Supremasi Konstitusi dan Upaya Meminimalisir Gugatan Penggangguan (Vexatious Litigation)
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Supremasi Konstitusi dan Upaya Meminimalisir Gugatan Penggangguan (Vexatious Litigation)

Harus dibedakan antara living law dan norma-norma kemasyarakatan. Harus ada dikotomi dan batasan yang tegas antara keduanya, walaupun tidak mudah membedakannya.

Bacaan 2 Menit
Supremasi Konstitusi dan Upaya Meminimalisir Gugatan Penggangguan (Vexatious Litigation)
Hukumonline

 

Istilah gugatan penggangguan cukup mencerminkan kerisauan penulis terhadap akibat di masa depan dari adanya gugatan semacam ini, karena gugatan-gugatan semacam ini disadari atau tidak adalah permulaan dari sebuah proses, atau cara untuk mengusik dan merisaukan pihak lawan yang dapat menyebabkan sistem hukum Indonesia menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berlanjut kepada rusaknya suasana kepastian hukum dan akan mendatangkan kekacauan apabila tidak ditanggulangi dengan segera.

 

B.     Kerusakan Lingkungan dan Gugatan Penggangguan

Beberapa waktu lalu, Managing Partner dari kantor tempat penulis bekerja pernah bercerita tentang seorang ahli tata kota yang pengalaman dan kecakapannya diakui secara internasional. Ahli tata kota itu persimis Jakarta akan terlepas dari persoalan banjir. Alasannya karena pembangunan Jakarta tidak disertai dengan pembangunan gorong-gorong air, sedangkan dengan ditutupinya permukaan tanah dengan aspal, maka tanah menjadi kehilangan daya untuk menyerap air dari permukaan. Setiap hujan turun, air tersebut dapat dipastikan akan tergenang di permukaan, dan sampai hari ini, teori ahli tata kota tersebut memang terbukti.

 

Proyek Banjir Kanal Timur yang diandalkan Pemerintah Daerah Jakarta tidak akan banyak menolong. Satu-satunya cara, menurut sang ahli tata kota, adalah seluruh bangunan di Jakarta dirubuhkan, dan Jakarta dibangun ulang dengan dasar yang benar (in casu, dimulai dari merancang gorong-gorong bawah tanah sebagai jalur lewatnya air), kemudian memulai membangun permukaan.

 

Mungkin usulan ahli tata kota ini terdengar ekstrim, namun bukan tidak masuk akal. Faktanya sempat muncul wacana memindahkan ibukota negara ini ke Kalimantan atau ke Jonggol, yang di mata penulis merupakan pengakuan langsung dari Pemda Jakarta bahwa mereka telah salah menerapkan kebijakan pembangunan Jakarta.

 

Sebelum perbincangan dengan Managing Partner tersebut, beberapa bulan sebelumnya penulis pernah mendengar cerita dari seorang teman yang tinggal di Kota Malang. Teman tersebut mengatakan masalah banjir juga kerap menghinggapi kota kelahirannya ini, padahal dia ingat, bertahun-tahun lalu Malang tidak pernah terjangkit penyakit banjir.

 

Lebih lanjut teman penulis yang bernama Cicilia itu bercerita bahwa kota Malang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum membangun kota Malang, Belanda terlebih dahulu memperhatikan masalah gorong-gorong, sehingga banjir  menjadi epidemi yang langka bagi masyarakat Kota Malang. Pesatnya pembangunan beberapa tahun belakangan tanpa disertai penataan yang baik membuat banjir mulai mampir ke kota apel ini. Berbeda dengan Belanda yang memusatkan dirinya kepada masalah gorong-gorong air, pembangunan yang dilakukan saat ini malah banyak menimbun gorong-gorong yang pernah dibangun Belanda. Banjir pun tak bisa dihindarkan.

 

Kedua kisah ini membuat penulis berkesimpulan bahwa pembangunan di Indonesia dilakukan tanpa memperhatikan fondasi terlebih dahulu. Masyarakat Indonesia ingin semuanya serba instan. Sudah jadi pengetahuan umum, kalau mau berhasil seseorang harus memperhatikan dasarnya. Sebelum bisa berlari, anak-anak harus belajar merangkak, kemudian belajar berdiri, secara pelahan belajar berjalan. Apakah mungkin seorang bayi yang baru lahir langsung dapat berlarian? Begitulah gambaran umum sifat orang Indonesia, selalu terburu-buru dalam melakukan sesuatu, tidak mau bersabar dalam memupuk fondasi, ingin segala hasilnya dapat diperoleh dalam waktu singkat.

 

Mungkin sebagian besar pembaca sudah mulai bertanya tentang hubungan dari cerita di atas dengan artikel ini? Sebenarnya sejalan dengan pembangunan Indonesia yang dilakukan secara instan, proses pembangunan hukum Indonesia juga dilaksanakan secara instan, mem-bypass prosedur yang seharusnya, semuanya dilakukan atas nama kepentingan pribadi/golongan, tanpa melihat masa depan sistem hukum Indonesia, apakah tindakan yang demikian akan merusak ataukah akan membangun sistem hukum Indonesia menjadi lebih baik, yang menurut penulis inilah yang diharapkan oleh Sacipto Rahardjo dengan teori hukum progresif yang digalakkannya.

 

Jangan sampai sistem hukum di Indonesia sudah terlanjur rusak kronis baru kita berusaha mulai memperbaiki, sambil mulai saling tuding dan menunjuk kesalahan kepada satu sama lain, jangan sudah mau buang air besar baru bikin WC. Ini adalah gambaran umum masyarakat Indonesia selama ini yang penulis perhatikan.

 

C.     Konstitusi dan Gugatan Pengangguan

Penulis mencermati bahwa persoalan yang ingin ditanggapi oleh kedua penanggap sebelumnya adalah apakah berbagai tindakan gugatan pengangguan (in casu, citizen lawsuit), sebagaimana diakui berasal dari sistem hukum common law, dapat dimasukan dalam sistem hukum civil law Indonesia (in casu, hukum acara perdata). Wisnubroto dengan mengutip salah seorang Juris Indonesia yang sangat dihormati, dan juga merupakan guru penulis, Bapak Soetandyo Wignjosoebroto melihat hukum Indonesia dari konteks sejarah. Hukum Indonesia dipaksakan berlakunya dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak jaman kolonial hingga Indonesia merdeka.

 

Lebih lanjut Wisnubroto menegaskan bahwa hukum Indonesia adalah ibarat benda asing yang tidak tumbuh secara alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (not developed from within but imposed from outside). Oleh sebab itu banyak yuris kita (Indonesia) yang menganggap civil law yang notabene berasal dari tradisi Eropa Kontinental sebagai sistem hukum Indonesia dan memperlakukannya secara strict dan harus steril sehingga seringkali alergi terhadap pengaruh sistem hukum lain. Wisnubroto lantas menggunakan fakta ini sebagai pembenaran untuk memaksakan masuknya judge made law dan model citizen lawsuit ke dalam sistem hukum Indonesia.

 

Ada pertanyaan paling dasar bagi penulis. Pertama. apakah saat ini Indonesia sudah benar-benar dapat terlepas dari pengaruh hukum asing dan menumbuhkan hukum secara alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia? Jawaban singkatnya adalah tidak. Penulis dapat mencontohkan puluhan produk peraturan perundang-undangan Indonesia yang dibuat dengan merujuk asas hukum asing. Judge made law dan model citizen lawsuit jelas bukanlah sebuah hukum yang tumbuh berkembang secara alami menurut masyarakat dan budaya Indonesia, teori-teori yang digunakan pemrakarsanya dapat dipastikan diambil dari orang asing tempat asal judge made law dan citizen lawsuit. Dalam hal ini muncul persoalan, sejauhmana konsistensi masyarakat hukum Indonesia lepas dari benda asing, apabila dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pun, lembaga legislatif masih sering melakukan studi banding ke negara lain.

 

Kedua, benarkah pemerintahan kolonial Belanda memaksakan berlakunya dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak jaman kolonial hingga Indonesia merdeka? Bagaimanakah kalimat ini apabila dihadapkan dengan Pasal 163 ayat (1) I.S. yang membagi penduduk Indonesia menjadi golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera?, yang walaupun untuk hukum pidana tidak diberlakukan pembagian demikian, tapi untuk hukum perdata terdapat pemisahan antara hukum yang berlaku untuk golongan Eropa � Timur Asing, dan Bumiputera. Bahkan pembagian hukum acara-pun dibagi, yaitu HIR/RBG untuk bumiputera dan RV untuk golongan yang lain.

 

Ketiga, bukankah Konstitusi kita sendiri yang meratifikasi SEMUA produk perundang-undangan yang dibuat sebelum Indonesia merdeka sebagai hukum nasional sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang baru (peraturan peralihan ini sepanjang pengetahuan penulis belum diamandemen). Apakah pemerintah kolonial dapat dipersalahkan apabila ternyata hingga puluhan tahun sejak Indonesia merdeka, kita masih menggunakan berbagai peraturan yang diratifikasi tersebut, yang notabene adalah keputusan founding father kita?

 

Apabila kita memang mau benar-benar mempunyai produk peraturan perundang-undangan yang bernafaskan nasional, maka berhentilah mencangkok hukum dari negara lain, dan mulai menggali perasaan keadilan yang ada di masyarakat Indonesia dengan tindakan nyata.

 

Dari seorang ahli hukum yang sangat concern mengenai hukum adat, penulis melihat ternyata memang potensi hukum adat untuk dimasukan sebagai kaedah hukum nasional sangatlah besar, itupun apabila masyarakat Indonesia dapat menghilangkan sikap rumput tetangga selalu lebih hijau alias produk luar negeri (in casu common law) lebih baik. Padahal untuk dapat mengadopsi hukum asing ke dalam hukum dalam negeri jelas tidak dapat dilakukan dengan semena-mena, dan membutuhkan perencanaan dan penyesuaian yang matang.

 

Harahap dan Wisnubroto juga menafikan kemungkinan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai gugatan penggangguan ini. Sebab, salah-salah bisa terkena sanksi karena didakwa telah melakukan vexatious litigation. Bahkan dengan sedikit ambigu, Harahap menyatakan bisa-bisa hakim yang malas memeriksa perkara malah kemudian memanfaatkan celah peraturan perundang-undangan tersebut untuk langsung memutus penggugat telah melakukan gugatan penggangguan. Terlepas dari pendapat tersebut, hingga saat ini penulis tidak dapat mengerti hubungan antara hakim yang bersikap arbiter dengan gugatan penggangguan, karena arti hakim yang bertindak sebagai arbiter adalah hakim yang bertindak di luar proses perkara, misalnya mediasi sebagai bagian dari court annexed-mediation. Demikian juga korelasi tribunal dalam masalah adanya gugatan penggangguan di Indonesia.

 

Entah disadari atau tidak oleh kedua penanggap artikel, akan tetapi Indonesia sudah memiliki hukum untuk digunakan dalam menghadapi gugatan penggangguan tersebut, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum. Di sini mungkin akan dipertanyakan, bagaimana bisa seseorang yang, sebagaimana dikatakan Harahap, menggunakan hak konstitusional-nya kemudian malah dihukum?

 

Seperti yang umum diketahui, semua yang namanya hak berlaku limitatif dan tidak boleh mengakibatkan terganggunya pihak lain dari penggunaan hak tersebut. Setiap pelaku yang menyalahgunakan haknya, dapat dikenakan pasal a quo. Dengan demikian apabila tergugat berhasil membuktikan penggugat melakukan gugatan penggangguan, tentu adalah wajar dan normal apabila majelis hakim memberikan ganti kerugian.

 

Penemuan hukum terhadap kekosongan norma pada Pasal 1365 KUHPer vis-�-vis hak konstitusional penggugat lebih sejalan dengan pendapat Prof. Scholten yang mengatakan bahwa hakim itu menjalankan rechtsvinding (penemuan hukum). Hal ini rasanya sudah sejalan dengan pendapat Harahap yang membebankan pembuktian adanya gugatan penggangguan kepada tergugat, walaupun dari artikel sebelumnya penulis pun telah berpendapat sama, karena bukankah siapa yang berdalil memang memiliki beban untuk membuktikan dalilnya tersebut dengan bukti-bukti yang diterima dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan?

 

Berbeda dengan judge made law yang memang dapat berupa pembentukan hukum yang mengikat pihak selain pihak yang berperkara, maka rechtvinding sejatinya hanya mengikat para pihak, sebab fungsi hakim bukanlah pembentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. yang intinya hakim tidak dapat memberikan keputusan yang berlaku sebagai peraturan umum. Dengan demikian jelas, menafsirkan bunyi dari pengertian peraturan perundang-undangan tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang, hal ini agar dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai pembuat undang-undang.

 

Wisnubroto sempat menyebut mengenai legal-positivistik, dan memang benar, harus diakui penulis adalah salah satu penganut legisme, karena kenyataannya, hukum harus identik dengan peraturan perundang-undangan. Legisme justru diperlukan untuk membatasi kesewenang-wenangan hakim dalam memutus perkara (judicial dictatorship), terutama hakim yang tidak cakap dalam memutus perkara. Dalam salah satu artikel di hukumonline, kalangan hakim sendiri mengakui bahwa pengetahuan hakim di Indonesia sangat kurang, karena itu tunjangan perlu untuk ditingkatkan agar dapat membeli literatur asing. Dari tulisan Harahap, penulis menyimpulkan ternyata kadang kala ada hakim yang malas memutus perkara dan kemudian memutus secara sembarangan saja.

 

Dengan kualitas dan kepribadian hakim Indonesia seperti gambaran di atas, apakah kita masih berani memberikan kewenangan judge made law kepada para hakim Indonesia? Penulis setuju peraturan tertulis tidak dapat menjangkau perkembangan masyarakat, karena itu hakim perlu diberikan kewenangan rechtsschepping. Namun sekarang belum saatnya dan pemberian kewenangan itu juga harus konstitusional, bukan hanya karena emosi dan demi kepentingan golongan semata kemudian secara aklamasi tanpa dasar yang jelas kewenangan itu diberikan.

 

Kewenangan judge-made law merupakan kewenangan besar, sebuah privilege. Karena itu penerima kewenangan itu juga harus dipersiapkan dengan matang dan merupakan individu yang tepat. Perbaiki dahulu kualitas hakim agar dapat membuat hukum. Bagaimana bisa kewenangan ini diberikan, apabila di Indonesia masih terdapat hakim yang tidak bisa membedakan perkara perdata dan perkara tata usaha negara, serta perkara yang merupakan kewenangan pengadilan negeri atau kewenangan tata usaha negara? Tidak bisa membedakan gugatan yang berdasarkan hukum Indonesia dan gugatan eksperimen? (in casu gugatan citizen lawsuit dalam perkara ujian nasional). Janganlah memberi mahkota kepada orang yang tidak mempunyai kemampuan sebagai raja.

 

Seandainya kewenangan judge made law dimiliki hakim-hakim Indonesia (terlepas dari hakim di Indonesia tidak memiliki stare decisis, namun atas nama pembangunan hukum progresif, mari kita andaikan judge made law ada di Indonesia), bagaimanakah kewenangan judge made law bila dihadapkan dengan rechtvinding? Bahwa di satu sisi dikatakan hakim tidak berwenang memberikan putusan yang mengikat publik namun di sisi lain, dikatakan hakim juga berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat pihak-pihak di luar perkara (in casu putusan ujian nasional)? Bagaimana mencampur rechtvinding dan judge made law? Bagaimana mencampur air dan minyak?

 

Salah satu faktor terpenting terlaksananya judge made law yang dapat membuat hukum yang mengikat pihak yang bukan pihak dalam putusan adalah kewenangan stare decisis. Mengingat hakim di Indonesia tidak terikat putusan terdahulu, maka jelas tidak ada stare decisis di Indonesia. Dengan demikian putusan hakim tidak dapat mengikat pihak yang bukan pihak dalam putusan, dan karenanya judge made law tidak relevan untuk dibicarakan, belum lagi bahwa pemberian kewenangan pembentukan hukum tidak diberikan kepada hakim secara individu. Berikut penulis juga akan menjabarkan bahwa judge made law tidak konstitusional.

Arti konstitusi sebenarnya bukan hanya Undang-Undang Dasar saja, akan tetapi juga memiliki pengertian tidak tertulis, yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan yang dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara (Moh. Kusnardi, SH, dan Prof. Dr. Bintan Saragih, MA. Ilmu Negara. hal. 141). Dikatakan konstitusi kita mencakup keduanya, akan tetap benarkah demikian? Kenyataannya dalam banyak hal konstitusi kita harus mengalami berbagai amandemen, bahkan sampai ada usulan amandemen kelima. Dengan demikian penulis menyimpulkan, walaupun konstitusi kita memang mengakui adanya living law, dalam hal ini praktek ketatanegaraan, akan tetapi tidak boleh terjadi praktek penyimpangan terhadap UUD, dan bila memang penyimpangan secara drastis tersebut diperlukan, maka harus dilakukan amandemen.

 

Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 1 ayat (3) UUD'45 menyebutkan Negara Indonesia adalah negara hukum. Banyak yang dapat menafsirkan bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah peraturan perundang-undangan dan living law.


Apabila diperhatikan, ternyata beberapa persoalan dalam konstitusi kita tersebut diakhiri dengan kata diatur undang-undang. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) UUD perubahan kedua, dikatakan dengan jelas bahwa yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan adalah presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Maka, jelas, di Indonesia, hukum adalah identik dengan peraturan perundang-undangan.

 

Salah satu yuris Indonesia yang sangat penulis hormati, Jimly Asshiddiqie menulis bahwa hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan, keharusan, atau pun kebolehan. (Perihal Undang-Undang, hal. 9). Lebih lanjut dikatakan beliau bahwa kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif para wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu negara (ibid. Hal. 11).

 

Tentu saja hakim juga memiliki sejenis kewenangan judicial legislation, namun seperti diartikan oleh Mian Khursid dan dikutip Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan it is the rule-making power of the superior courts for the regulation of their own procedure. It is the true form of legislation except that it cannot create new law by way of precedent (ibid. hal. 11 � 12). Catat, bahwa yang dimaksudkan dengan hak membuat hukum dari hakim bukanlah pembuat peraturan perundang-undangan dalam arti sebenarnya, melainkan hanya prosedur yang dapat digunakan untuk beracara namun tidak boleh membuat hukum baru karena tidak ada preseden yang mengikat, itupun hanya Mahkamah Agung (misalnya PERMA dan SEMA) dan Mahkamah Konstitusi yang berwenang membuat prosedur hukum, bukan hakim biasa, bukan Ketua Pengadilan, namun Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

 

Pendapat Mian Khursid tersebut senafas dengan pendapat Bapak Yahya Harahap yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung memiliki kekuasaan dan kewenangan pengawasan tertinggi terhadap jalannya penyelenggaraan peradilan, yang dalam hal ini adalah membuat PERMA dan surat edaran (Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, hal. 116).

 

Fungsi PERMA itu sendiri adalah sebagai pelengkap dan dengan demikian tidak boleh merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri tanpa ada sandaran kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena itu juga tidak boleh membuat PERMA yang memuat kebijakan umum yang tidak berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan DPR (ibid. Hal. 169). Hal ini sejalan dengan kewenangan rechtvinding yang menyatakan bahwa hakim (in casu Mahkamah Agung) tidak mempunyai wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat kebijakan umum (bandingkan dengan judge made law pada perkara ujian nasional).

 

Mungkin ada yang bertanya, apabila class action yang merupakan asas hukum common law dapat diterima, kenapa citizen lawsuit tidak? Jawabannya sederhana saja, karena class action mempunyai asas hukum yang sejalan dengan asas hukum acara perdata Indonesia, bahwa setiap warga masyarakat yang menggugat berdasarkan perwakilan kelompok harus memiliki kepentingan ataupun hubungan hukum dengan tergugat, oleh karena itu penulis sependapat gugatan semacam ini sejalan dengan sistem hukum Indonesia.

 

Bandingkan dengan pendapat Bapak Yahya Harahap yang menyatakan bahwa jika diperhatikan ketentuan pasal 3 PERMA No. 1 Tahun 2000  terdapat persamaan syarat-syarat formulasi gugatan dengan HIR atau RBG (Hukum Acara Perdata, hal. 152-153).

 

Sayangnya citizen lawsuit tidak memiliki kesamaan sedikitpun dengan HIR atau RBG, apalagi RV, dengan kenyataan ini, apakah demi keadilan substansial, lalu sistem hukum acara Indonesia harus dirusak? Padahal Harahap sendiri mati-matian berargumen bahwa kita tidak boleh merusak sistem hukum acara yang ada. Lebih lanjut Harahap menyatakan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat adalah berdasarkan kontrak sosial. Pertanyaannya adalah, apakah istilah kontrak di sini sama dengan istilah perjanjian / perikatan diatur dalam KUHPer, sehingga pemerintah dapat digugat ke pengadilan perdata? Dari buku Jean-Jacques  Rousseau yang diterjemahkan menjadi Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip hukum politik, penulis mengintepretasikan bahwa istilah kontrak di sini lebih merupakan konsep yang bernuansa publik. Penulis setuju pemerintah, apalagi presiden dan DPR yang dipilih langsung memiliki kewajiban moral kepada konstituennya, tetapi, perlawanan terhadap setiap kebijakan yang tidak bermoral harus sesuai dengan sistem hukum yang ada. Misalnya, apabila ada undang-undang yang bersifat vexating seperti yang dikuatirkan Harahap, maka, bawalah ke Mahkamah Konstitusi untuk dieksaminasi apakah sesuai dengan Konstitusi kita, atau peraturan sejenis Peraturan Daerah tanggerang mengenai pelacuran, dapat dibawa ke Mahkamah Agung atau dilaporkan ke Menteri Dalam Negeri.

 

Lagipula, jelas ada maksud pembuat undang-undang dari pembagian pengadilan, misalnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara, karena disadari para hakim tidak mungkin mengerti semua kaedah-kaedah hukum. Oleh sebab itulah badan pengadilan harus dipisahkan sesuai dengan jenis perkara. Oleh karena itu perkara tata usaha negara tidak boleh dibawa ke Pengadilan Negeri, karena selain tidak sesuai dengan norma peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga mencegah adanya putusan yang justru aneh bin ajaib dari sudut pandang norma hukum tata usaha negara, hanya karena hakim Pengadilan Negeri yang memutus perkara tidak mengerti mengenai subtansi perkara ataupun bagaimana asas-asas umum pemerintahan yang baik seharusnya dipraktekkan.

 

Disadari atau tidak, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah organisme, di mana setiap organ-organ negara harus bertindak sesuai wewenangnya masing-masing. Dalam hal pengadilan, maka fungsinya adalah menegakkan keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengikat umum dan yang dapat diterapkan pada sesuatu persoalan (bandingkan dengan pendapatnya Prof. Paul Scholten, Bellefroid, Georg Jellineck, dan Kranenburg). Apakah bisa jantung mengambil alih fungsi lambung? Pemberian kewenangan judge made law yang justru bertentangan dengan Pasal 24 Konstitusi jelas akan merusak sistem hukum yang ada, belum lagi tidak konstitusional.

 

Berbeda dengan hakim di negara common law yang konstitusinya memungkinkan para hakimnya untuk mengeyampingkan undang-undang yang dibuat parlemen, maka kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, karena itulah tidak mungkin ada judge made law di Indonesia, setidaknya sampai Konstitusi kita diamandemen. Itupun bukan sekarang saatnya, sebab, sebagaimana dikatakan oleh Bapak Jimly Asshiddiqie, maka Indonesia membutuhkan hakim yang benar-benar kompeten, berintegritas dan dapat dipercaya.

 

Penulis memasukkan citizen lawsuit sebagai salah satu gugatan penggangguan karena gugatan sejenis ini apabila terus menerus dilancarkan berpotensi merusak tatanan sistem hukum acara perdata yang ada, karena tidak sesuai dengan sistem hukum acara kita. Juga dapat menyebabkan para hakim menjadi semakin bermimpi indah bahwa mereka memiliki wewenang judge made law, yang juga berpotensi lahirnya putusan dari negeri seribu dongeng dan menambah rusak dan carut marutnya penegakan hukum di Indonesia.

 

Semua tindakan-tindakan penemuan hukum harus sejalan dengan Konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tidak boleh hantam kromo, suka-suka dewek dan suka-suka udel-nya hakim dan para pihak. Ini adalah prinsip paling dasar yang harus senantiasa diingat dan dijunjung tinggi. Apabila dirasa sebuah peraturan perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi, maka silakan dibatalkan atau diganti oleh legislatif dan eksekutif. Dengan demikian supremasi Konstitusi adalah dengan tidak membiarkan adanya gugatan penggangguan semacam citizen lawsuit, setidaknya sampai sistem hukum kita dirombak dan disesuaikan oleh organ negara yang berhak untuk mengakomodasi gugatan semacam ini.

 

D.     Peraturan Perundang-Undangan vs 'Living Law'

Sebagai seorang legalis, tampaknya kurang lengkap apabila penulis tidak mengutip Bapak Legal Positivistik Modern, Hans Kelsen, beliau menjelaskan bahwa hukum adalah peraturan yang memaksa (bandingkan dengan pendapat Bapak Jimly Asshiddiqie mengenai definisi hukum). Sesuai dengan asas hukum umum, maka seseorang tidak boleh dihukum sebelum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur demikian. Prinsip ini adalah dasar dari negara hukum, terlepas dari keberatan dari kalangan hukum progresif, sebagaimana penulis simpulkan dari pendapat Wisnubroto, yang menyatakan bahwa Indonesia bersifat plural, karena Indonesia juga terdapat hukum adat dan hukum Islam. Mengenai pendapat ini muncul pertanyaan dalam diri penulis, dengan majemuknya masyarakat Indonesia, bagaimana caranya menemukan living law?

 

Apakah dengan demikian carok di Madura boleh dibiarkan atas nama zeitsgeist mengingat ini adalah salah satu hukum adat? Dengan demikian pasal pembunuhan di KUHP dapat dihilangkan khusus untuk warga Madura, karena telah dilakukan penciptaan hukum berdasarkan living law? Hanya orang tidak waras yang akan menyetujui pendapat ini.

 

Bagaimana zeitsgeist di tengah persoalah pornografi misalnya, di mana sebagai warga Indonesia menyatakan adalah porno apabila auratnya wanita terlihat, akan tetapi di Bali dan Irian Jaya, wanita yang telanjang dada-pun dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja? Apakah sesuai dengan pengejewantahan zeitsgeist, apabila ada sebuah daerah di Indonesia yang mengenakan gembok (secara harafiah) di celana wanita pemijat, dengan tujuan mencegah tindakan asusila yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat?

 

Bagaimana menemukan zeitsgeist di tengah warga masyarakat yang menghujat aliran agama yang tidak sesuai dengan agama aslinya dan kemudian main hakim sendiri dengan merusak tempat ibadah si penghina agama? Apakah merupakan living law apabila ada seorang pencopet yang tertangkap kemudian dihakimi oleh massa hingga meninggal? Apakah dengan demikian pengadilan tidak diperlukan lagi, karena hukum sudah dengan progresifnya menemukan living law, yaitu kalau penjahat tertangkap, silakan dilakukan pengadilan jalanan (living court of law?). Tentu tidak boleh, karena ini namanya hukum rimba.

 

Apakah merupakan living law enforcer apabila ada organisasi keagamaan yang merazia sendiri berbagai tempat maksiat atau menghancurkan banyak rumah ibadah agama lain hanya karena alasan rumah ibadah tersebut tidak memiliki ijin? Apakah sesuai prinsip hukum progresif dan zeitsgeist melihat keputusan pemerintah salah satu daerah baru-baru ini yang mencekal seorang penyanyi dangdut, dengan demikian secara langsung melanggar hak konstitusi yang bersangkutan untuk mencari nafkah namun memenuhi rasa keadilan dan kesusilaan sebagian warga Indonesia yang gerah melihat aksi sang penyanyi dangdut di panggung?

 

Atau haruskah Pengadilan Negeri harus membebaskan pelaku pelanggaran lalu lintas berupa motor yang melawan arah, mengingat sudah menjadi semacam living law bahwa pengendara sepeda motor melawan jalur yang seharusnya?

 

Menurut penulis, harus dibedakan antara living law dan norma-norma kemasyarakatan. Harus ada dikotomi dan batasan yang tegas antara keduanya, walaupun tidak mudah membedakannya. Dengan masyarakat Indonesia yang begitu majemuk dan ratusan norma kemasyarakatan yang berbeda di antara warga masyarakat, justru keberadaan peraturan perundang-undangan tertulis semakin terasa penting. Penting agar diketahui dan dimengerti pedoman mengenai yang dilarang dan yang diperbolehkan negara. Hukum haruslah menjadi roda penggerak perubahan bagi norma-norma kemasyarakatan yang berpotensi merusak nilai keadilan itu sendiri, dan hanya peraturan perundang-undangan tertulislah yang dapat melakukan itu semua.

 

Meminjam kalimat dari Harahap, maka penulis akan membiarkan juri-juri dari sidang pembaca untuk dapat menilai sendiri apakah sistem legalitas sudah saatnya dihapus dari bumi candradimuka Indonesia?, dan apakah para hakim Indonesia sudah cukup dewasa dan cakap untuk menerima kewenangan membuat hukum sendiri dan mengeyampingkan undang-undang? Bagi penulis jawabannya hanya ada satu, belum. Yang lebih penting lagi apakah boleh sistem hukum Indonesia dirusak atas nama perasaan keadilan?

------

 

*) Penulis adalah associate pada sebuah kantor advokat.

 

A.     Pendahuluan

Pada saat penulis mengirimkan naskah artikel yang berjudul Upaya Meminimalisir Vexatious Litigation di Indonesia ke redaksi hukumonline beberapa waktu lalu, tidak pernah terlintas sedikitpun bahwa tulisan sederhana tersebut akan ditanggapi melalui artikel-artikel yang sangat menarik dan membuka pikiran.

 

Sebagai tanda ucapan terima kasih, penulis memberikan artikel tanggapan. Pada artikel ini, penulis akan menggunakan istilah gugatan pengangguan sebagai padanan istilah vexatious litigation. Sudah menjadi komitmen pribadi penulis untuk seminimal mungkin tidak terjerumus sikap mengadopsi secara hantam kromo istilah dan asas hukum asing. Penggunaan kata vexatious litigation sebelumnya lebih disebabkan saya tidak sempat mencari padanan kata yang tepat. Sempat terlintas untuk memakai istilah gugatan beritikad buruk. Tetapi ini pun tidak tepat, karena tidak semua gugatan penggangguan dilakukan dengan itikad buruk dari penggugat. Penggunaan istilah gugatan tidak berdasarkan hukum juga kurang tepat, karena sering kali gugatan penggangguan justru dilengkapi dengan dasar hukum yang berlapis-lapis, walaupun apabila diperhatikan akan terasa tidak ada relevansinya dengan pokok perkara, namun direlevan-relevankan.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua mengartikan kata ganggu sebagai 1. menggoda, mengusik; 2. merintangi, menyebabkan tidak berjalan sebagaimana mestinya (tt keadaan umum, dsb); 3. merisaukan; 4. merusak suasana; dan 5. mendatangkan kekacauan (hal. 290). Penggangguan sendiri diartikan sebagai, proses, cara, perbuatan mengganggu (ibid). 

Tags: