MLA Lebih Efektif Mencegah Kejahatan Transnasional
Berita

MLA Lebih Efektif Mencegah Kejahatan Transnasional

Dalam praktek kerjasama internasional, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana masih dianggap yang lebih efektif dibanding ekstradisi.

Oleh:
Ycb/Mon/Her
Bacaan 2 Menit
MLA Lebih Efektif Mencegah Kejahatan Transnasional
Hukumonline

 

Selama dua tahun ini Pemerintah menyusun dan membahas rencana mengesahkan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang hendak disahkan itu tak lain adalah MLA ASEAN tadi. Agar mengikat secara hukum, Indonesia memang kudu meratifikasinya. Sebab ada beberapa hal penting yang bisa digunakan menjalin hubungan saling membantu dalam masalah pidana.

 

Belum mengikatnya MLA ASEAN agaknya menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum mengejar orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan kabur ke negara tetangga. Agus Anwar, misalnya. Nama pengusaha yang pernah berkiprah di Bank Pelita itu dimasukkan sebagai obligor yang tidak kooperatif. Dalam jawaban Pemerintah atas hak interpelasi BLBI disebutkan bahwa Agus kemungkinan dikenakan paksa badan. Masalahnya, Agus diperkirakan sudah berada di Singapura, bahkan Kejaksaan menduga yang bersangkutan sudah berganti kewarganegaraan. Kalau itu benar, tentu saja Indonesia akan mengalami kesulitan. MLA ASEAN menjadi salah satu pintu untuk menembus kesulitan itu.

 

Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin juga mendesak agar perjanjian MLA ASEAN segara diratifikasi Dewan. Makanya itu perlu ratifikasi dari parlemen. Sekarang inilah (waktunya –red). Kalau sudah ratifikasi, ya bisa diimplementasikan, ujarnya.

 

Akhirnya, DPR memang meratifikasi MLA ASEAN Kamis (03/4) kemarin. Meskipun sudah disahkan DPR, bukan berarti tidak ada masalah. Jauh-jauh hari Romli mengingatkan bahwa MLA ASEAN tidak berlaku surut. Kendala juga bisa timbul dalam hal ada ketidaksepakatan mengenai asset sharing. Jadi, upaya untuk mengejar aset-aset pelaku korupsi yang disinyalir diparkir di Singapura akan sulit terwujud. Jadi sebetulnya, tertutup kemungkinan, dilihat dari segi politik luar negeri, kita meminta aset dari negara-negara yang menandatangani Asean MLA Treaty, ujarnya.

 

Kongres Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Aspehupiki) di Bandung, pertengahan Maret lalu, menyinggung implikasi kejahatan transnasional terhadap kebijakan dan pendidikan hukum di Indonesia. Penanggulangan kejahatan transnasional bukan saja sulit karena modus operandi yang kian canggih, tetapi juga acapkali tersandung masalah diplomatik. Pelaku bisa melarikan diri ke negara lain, sehingga sulit ditangkap.

 

Dalam praktek kerjasama internasional, yang lazim dipakai adalah instrumen ekstradisi atau bantuan timbal balik (mutual legal assistance/MLA) dalam masalah pidana. Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, berpendapat bahwa kedua instrumen hukum itu menjadi bentuk kerjasama internasional (diplomatik) yang sering digunakan dalam mencegah dan memberantas kejahatan transnasional.

 

Prof. Romli menilai dalam praktek kerjasama internasional selama ini, bentuk MLA lebih efektif dibanding perjanjian ekstradisi. Terutama dalam meningkatkan efektivitas proses peradilan, khususnya dalam hal prosedur pengembalian aset hasil kejahatan, paparnya.

 

Terkait dengan itu, Pemerintah Indonesia telah menandatangani ASEAN Mutual Assistance in Criminal Matters pada November 2004. Pemerintah juga telah meneken perjanjian ekstradisi dengan Filipina, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, China, dan Australia. Sebagai pijakan hukumnya di dalam negeri, Pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Bantuan dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah permintaan bantuan sepanjang berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: