter dan perusahaan farmasi.

 

---------

*) Penulis adalah advokat di Jakarta. Ketua Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Konsumen Indonesia (LABHKI), dan Sekjen Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI).

 

Ketika Anda berobat ke dokter, pasti harapannya adalah kesembuhan. Anda tidak tahu apa penyakit Anda, sebagaimana Anda juga tidak tahu pilihan obat yang tepat untuk kesembuhan Anda. Sehingga Anda datang berobat ke dokter, karena dokterlah yang bisa mendiagnosis penyakit dan memilih obatnya. Dalam hubungan itu Anda menyerahkan sepenuhnya pilihan obat untuk kesembuhan Anda kepada dokter, yang kemudian menuliskan ‘resep'.   

 

Namun tanpa disadari, begitu Anda datang berobat ke dokter, ada kepentingan  lain di luar hubungan Anda dan dokter. Perusahaan-perusahaan farmasi berharap bagaimana agar dokter yang memeriksa Anda meresepkan obat-obatan produksi mereka. Obat yang diresepkan sang dokter kemudian Anda tebus ke apotik. Dan sesaat kemudian Anda terkejut. Ternyata obat yang sangat diperlukan untuk kesembuhan Anda sangatlah mahal, malah bisa di luar perkiraan semula.  

 

Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau Anda menebus separohnya. Anda tidak akan tahu mengapa obat yang dibutuhkan itu mahal, sepertihalnya Anda tidak tahu mengapa dokter meresepkan obat yang mahal. Dan kita juga tidak akan pernah tahu apakah jenis dan kualitas obat mahal yang diresepkan dokter berguna atau tidaknya bagi kesembuhan anda.

 

Obat resep dokter … ya mahal. Kenapa? Karena obat berasal dari perusahaan farmasi yang punya kepentingan finansial terhadap resep yang ditulis dokter. Dengan kata lain, sakitnya pasien dan penulisan resep dokter menjadi substansi hubungan kolusi dan marketing bisnis perusahaan farmasi. Apakah Anda tahu itu? Mungkin menduga-duga. Tetapi perusahaan farmasi sejatinya tidak menginginkan Anda tahu hubungan mutualisma mereka.  Anda sakit, ingin sembuh, lalu berobat ke dokter, terus dokter memberi resep obat, Anda tebus ke apotik dan harganya mahal. Kalau ingin sembuh, bagaimanapun Anda harus membelinya. Take it or leave it.

 

Begitulah fenomena di tengah masyarakat yang seolah dijustifikasi. Mahalnya  harga obat dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar, tanpa berusaha  menggali akar permasalahan dan mencari solusinya. Naifnya lagi, pemikiran ini juga ada pada mereka-mereka yang menerima amanah rakyat untuk mengurus masalah kesehatan di negeri ini. Adanya kolusi dokter dan  perusahaan farmasi menjadi penyebab mahalnya harga obat dinegeri ini. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) - Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensinyalir mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

 

Keadaan ini diakui Prof. Agus Purwadianto, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang sekarang Kepala Biro Hukum dan Organisasi – Departemen Kesehatan. Menurut dia, kolusi dokter - perusahaan farmasi sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang diresepkan berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter. 

 

Dampak dari praktek ‘dokter kontrak' ini menyebabkan harga obat tinggi. Perusahaan farmasi membebankan biaya insentif dokter sebesar 20 % (dua puluh persen) itu dari harga obat'. Selanjutnya ditegaskan : ‘Praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di Indonesia. Sebagian besar dokter tersebut bekerja sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi'. Namun, Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi, sehingga sulit bagi asosiasi ataupun Mejelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan sanksi ….. ‘Saya tidak bilang tidak ada, tetapi memang tidak ada buktinya' (Koran Tempo, 16 Agustus 2007).

 

Hal ini dibenarkan Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Perselingkuhan produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba, misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. Ada obat yang tidak perlu diberikan, tapi tetap ditulis dalam resep. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama (Liputan 6 SCTV, 23 Juli 2007).

 

Dengan demikian, sinyalemen kolusi dokter dengan perusahaan farmasi bagaikan angin, terasa ada tapi tidak bisa ditangkap.

 

Mata rantai kolusi


Dari hasil pengamatan, niat, kemauan atau gagasan untuk berkolusi bukan hanya datang dari perusahaan farmasi. Adakalanya atas permintaan  dokter. Perusahaan farmasi memproduksi obat bermerek (paten) untuk dijual. Sedang dokter punya kewenangan menentukan obat. Dengan cara itu perusahaan farmasi berkepentingan obatnya laku terjual.  Uniknya, pemasaran obat oleh perusahaan farmasi dilakukan dengan sistem ‘detailing': perusahaan farmasi melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktek di rumah sakit atau praktek pribadi.  Kegiatan detailing ini mempunyai berbagai nuansa, termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi yang saling menguntungkan antara dokter dan  perusahaan farmasi. Dan dalam komunikasi inilah terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dokter dengan perusahaan farmasi.

 

Sebaliknya, dokter punya kepentingan terhadap komisi dari  perusahaan farmasi.  Dari sinilah lahir permufakatan kedua belah pihak, yang disebut kolusi atau conpiracy of silent. Yang berperan aktif  menggalang permufakatan  ini adalah para detailer atau Marketing Representatif/MR. Mereka secara berkala selalu melakukan kunjungan ke dokter-dokter. Jumlah tempat praktek, terutama jumlah konsumen berobat menjadi ukuran untuk menentukan bentuk, arah permufakatan dan besaran kompensasi. Walau tidak semua dokter melakukan kolusi dengan perusahaan farmasi,  kompensasi kolusi itu tetap menggiurkan. Misalnya pemberian uang/barang, mensponsori seminar dan  fasilitas akomodasi serta acara family gathering sampai ke pembayaran angsuran leasing mobil.

 

Perusahaan farmasi menghitungnya sebagai ‘biaya promosi' yang dimasukkan ke dalam ‘biaya produksi'. Sehingga biaya produksi menjadi tinggi dan harga obat menjadi mahal. Mahalnya harga obat sepenuhnya menjadi tanggungan konsumen. Prof. Agus Purwadianto menyebutkan  20 % dari harga jual obat yang dialokasikan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dokter Marius Widjajarta memperkirakan angka Rp500 miliar per tahun dikeluarkan perusahaan farmasi untuk biaya promosi. Namun perlu diyakini,  jumlah uang  beredar di kalangan dokter secara keseluruhan lebih dari 20 % dan lebih dari Rp. 500 miliar.

 

Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberikan diskon kepada dokter sampai 40 % dan kepada apotik 5% - 10%. Sedangkan Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp10,5 triliun dari jumlah Rp20,3 triliun total market obat di Indonesia (Media Indonesia Online, 04 Juni 2007).

Halaman Selanjutnya:
Tags: