Mengkritisi Revisi UU Pemda dari Ilmu Perundang-undangan
Fokus

Mengkritisi Revisi UU Pemda dari Ilmu Perundang-undangan

Sekali lagi, DPR melahirkan produk yang bermasalah. Paradigma ‘selama kepentingan partai politik aman' lagi-lagi jadi biang keladinya. Judicial review ke MK, sepertinya hanya menunggu waktu.

Oleh:
Ali/Rzk/Ycb
Bacaan 2 Menit
Mengkritisi Revisi UU Pemda dari Ilmu Perundang-undangan
Hukumonline

 

Bila penafsiran ini digunakan maka problem selanjutnya adalah siapa yang menentukan waktu peralihan itu. Paling cepatnya itu kan bisa sebulan, tuturnya. Ia pun meminta kepada wartawan agar menanyakan hal ini kepada pembentuk Undang-undang. Coba tanya kepada DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU, pintanya.

 

Penafsiran kedua, jelas Jimly, maksud 'paling lambat' adalah sebelum 18 bulan belum boleh dialihkan. Maksudnya paling lambat itu ya 'paling cepat', ujarnya mencoba bermain dengan logika. Ia pun menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk UU, penafsiran mana yang digunakan. Terserah apa maunya orang itu saja, tuturnya pasrah.

 

Hal senada juga dirasakan oleh Bagir. Kata 'paling lama' itu, bisa jadi besok. Jadi dalam membuat peraturan itu harus dengan pertimbangan yang matang, ujarnya. Ia mengatakan seharusnya isi pasal itu bukannya frase 'paling lama' 18 bulan, melainkan dijelaskan dengan semua sengketa pilkada yang sudah diselesaikan oleh MA, kemudian sengketa yang baru ditangani ke MK. Menurutnya, dalam sebuah UU itu harus jelas dan tepat, karena orang itu membutuhkan kepastian dan konsisten.   

 

Dikaitkan dengan ilmu perundang-undangan, sebuah norma dapat diartikan tertutup dan terbuka. Hal ini pernah disampaikan oleh Pakar HTN dari Universitas Tadulako Rasyid Thalib dalam sidang MK. Rasyid menjelaskan norma tertutup merupakan norma yang tak bisa ditafsirkan berbeda. Norma tertutup adalah pasal-pasal yang sudah jelas isinya. Norma tertutup ini tak bisa diuji oleh MK. Tapi legislative review ke DPR, jelasnya. 

 

Sedangkan norma terbuka, lanjut Rasyid, merupakan norma yang bisa ditafsirkan ganda. Mirip dengan isi Pasal 236C UU Pemda ini. Untuk memastikan mana yang benar, maka penafsiran ganda ini dapat dibawa ke MK untuk judicial review. MK memang disebut sebagai penafsir konstitusi. Uniknya, Jimly mengembalikan persoalan ini ke pembentuk UU, dalam hal ini DPR. 

 

Bermasalah Secara Akademik

Perdebatan mengenai Pasal 236C UU Pemda tak hanya berhenti sampai situ. Dosen Ilmu Perundang-undangan FHUI Sonny Maulana Sikumbang mengungkapkan 'cacatnya' UU Pemda ini. Secara akademik, UU yang baru disahkan ini jelas bermasalah, ujarnya kepada hukumonline. Yang dimaksud Sonny adalah Pasal 106 ayat (1) UU Pemda yang lama. Pasal ini berbunyi Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.  

 

Pasal yang memberikan kewenangan kepada MA dalam menyelesaikan sengketa hasil pilkada ini ternyata tak dikotak-katik dalam revisi UU Pemda. Sonny menegaskan bahwa yang namanya UU perubahan harus menegaskan pasal-pasal mana yang diubah atau mungkin dihapus. Artinya, selama itu tidak dihapus maka (pasalnya,-red) masih berlaku, sambungnya.

 

Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay juga baru menyadari kekeliruan ini. Ini hal yang janggal kalau Pasal 106 yang justru menjadi dasar tidak diubah. Perubahan seharusnya bersifat lengkap meliputi pasal-pasal terkait, jelasnya. Ia menambahkan semestinya ditegaskan dalam UU perubahan apakah diubah atau dihapus.

 

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Soekartono Hadiwarsito mengemukakan pendapatnya. Menurutnya Pasal 106 itu sudah tak berlaku lagi dengan adanya klausul baru. Yang dimaksudnya klausul baru adalah Pasal 236C yang mengalihkan kewenangan MA dalam menanganinya sengketa hasil pilkada ke MK.

 

Mulai sekarang MK yang menangani sengketa Pilkada. MA masih menangani kasus yang sudah terlanjur masuk. Sedangkan MK masih dalam masa peralihan, selambatnya 18 bulan. Untuk kasus baru, MK yang akan menanganinya, jelas Soekartono mencoba melakukan penafsiran.  

 

Sedangkan anggota Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pemda Andi Yuliani Paris berdalih Pasal 106 tak diubah untuk mengisi masa transisi. Selama jangka waktu 18 bulan ini, pemerintah diharapkan juga segera merampungkan RUU Pilkada yang nantinya akan menjadi rujukan komprehensif penyelenggaraan Pilkada di seluruh Indonesia. RUU Pilkada diproyeksikan akan menjadi RUU inisiatif pemerintah, khususnya Depdagri.

 

Setengah Hati

Selain Pasal 106, ternyata masih ada beberapa pasal lagi dalam UU Pemda yang seharusnya diubah tapi tak tersentuh dalam perubahan UU Pemda. Pengamat HTN Refly Harun mencatat ada empat pasal dalam UU Pemda yang seharusnya diubah agar perpindahan Pilkada dari rezim pemerintah daerah ke rezim pemilu menjadi paripurna.

 

Memang, pilkada sudah dinyatakan masuk ke rezim pemilu setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam UU itu, terminologi pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan umum kepala daerah. Namun, tidak diubahnya empat pasal dalam UU Pemda membuat perpindahan ini seperti ada ganjalan.

 

Empat Pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 (UU Pemda)

Yang Tak Ikut Direvisi

 

Pasal 65 ayat (4)

Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 89 ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai, pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 94 ayat (2)

Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 114 ayat (4)

Tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah

 

Jauh-jauh hari, Refly sudah mengingatkan agar revisi UU Pemda sebaiknya menghilangkan peran regulasi pemerintah dalam Pilkada. Keempat pasal tersebut masih meminta Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana. Padahal, bila Pilkada sudah beralih ke rezim Pemilu, PP tersebut mutlak tak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yang diminta oleh UU Penyelenggara Pemilu.

 

Anggota KPU I Gusti Putu Artha mengatakan bila keempat Pasal ini tak diubah, maka akan muncul kesan KPU menjadi subordinasi dari eksekutif. Karenanya, Putu Artha menilai pemerintah belum ikhlas melepas Pilkada kepada KPU. Revisinya pun terkesan setengah hati.

 

Namun, pendapat Refly dan Putu Artha memang hanya mengacu pada hasrat paripurnanya perpindahan pilkada ke rezim Pemilu. Bila dilihat bersudut pandang konstitusi, maka tak diubahnya keempat pasal ini bukanlah soal yang diributkannya. Dalam Putusan MK Nomor 072-073/PUU-PUU-II/2004, MK menilai digunakannya PP atau Peraturan KPU sebagai instrumen pelaksana hanyalah sebuah pilihan politik. Sehingga, penggunaan salah satu di antaranya tak berujung pada inkonstitusionalitasnya pasal tersebut. 

 

Potongan putusan itu adalah .......kewenangan pemerintah dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung bukan karena kehendak Pemerintah sendiri tetapi karena perintah undang-undang. Sekiranya pembentuk undang-undang memberikan kewenangan semacam itu kepada lembaga lain in casu KPU, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

Sebenarnya, selain persoalan-persoalan di atas masih banyak kelemahan-kelemahan revisi UU Pemda yang disindir Hadar sebagai program kejar tayang DPR ini. Di antaranya adalah ancaman kehilangan hak politik seumur hidup bagi calon perorangan yang mundur di tengah jalan. Ancaman sanksi menghilangkan hak politik seumur hidup ini tak hanya dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), tapi juga mirip perlakuan orde baru terhadap mantan aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) beberapa waktu lalu. 

 

Revisi UU Pemda dengan segala permasalahannya lagi-lagi menjadi produk DPR yang menambah ‘beban kerjaan' para penjaga konstitusi.

Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan boleh sewot dengan pengalihan kewenangan penanganan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari MA ke Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan UU Pemerintah Daerah (UU Pemda) teranyar. Ia sempat mengkritik inkonsistensi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Ada kecenderungan pembuat UU menyerahkan semuanya kepada MA. Kalau tidak senang, mereka cabut lagi UU itu, ujar Bagir beberapa pekan lalu.

 

Sebagian kalangan mungkin bisa memaklumi reaksi Bagir ini, mengingat UU Pemda baru saja menyunat kewenangan lembaganya dalam menangani sengketa pilkada. Namun, pihak yang kelimpahan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie justru mengeluarkan kritikan yang serupa. Jimly menyoroti frase dalam UU ini yang bisa menimbulkan multitafsir sehingga bermasalah dari sudut legal drafting.

 

Jimly mencontohkan salah satu frase dalam Pasal 236C UU Pemda. Ketentuan itu berbunyi 'Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lama 18 bulan sejak UU ini diundangkan'. Ia mencatat ada dua penafsiran berbeda terkait frase 'paling lama' dalam UU ini.

 

Pertama, lanjut Jimly, bila dikatakan paling lama 18 bulan, maka dalam prakteknya bisa lebih cepat dari itu. Paling lambat 18 bulan baru dialihkan, artinya bisa lebih cepat dari itu, ujar Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Indonesia ini. Apalagi, alasan dibalik pasal itu semata-mata hanya demi memberi waktu persiapan kepada MK. Kalau kami sudah siap, berarti bisa lebih cepat dong, tambah Jimly. 

Tags: