Agar Buruh Tak Keok di Pengadilan Hubungan Industrial
Utama

Agar Buruh Tak Keok di Pengadilan Hubungan Industrial

Lahir dari produk hukum yang dipaksakan dan tanpa aspirasi dari buruh, PHI terkesan amat kaku menerapkan hukum acara. Untuk saat ini, mau tak mau, buruh harus mempelajari teknis hukum acara itu.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Agar Buruh Tak Keok di Pengadilan Hubungan Industrial
Hukumonline

 

Pandangan serikat buruh pun terbelah terhadap keberadaan PHI. Sebagian tidak menolak karena PHI dinilai lebih memberikan kepastian hukum ketimbang P4D/P4P. Tapi sebagian  yang lain menganggap PHI tak ubahnya seperti kuburan keadilan bagi buruh. Pandangan ini lahir karena PHI dianggap terlalu kaku menerapkan hukum acara perdata, contohnya seperti keabsahan surat kuasa, sistematika surat gugatan, dasar gugatan hingga pemilihan pengadilan.

 

Di satu sisi buruh memang ditantang untuk bisa menjadi 'advokat' yang jeli dan mahir beradu argumen di pengadilan. Di sisi lain kekakuan hukum acara itu menjadi pengganjal bagi buruh untuk memperjuangkan haknya. Alhasil, ternyata praktik di lapangan membuktikan bahwa tak jarang gugatan buruh yang kandas di PHI karena alasan formalitas belaka seperti dialami buruh PT GRI di atas.

 

Berangkat dari keadaan itu, Trade Union Right Center (TURC) kemudian menerbitkan buku berjudul Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan Bagi Serikat Buruh.  Buku ini tidak hanya mengajak serikat buruh untuk memahami mekanisme yang berlaku di PHI, tetapi juga menyadarkan Serikat Buruh terhadap segala masalah dan keterbatasan, serta tantangan struktural yang menyertai PHI itu sendiri, begitu bunyi kata pengantar oleh Surya Tjandra, Direktur Eksekutif TURC.

 

Pada bagian pendahuluan, TURC ingin menyampaikan pesan kepada pembaca mengenai gagalnya 'Reformasi Hukum Perburuhan' yang dikenal dengan tiga produk hukum perburuhan yaitu UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004.

 

Paket undang-undang perburuhan itu dinilai hanya merupakan proyek pemerintah yang dibikin tanpa masukan dan pantauan Serikat Buruh. Meski begitu TURC tidak lantas menyerukan kepada Serikat Buruh untuk menolak dan memboikot PHI, melainkan mengajak segenap Serikat Buruh agar bisa memanfaatkan PHI dan sistem PPHI. Suatu pilihan sikap yang realistis.

 

Buku setebal 98 halaman ini disusun Tim TURC berdasarkan pengalamannya dalam mengawal lahirnya RUU PPHI dan implementasinya di lapangan. Jadi, buku ini memang memiliki kelebihan ketimbang buku serupa yang hanya memaparkan isi UU PPHI. TURC berusaha memberikan ilustrasi dengan membikin box khusus di tiap bab yang berisikan tentang opini atau peristiwa yang dihimpun tim TURC. Selain itu, buku ini juga mengkritisi tentang masalah, keterbatasan dan tantangan struktural yang menyertai PHI.

 

Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan Bagi Serikat Buruh

Penulis: Dela Feby, Jafar Suryomenggolo, Pashalina Nunik, Surya Tjandra, Yasmine Soraya

Penerbit: Trade Union Rights Centre (TURC)

Cetakan Pertama, 2007

Dimensi: xii + 98 halaman; 145mm x 210mm

 

Serikat Buruh dan PHI

UU PPHI memberikan dua peran utama kepada Serikat Buruh dalam sistem penyelesaian perselisihan perburuhan. Peran pertama adalah sebagai kuasa hukum mewakili buruh bersidang di PHI seperti tertera dalam Pasal 87 UU PPHI. Sedang peran kedua sebagai Hakim Adhoc.

 

Lakon Serikat Buruh sebagai kuasa hukum buruh sejatinya bukan hal baru. UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mengatur mengenai P4D/P4P menjelaskan bahwa hanya Serikat Buruh atau gabungan Serikat Buruh yang menjadi pihak dalam perselisihan.

 

Di satu sisi, TURC menganggap UU PPHI sebagai terobosan karena melabrak ketentuan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tapi penulis buku juga mengkhawatirkan adanya upaya sistematis dalam melemahkan gerakan buruh dengan menyibukkan aktivis Serikat Buruh di PHI.

 

TURC, misalnya, menemukan fakta dimana seorang aktivis buruh di Bekasi menghabiskan waktu lima hari tiap minggunya untuk bersidang di PHI Bandung. Dengan demikian, waktu bagi aktivis untuk melakukan pengorganisasian di Serikat Buruh kian sedikit. Ini sangat membahayakan karena bagaimanapun kekuatan utama buruh adalah solidaritas.

 

Posisi perwakilan Serikat Buruh sebagai Hakim Adhoc, menurut TURC, dinilai strategis karena lebih memiliki akses terhadap keadilan dan sistem di PHI. Mengenai keberpihakan, jelas TURC berharap agar Hakim Adhoc tidak melupakan jati dirinya sebagai perwakilan buruh, meski di sisi lain dimaklumi bahwa hakim harus independen dan imparsial.

 

Sekadar perbandingan, menarik ketika TURC mencantumkan pernyataan Ketua DPP APINDO, Hasanudin Rahman. Mereka (Hakim Adhoc Pengusaha, red) perlu dibina sebagai wakil kami di PHI, kata Hasanudin sambil menyebut telah melakukan tiga kali ‘maintenance' kepada Hakim Adhoc Pengusaha itu.

 

Teknis Beracara

Setelah membahas tentang masalah dan keterbatasan PHI, baru kemudian buku ini mengupas mengenai bagaimana proses penyelesaian perkara di PHI. Dimulai dengan teknik penyusunan gugatan atau jawaban hingga mencermati jalannya proses beracara di PHI. Dikemas dengan bahasa yang ringan dan pilihan kata yang mudah dicerna, tidak seperti buku-buku hukum umumnya, dipastikan membuat aktivis buruh atau pembaca lainnya gampang memahami isi buku.

 

Meski sempat menyinggung sedikit mengenai keberadaan praktik ‘pungutan liar' di PHI, sayang buku ini tidak dilengkapi dengan alur atau skema yang menggambarkan perjalanan surat kuasa dan berkas gugatan dari meja pendaftaran hingga diputus di meja hakim serta besar tarif resmi yang dikeluarkan. Hal ini dirasa perlu agar gugatan buruh tidak nyangkut ke meja lain dan buruh tidak perlu merogoh koceknya.

 

Pada bagian akhir, TURC ingin menggugah arti pentingnya solidaritas di antara Serikat Buruh. Caranya adalah dengan merumuskan isu bersama, yaitu menyusun sistem alternatif penyelesaian perburuhan karena bagaimana pun PHI dianggap lahir dari produk hukum yang dipaksakan. 

 

Bagi anda aktivis serikat buruh atau buruh yang sedang terbelit kasus, buku ini sangat layak untuk dibaca. Namun begitu, TURC sudah mewanti-wanti di dalam buku ini. Jadi bagi rekan buruh yang hendak mahir menyusun gugatan, tiada kata lain selain: selamat berlatih! demikian pesan TURC.

Kamis siang 29 Maret silam, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta mendadak gempar. Teriakan kekesalan dan umpatan buruh PT Great River Internasional (GRI) menggema di gedung yang terletak di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan. Tak hanya itu. Mereka juga mengekspresikan kekecewaan dengan melempar kursi hingga membobol tembok partisi yang terbuat dari gypsum. Bahkan majelis hakim yang memimpin persidangan harus diselamatkan melalui atap gedung pengadilan.

 

Para buruh GRI itu bisa jadi memiliki alasan pembenar hingga sampai mengamuk di pengadilan. Lantaran 'hanya' masalah salah alamat mendaftarkan gugatan, PHI Jakarta dalam putusan selanya tidak menerima gugatan buruh. Rusuh di PHI Jakarta juga terjadi beberapa bulan kemudian dalam perkara PHK di PT Arrish Rulan.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, persidangan di PHI yang berujung ricuh tidak hanya terjadi di Jakarta. Seperti diberitakan Metrotvnews.com, seminggu sebelum peristiwa buruh GRI di Jakarta, puluhan buruh PT Gunung Meranti Raya di PHI Banjarmasin malah sempat menyandera majelis hakim usai bersidang. Kejadian serupa juga terjadi di PHI Medan pada 2007 lalu dimana hakim sempat dikejar-kejar buruh yang tidak puas dengan putusan hakim.

 

Seperti diketahui, PHI -yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI)- adalah lembaga baru yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan di bidang ketenagakerjaan. Sebelumnya, tugas dan kewenangan itu salah satunya dibebankan ke Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau Pusat (P4D/P4P) melalui UU No. 22 Tahun 1957.

Halaman Selanjutnya:
Tags: