'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung
Munir Fuady

'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung

Jika Anda adalah Sarjana Hukum yang berkali-kali ikut ujian advokat dan selalu gagal, Anda tak perlu meratapi nasib. Sebab, ada nih seorang pengacara yang justru berkali-kali gagal ketika ingin 'keluar' dari profesinya sebagai advokat. Lho?

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung
Hukumonline

 

Maka, menjadi hakim agung atau profesi lain yang berpotensi lebih besar untuk menegakkan keadilan, adalah obsesi Munir. Uniknya, obsesi ini baru belakangan mengendap di benaknya. Saat lulus kuliah S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh, yang ditatapnya adalah profesi advokat dan akademisi.

 

Selama lima tahun terakhir, Munir berjuang keras untuk meninggalkan—tentu saja sementara—profesi advokat. Mulanya pendiri Kantor HUkum Munir Fuady and Partners ini mencoba peruntungan mengikuti seleksi anggota Komisi Konstitusi. Ketika itu, bersaing dengan beberapa profesor selevel Sri Sumantri, Munir terkulai. Ia gagal menjadi anggota komisi yang bertugas mengkaji UUD 1945 hasil amandemen keempat itu.

 

Terjatuh memang sakit, tapi Munir lekas bangun. Berikutnya ia mengadu nasib dalam seleksi hakim agung ad hoc Pengadilan Tipikor. Mahkamah Agung (MA), selaku penyeleksi, cuma membutuhkan tiga orang dan Munir lolos hingga babak enam besar. Di daftar peserta yang lolos, nama Munir nangkring di peringkat pertama. Ia haqqul yaqin bisa melewati hadangan terakhir.

 

Tapi saya mengundurkan diri, Munir bercerita. Ia mendapat bisikan, menjadi hakim agung ad hoc Tipikor bisa membikin apes. Kerja berat tapi gaji distandarkan dengan orang melarat. Di kemudian hari, bisikan itu memang benar adanya. Dan Munir bersyukur memilih mengundurkan diri. Saya disarankan oleh orang MA untuk mengikuti seleksi hakim agung saja, kata Munir.

 

Disarankan begitu, Munir mengangguk. Dengan keyakinan penuh, ia melangkahkan kaki ke Komisi Yudisial (KY). Pertengahan 2006 itu lembaga yang masih jabang bayi ini punya gawe menyeleksi calon hakim agung.

 

Berjibaku dengan ratusan peserta, Munir berhasil melaju hingga ke babak semifinal, yaitu wawancara di hadapan tujuh komisioner KY. Tapi langkahnya terhenti di situ. Ia tak sampai menjangkau babak final yang berlangsung di DPR. Hasil tes wawancara itu tergantung apakah jawaban kita enak didengar atau tidak, Munir berkisah. Ia kurang percaya para pewawancara itu bersikap objektif.

 

Biarpun begitu, Munir tak kapok beradu kehebatan di hadapan penilai yang subjektif. Februari lalu, ia mendatangi DPR—lembaga politik yang tersohor sarat kepentingan. Kebetulan, Komisi III DPR sedang punya hajat menyeleksi calon hakim konstitusi. Ada tiga nama yang bakal dipilih para wakil rakyat dari 16 nama yang ikut seleksi.

 

Di luar parlemen, para pemerhati Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut agar DPR tidak cuma terpukau oleh peserta yang pakar di bidang hukum tata negara. Mereka berharap ada variasi keahlian. Munir, yang punya keahlian di bidang hukum bisnis, secara tak langsung diuntungkan oleh wacana itu. Bahkan, rekan-rekannya di lawfirm sangat yakin si bos bakal melenggang dengan lancar. Tiga dari tujuh pengacara di kantor itu memilih kabur. Mereka khawatir kalau saya lolos, kantor ini akan tutup atau tidak menjadi kantor advokat lagi, ungkap Munir.

 

Optimisme Munir nyaris mencapai puncak sebelum ia mendengar kabar DPR melamar Ketua MK Jimly Ashshiddiqie untuk ikut seleksi. Katanya nggak mau ikut lagi. Eh, malah DPR yang melamar, kata Munir. Ia kian geregetan ketika mengetahui DPR mempersilahkan Prof Mahfud MD dan Akil Mochtar turut meramaikan persaingan. Bagaimana bisa objektif. Mereka adalah teman sesama anggota DPR, keluhnya lagi.

 

Usai menjalani fit and proper test, dan mengumpulkan satu suara di babak voting, pada akhirnya Munir hanya menjadi saksi sejarah bagi kemenangan Jimly, Mahfud dan Akil. Sesuai prediksi banyak pihak, DPR ternyata lebih merestui ketiganya.

 

Empat kali gagal bertarung di ajang seleksi pejabat negara tak membikin Munir menyurutkan niatnya untuk alih profesi menjadi penegak keadilan yang sesungguhnya. Ia tetap fight. Awal tahun ini, ia come back to KY. Munir masih punya keyakinan dapat lolos seleksi calon hakim agung. Di antara puluhan pendaftar, namanya tercatat sebagai peserta yang lolos persyaratan administrasi.

 

Nama: Dr Munir Fuady, SH, MH, LL.M

 

Tempat/Tanggal Lahir: Langsa, 20 September 1954

 

Pekerjaan: Advokat, kurator perusahaan pailit, dosen, pengarang buku

 

Penghargaan                 

- Fullbright Certificate on Mutual Understanding between the people of United States of America and the people of Indonesia (1989)

- 25 Top Konsultan Hukum Bisnis Indonesia (2001)

- Top Professional Indonesia (2002)

- Senior Lawyer of The Year versi Majalah Legal Review (2003)

 

Jika benar-benar lolos, Munir yakin dapat memberi warna tersendiri buat MA. Ia mencontohkan Artidjo Alkotsar dan Abdur Rahman Saleh. Kecepatan dan kecermatan membaca berkas perkara adalah keunggulan seorang pengacara dibanding akademisi, kata mantan aktivis LBH universitas yang pernah membela anggota Gerakan Aceh Merdeka di jaman Orde Baru ini.

 

Lolos tidaknya Munir tentu tergantung seberapa bagus nilai yang diperolehnya dalam seleksi. Dan, soal mekanisme penilaian ini, Munir punya kritik terhadap lembaga-lembaga yang melakukan seleksi pejabat negara, khususnya KY. Berdasarkan amatannya, KY terlalu semangat menjatuhkan reputasi peserta seleksi ketimbang mengujinya. Misalnya, KY suka membeber catatan kelam seseorang yang sebenarnya masih berupa gosip. Filosofi KY itu mencari mobil yang mulus. Semestinya KY mencari mobil yang sudah nyerempet-nyerempet. Mobil yang lecet, kata Munir.

 

Mobil yang mulus, Munir menjelaskan, adalah mobil yang ada di garasi. Mobil yang tidak beranjak ke mana-mana. Daya tahannya belum teruji karena belum menjelajahi jalanan. Mobil yang lecet-lecet berarti sebaliknya. Mobil begini sudah menelusuri jalanan berkelok dan berkerikil tajam. Ia nyerempet ke sana-ke sini. Wajar kalau body-nya belepotan dan catnya terkelupas.

 

Kalau mau yang seperti mobil mulus, cari saja akademisi. Pasti nilainya bagus-bagus, selorohnya. Sebab mereka tidak ke mana-mana. Hanya mengajar, balik ke rumah, tidur, besoknya mengajar lagi. Munir merasa lebih pas diidentikkan dengan mobil lecet. Ia nyerempet jagad advokat, penerbitan buku, kampus, hingga organiasasi profesi. Sayang, sebagai mobil lecet, Munir justru tak dilirik.

 

Bersama Prof Ahmad Ali, ketika wawancara seleksi hakim agung di KY, Munir dijadikan bulan-bulanan. Seorang komisioner KY menudingnya menulis buku dengan cara menjiplak karya orang lain. Itu gosip yang tidak benar. Mestinya ditunjukkan bagian mana dari 38 buku saya yang menjiplak. Mana mungkin saya menjiplak buku sebanyak itu, Munir membela diri. Dalam hal ini, ia tidak menyangkal adagium bahwa tulisan dengan satu referensi adalah jiplakan, sedangkan tulisan dengan banyak referensi adalah karya ilmiah. Buku saya selalu ada referensi, tapi bukan catatan kaki. Saya lebih suka menggunakan catatan pendek di tengah agar tidak mengganggu pembaca.

 

Pada kesempatan yang sama, Munir juga dicap sebagai kurator yang kurang disiplin dalam membuat laporan. Selain itu, ia juga dinilai kurang becus dalam mengelola keuangan saat menjabat Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Selatan. Itu fitnah. Biasa dalam berorganisasi selalu ada lawan dan kawan, bantahnya, kala itu.

 

Meski sudah tahu KY lebih terpikat kepada mobil mulus, toh konfidensi Munir tidak berkurang. Ia yakin bakal lolos, walau tidak punya jurus khusus untuk itu. Ia tidak akan menghafal pasal demi pasal sebuah Undang-Undang, meski ada beberapa peserta seleksi sepertinya sengaja dijegal dengan pertanyaan remeh tentang nomer pasal atau Undang-Undang. Dari dulu saya tidak pernah menghafal pasal-pasal. Kalau butuh, tinggal dibuka saja, kilahnya.

 

Diusung-usung oleh organisasi atau lembaga tertentu juga bukan kegemaran Munir. Kalau mau, bisa saja ia memobilisasi dukungan dari AAI. Nama Munir cukup bertuah di organisasi ini karena sebelum menjadi Ketua Dewan Kehormatan AAI Jaksel, ia pernah jadi orang nomer satu di AAI Jakarta. Toh, ia menampik cara-cara seperti itu.

 

Bergantung kepada pihak lain, bagi Munir, lebih banyak mudharat-nya. Sudah sejak muda ia menanam keyakinan bahwa ia bisa meraih sukses tanpa terbelit beban harus membalas budi. Semua itu tak lepas dari kenyataan bahwa ia sudah menjadi anak yatim sejak di bangku SMA.

 

Semasa kuliah S-1, berkat prestasi akademik, sejak semester tiga hingga lulus Munir berhasil menggondol beasiswa Supersemar. Saya adalah angkatan pertama penerima beasiswa Supersemar pada tahun 1975, kenangnya. Karena itu, tidak mengejutkan, ketika Yayasan Supersemar digugat di PN Jakarta Selatan, Munir menjadi kuasa hukum penerima beasiwa Supersemar yang mengajukan gugatan intervensi.

 

Tak hanya dari Supersemar, Munir juga merengkuh beasiswa dari berbagai organiasasi lain. Ia pernah merebut beasiswa Ford Foundation, TMPD (Tim Manajemen Program Doktor), dan Fullbright. Dengan beasiswa yang terakhir ini ia meraih gelar LLM dari Law School, Southern University, Dallas, USA.

 

Kini Munir menyadari, mengejar posisi hakim agung ternyata tidak segampang merengkuh beasiswa. Kondisinya bisa demikian kontras, karena penilaian dalam seleksi hakim agung tak sepenuhnya objektif. Asalkan penilaian dilakukan secara objektif, tidak ada kamus gagal di benak Munir. Tentu, Tergantung juga sama Yang di Atas, ujar suami Aklima ini.

 

Sehari-hari, Munir kini mengoperasikan kantor hukum miliknya. Sebelum punya lawfirm sendiri, ia pernah bekerja di kantor advokat milik Ghani Djemat. Ia juga pernah bergabung dengan lawfirm Lubis Ghani Surowidjojo. Dari profesi ini Munir sukses mengumpulkan rupiah. Terakhir –berdasarkan data Komisi III saat yang bersangkutan mengikuti seleksi hakim konstitusi beberapa waktu lalu- kekayaannya mencapai Rp2,5 miliar. Empat mobil mulus ia punya: Sedan Mercy, Kijang Innova, Atoz Hyundai, dan Volvo.

 

Jika suatu ketika di jalanan yang macet Anda ketemu 'Si Mobil Lecet' ini sedang mengendarai mobil mulusnya, cobalah menyapa dengan menjiplak iklan rokok, Apa obsesimu? Tentu, jawabannya bukan ingin menjadi sutradara. Sambil merapikan dasinya, mungkin ia akan menjawab, Saya ingin menjadi hakim agung.

Namanya Munir Fuady. Menjadi pengacara hampir 20 tahun, punya duit milyaran, menulis 38 buku tentang hukum dan mengajar di beberapa universitas, Munir ngotot ingin alih profesi. Saya ingin lebih berguna buat masyarakat, urainya.

 

Kurang bergunakah profesi advokat? Bukankah advokat adalah officium nobileum yang berarti pekerjaan yang mulia? Saya ingin mengembangkan hukum dan menegakkan keadilan, jawab Munir. Menjadi pengacara, baginya, tidak cukup leluasa untuk menegakkan keadilan. Sebab, pengacara hanya menawarkan keadilan. Yang memutus pada akhirnya adalah hakim.

Halaman Selanjutnya:
Tags: