Sekali Lagi, Mempersoalkan Kekeliruan PP No. 2 Tahun 2008
Oleh: Bernadinus Steni *)

Sekali Lagi, Mempersoalkan Kekeliruan PP No. 2 Tahun 2008

Masalah hukum di Indonesia, khususnya bidang sumber daya alam, tidak kurang-kurang dari hari ke hari. Segudang rekomendasi konferensi, workshop, diskusi, seminar, baik nasional maupun internasional, untuk mengingatkan para pembuat kebijakan agar menjamin tabungan lingkungan bagi masa depan anak cucu bangsa.

Bacaan 2 Menit
Sekali Lagi, Mempersoalkan Kekeliruan PP No. 2 Tahun 2008
Hukumonline

 

Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara  Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

 

Berdasarkan UU PNBP tadi, maka ada tiga pertimbangan yang harus dilakukan pemerintah sebelum menetapkan tarif PNBP, yakni: dampak, biaya/beban dan keadilan. Mari kita simak apa maksud ketiga aspek. Dari segi dampak, harus ada pemeriksaan serius mengenai dampak yang diperoleh dari pengenaan tarif tersebut, apakah mendapatkan manfaat atau justru mudarat. Dari segi beban, apakah menimbulkan beban baru bagi pelaku usaha atau justru peluang baru. Dari segi keadilan, penetapan tarif harus memperhitungkan aspek kewajaran.

 

Pertimbangan-pertimbangan ini tentu saja harus memotret secara lengkap persoalan kehutanan, terutama keseimbangan antara orientasi ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, sejumlah data memperlihatkan bahwa daya dukung lingkungan nampaknya harus mendapat prioritas pertimbangan yang jauh lebih besar daripada pertimbangan ekonomi. FAO (2005), misalnya, memperkirakan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1,871 juta hektar per tahun  atau setara dengan luas enam lapangan bola per menit. Artinya, Pemerintah harus mengerem laju kerusakan tersebut dengan peraturan yang memungkinkan laju itu dikurangi dan bila perlu dihentikan sama sekali.

 

Kekeliruan dalam pembentukan PP ini adalah ketiga pertimbangan tersebut tidak pernah disampaikan Pemerintah sebelum PP No. 2/2008 dikeluarkan. Bahkan dalam substansi PP ini pun, ketiga pertimbangan tersebut sama sekali tidak disebut. Pertimbangan dalam bagian menimbang hanya menyebut dalam rangka memperoleh kompensasi sebagai satu-satunya alasan pembentukan PP ini.  Nampaknya, dorongan besar mengejar kompensasi inilah yang membuat PP ini,  dari segi prosedur melenceng dari mandat UU No. 20/1997.

 

Kedua, persoalan status kawasan. PP ini, sebagaimana halnya dengan aturan  kehutanan lain, menunjuk kawasan, dalam hal ini hutan produksi dan hutan lindung, yang sebetulnya mengalami persoalan legalitas yang serius. Menurut pasal 15 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, legalitas kawasan hutan tertentu, baru akan tercapai setelah melalui empat tahap yaitu penunjukkan, tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan. Empat tahapan ini menjadi titik krusial yang diperdebatkan secara hukum dan secara empirik karena beresiko mengkriminalkan masyarakat di kawasan hutan. Menurut Bappenas (2004), dari 143,97 juta Ha kawasan hutan di Indonesia, baru 109,96 juta Ha yang telah ditunjuk melalui SK Menhut, sebagai kawasan hutan. Masih dalam konteks status kawasan hutan, menurut Fay dan Sirait (2004), sampai akhir 2003 Dephut baru menetapkan 12 juta Ha atau 10 persen dari keseluruhan kawasan hutan di Indonesia sebagai hutan negara dengan status hukum tetap (Kartodihardjo dan Hira Jhamtani (ed), 2006: 65). Dengan demikian jumlah 109,96 juta ha yang disebut dalam laporan Bappenas,  baru berada pada tahap awal dari proses menuju kepastian hukum. Artinya, sebagian besar status kawasan hutan saat ini, secara hukum belum pasti.

 

Klaim bahwa status hukum kawasan hutan sudah pasti, mengancam, bahkan sebagian diantaranya sudah menggusur hak hidup masyarakat adat dan komunitas lain yang selama ini hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Di sini, posisi PP di atas mem-fait acompli legalitas hukum kawasan hutan lindung dengan pengenaan tarif. Kata lainnya adalah dengan membayar tarif maka pemegang konsesi mendapat kekuatan hukum baru, bahwa status kawasannya memang sah. Dengan demikian, PP ini menjadi amunisi hukum baru yang menutup dengan kasar dan sistematis hak hidup banyak komunitas yang selama ini menderita.  Mengapa menderita? Sebab,  kawasan hutan milik mereka telah diambilalih secara tidak sah oleh para pemegang konsesi kawasan hutan.

 

Ketiga, masalah di balik penentuan biaya sosial dan ekologis. PP ini melampirkan jenis dan tarif, sebagai berikut (lihat tabel):

 

Jenis PNBP

Satuan

Tarif

1.      Penggunaan kawasan hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara horizontal (tambang terbuka horizontal)

a.      hutan lindung

b.      hutan produksi

 

2.      Penggunaan kawasan hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara vertikal

a.      hutan lindung

b.      hutan produksi

 

3.      Penggunaan kawasan hutan untuk tambang bawah tanah

a.      hutan lindung

b.      hutan produksi

 

4.      Penggunaan kawasan hutan untuk migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repitertelekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol

a.      hutan lindung

b.      hutan produksi

 

 

 

 

 

Ha/tahun

Ha/tahun

 

 

 

 

Ha/tahun

Ha/tahun

 

 

 

Ha/tahun

Ha/tahun

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ha/tahun

Ha/tahun

 

 

 

 

Rp 3.000.000,00

Rp 2.400.000,00

 

 

 

 

Rp 2.250.000,00

Rp 1.800.000,00

 

 

 

Rp 2.250.000,00

Rp 1.800.000,00

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rp 1.500.000,00

Rp 1.200.000,00

 

Pokok soal dalam tabel ini adalah bahwa dalam banyak penetapan angka, baik untuk tarif, sanksi dan tujuan-tujuan pemulihan sosial lainnya, persoalan logika di balik penentuan angka jarang diperdebatkan. Mengapa angka tertentu  diambil sebagai angka yang diyakini mampu menggantikan manfaat ekologis hutan yang rusak? Apa benar angka tersebut sama dengan nilai ekologis (keanekaragaman hayati, aspek hidrologi, kualitas tanah, dan seterusnya)? Apakah angka tersebut sama dengan fungsi sosial hutan yang hilang atau sama dengan hak masyarakat yang hancur lebur karena tambang?

 

Jika diperiksa lebih jauh dalam konsep hukum, tarif atau pungutan  tertentu  tidak ditetapkan dari langit tetapi berhubungan dengan asas besar dalam ilmu hukum yakni asas manfaat dan kepastian hukum. Dalam konteks ini, jika berdasarkan pengkajian dan analisis yang memadai ditemukan fakta, bahwa manfaat jumlah tarif tertentu terlalu kecil jika dibandingkan dengan resikonya yang besar, maka penetapan tarif harus direvisi dan dikalkulasikan ulang agar memenuhi asas manfaat dalam hukum.

 

Namun, sesuatu yang lebih penting adalah mencari hubungan yang jelas antara  penetapan tarif seperti ini sebagai metode kepastian dan manfaat hukum dengan manfaat empirik ketika tarif tersebut dipakai dalam perhitungan ekologis dan hak masyarakat yang potensial terkena dampak eksploitasi. Dalam logika sederhana pun, tanpa harus menggunakan tafsir hukum, ada perbedaan, dan bahkan jurang antara manfaat dan kepastian hukum dengan manfaat dan kepastian sosial-ekologis. Dampak ekologis sangat luas dan biayanya sangat besar. Dalam predisksi Greenomics diuraikan bahwa jika PP ini dipakai untuk tarif tambang di kawasan hutan lindung maka potensi PNBP hanya sebesar Rp2,78 triliun per tahun. Sementara, dugaan kerugian negara akibat aktivitas tambang terbuka diperkirakan mencapai angka Rp70 triliun per tahun (Greenomics Indonesia, 2004).

 

Secara saintifik, rehabilitasi dalam bentuk apa pun,  tidak akan mampu mengembalikan keseimbangan ekosistem. Menurut Hariadi Kartodihardjo, suatu kawasan hutan lindung yang telah ditambang secara terbuka tidak mungkin dikembalikan kepada fungsi ekologis semula karena telah terjadi perubahan bentang alam. Hal yang dapat dilakukan adalah menghutankan kembali kawasan tersebut dengan teknologi terbaik yang tersedia (Kartodihardjo, Kompas 21 April 2005). Dengan demikian, jumlah tarif sebesar apa pun, hanya dapat memenuhi manfaat hukum tetapi tidak akan pernah akan menggantikan fungsi ekologis hutan lindung yang secara utuh. Fungsi ekologis yang babak belur, dalam banyak kasus, telah meremukan banyak nilai-nilai dan hubungan sosial konkrit yang telah terjalin di tengah dan antara berbagai komunitas di kawasan hutan. Unsur-unsur kebudayaan dan bahkan faktor produksi mereka yang sangat dipengaruhi oleh alam (hutan), akan tergusur. Dalam hal ini, sebuah peradaban mikro terancam lenyap.  

 

Di sini, penting untuk mengutip kembali laporan Norman Myers (1995) tentang pengungsi lingkungan (environmental refugees). Myers menegaskan bahwa pengungsi lingkungan adalah migran yang mencari tempat berlindung dimana saja karena mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendapatkan kehidupan yang aman di wilayah tradisional mereka karena faktor-faktor lingkungan yang jangkauan dampaknya luar biasa, khususnya karena kekeringan, penggurunan (desertification), deforestasi, erosi tanah, kekurangan air, perubahan iklim dan juga bencana alam seperti siklon, badai dan banjir. Berdasarkan definisi ini, pada tahun 1995, Myers mengklaim bahwa 25 juta pengungsi dunia saat itu atau 53 % dari total jumlah pengungsi di seluruh dunia,  dikategorikan sebagai pengungsi lingkungan. Menurut prediksi Myers, tahun 2010, jumlah ini akan meningkat dua kali lipat menjadi 50 juta jiwa (Myers and Kent, 1995).

 

Indonesia sendiri belum punya data keseluruhan mengenai jumlah pengungsi lingkungan tiap tahun. Tetapi melihat kecenderungan jumlah bencana lingkungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun maka hampir pasti jumlah pengungsi lingkungan pun, semakin bertambah. PP ini, tentu secara eksplisit tidak bermaksud untuk berlomba-lomba meningkatkan jumlah pengungsi lingkungan. Presiden SBY bahkan mengatakan bahwa PP ini hanya menindaklanjuti peraturan maupun undang-undang yang dikeluarkan pemerintahan sebelumnya, yang sudah mengeluarkan izin tambang di hutan lindung bagi 13 perusahaan.

 

Tetapi pernyataan tersebut patut diragukan karena isi PP ini sama sekali tidak menyebut batasan berlakunya PP hanya terhadap 13 perusahaan yang dimaksud. Juga tidak akan mengurangi kualitas PP ini yang secara murah meriah mengumbar kawasan hutan hutan (lindung) untuk dieksploitasi. Sehingga, tidak ada argumen pemerintah yang benar-benar tepat untuk membenarkan PP ini. Analisa yang mungkin tersisa bagi kita adalah PP ini memang tergesa-gesa untuk kepentingan ekonomi.

 

Tawaran Pembaruan Hukum

Dalam negara transisi menuju demokrasi, mestinya ada semacam tinjauan menyeluruh atas warisan hukum otoritarian yang ditinggalkan oleh rezim hukum sebelumnya. Hukum di bidang kehutanan, dalam banyak sisinya masih secara kuat mewarisi rezim hukum yang mendukung pembangunan gaya Orde Baru. Disana hubungan antara negara dan masyarakat seperti hubungan tradisional patron-client.

 

Para patron menerima kemewahan berlimpah karena status sosial mereka, yang sekaligus menunjukan kekayaannya, meski tanpa bekerja apapun. Nampak jelas bagi kita, birokrasi memang tidak terlibat dalam hubungan produksi sehingga mereka tidak harus berkotor tangan untuk memikirkan kepentingan publik tetapi cukup menjadi penjaga simbol-simbol dan ritual-ritual tata/administrasi negara, seperti membuat undang-undang, mengumumkan harga, memungut pajak, mengeluarkan konsesi, dan lain-lain, tanpa harus bertanggung jawab dengan akibatnya. Sementara "klien" yang adalah rakyat kebanyakan harus berlumpur-lumpur untuk menjamin pesona paraphernalia para patron. 

 

PP ini nampaknya merupakan warisan dari pendekatan pembangunan hukum gaya patron di masa lalu yang secara kuat mendukung rezim-rezim eksploitatif  dan dari situ mereka mengeruk keuntungan yang berlanjut. Pendekatan ini, sejak awal reformasi sudah ditinjau ulang dan rekomendasi yang muncul saat itu dituangkan dalam bentuk TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

 

TAP ini secara tegas  memerintahkan semua sektor untuk melakukan kaji ulang atas semua hukum positif di bidang agraria dan SDA. Sebab, produk-produk tersebut masih merupakan bagian dari warisan Kolonial dan rezim otoritarian Orde Baru. Kaji ulang adalah jawaban yang seharusnya diberikan oleh masing-masing Departemen di bidang Agraria dan Sumber Daya Alam, termasuk kehutanan  sebagai pintu awal untuk melihat bagian mana dari warisan lama yang harus diubah untuk disesuaikan dengan tuntutan saat ini. Dalam konteks tulisan ini, tentu saja adalah tuntutan hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan hidup dan SDA. 

 

Jika dalam level nasional maupun lokal, kita memulai dari situ maka ada persediaan harapan yang menunggu untuk pembaruan hukum di bidang SDA yang lebih baik. Dengan demikian, seminar yang baik, applaus yang berjibun dan anggukan kepala, kajian dan penelitian yang mendalam, akan ada banyak pengaruhnya, karena jelas bagi kita, semuanya itu tidak hanya selebrasi bagi proyek hukum di atas bibir, tetapi juga kerja praktis yang dampaknya langsung terasa.

 

----------

*) Penulis bekerja di Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta.  

 

Tetapi berlaksa-laksa pula kebijakan yang meluluhlantakkan semua rekomendasi tersebut. Walhasil, agenda tindak lanjut pembentukan peraturan dan kebijakan, seperti mati suri dan rasa-rasanya tumpul untuk dibicarakan saat ini. Kehadiran PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan, membuktikan kembali lenyapnya respons atas pertimbangan keluarnya suatu kebijakan.

 

Tulisan ini mencoba melihat kembali masalah tersebut dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang berbasis pada masalah-masalah empirik dan pada akhirnya  mengusulkan sejumlah rekomendasi.

 

Proyek hukum yang gagal

Banyak faktor yang bertarung dalam permasalahan hukum di bidang Sumber Daya Alam (SDA) umumnya,  khususnya kehutanan. Tetapi tulisan ini hanya mengambil dua konteks permasalahan yakni hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Faktor hak masyarakat dan lingkungan selama ini paling sering menyita perhatian karena sejauh mata memandang, hukum nasional belum bisa merespons tuntutan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat atas SDA. Bahkan berkali-kali justru melahirkan peraturan dan kebijakan yang mengancam hak-hak tersebut dan menempatkan keberlanjutan masa depan SDA dalam posisi yang makin kritis. Sekurang-kurangnya dalam dua konteks itu pula dunia internasional sedang berusaha keras untuk membangun kesepakatan global agar masing-masing negara memiliki komitmen melindungi dan mempertahankan cadangan SDA-nya dengan manajemen yang sustainable.

 

Namun, mencermati isi PP No. 2/2008, maka segera ditemukan bebepara persoalan serius yang terkait dengan dua pokok permasalahan di atas.

 

Pertama, PP ini mengacu pada UU No 20 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP). Dalam UU tersebut, ada prosedur yang harus ditempuh pemerintah, sebelum mengenakan tarif PNBP. Dalam  pasal 3 ayat (1) UU ini dikatakan bahwa: 

Halaman Selanjutnya:
Tags: