Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah
Oleh: Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. *)

Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah

Berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat banyak timbul permasalahan hak-hak atas tanah. Cukup banyak gugatan yang dimajukan masyarakat kepada pemerintah melalui pengadilan, baik secara individu maupun secara kelompok.

Bacaan 2 Menit
Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat Hak-Hak atas Tanah
Hukumonline
  1. Ketetapan harus dibuat oleh alat yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
  2. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak  (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming).
  3. Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu bilaman cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
  4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.[*]

 

Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah, misalnya: Ketetapan yang dibuat oleh organ atau pejabat yang berwenang (on bevogd), ketetapan itu dibuat karena adanya penipuan (bedrag), ketetapan itu tidak menurut prosedur berdasarkan hukum (rechtmatige) dan ketetapan itu tidak memenuhi tujuan peraturan dasarnya (doelmatige) atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang (detounament de pauvoir).

 

Perbuatan hukum Pemerintah/BPN dalam melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan sertifikat sebagai suatu perbuatan hukum, untuk menimbulkan keadaan hukum baru dan melahirkan hak-hak serta kewajiban-kewajiban hukum baru terhadap orang/subyek hukum tertentu, harus memenuhi syarat-syarat dan tidak boleh mengandung unsur kesalahan baik menyangkut aspek teknis pendaftaran tanah maupun aspek yuridis. Kesalahan dalam hal ini berakibat batal atau dapat dibatalkan.

 

Kesalahan data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah akan menghilangkan unsur kepastian hukum hak atas tanah, sehingga orang yang berhak terhadap tanah tersebut akan dirugikan. Kesalahan juga akan berakibat terjadinya informasi yang salah di BPN sebagai alat kelengkapan negara yang akibatnya juga berarti menciptakan administrasi pertanahan yang tidak tertib.

 

Kriminalisasi dalam Pendaftaran Tanah

Pasal 52 UUPA Nomor 5 Tahun 1960  telah mengamanatkan penegakan hukum dan bidang pendaftaran tanah dapat dikenakan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan tertentu. Peraturan pelaksanaan dari ketentuan ini dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah. PP ini menggariskan kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Pasal 42 sampai Pasal 44. Kebijakan kriminalisasi dalam PP No. 10 Tahun 1961 dengan tegas menentukan bahwa sanksi pidana terhadap pelanggaran batas-batas dari suatu bidang tanah dinyatakan dengan tanda-tanda batas menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria. Pelanggaran atas pembuatan akta tentang memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, atau hak tanggungan tanpa ditunjuk oleh Menteri Agraria dipidana dengan hukum kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah.

 

Disamping itu juga dilarang Kepala desa menguatkan perjanjian mengenai tanah yang sudah dibukukan jika :

  1. permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan;
  2. tanah yang menjadi objek perjanjian ternyata masih dalam perselisihan;
  3. tidak disertai surat-suart tanda pembayaran biaya pendaftarannya. 

Pelanggaran terhadap hal tersebut dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga (3) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah (Rp10.000).

 

Kebijakan kriminalisasi dalam PP No. 10 Tahun 1961 ini ternyata tidak lagi dijumpai dalam PP No.  24 Tahun 1997. Hal ini berarti kebijakan kriminalisasi dalam pendaftaran tanah telah berubah menjadi dekriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, tetapi telah berubah menjadi pelanggaran yang bersifat administratif.

 

Meskipun PP No. 24 Tahun 1997 tidak mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat, tetapi tidak berarti kesalahan dalam pendaftaran tanah yang menyangkut adanya unsur-unsur kesilapan/kelalaian, penipuan dan paksaan dalam pembuatan data fisik dan data yuridis tidak bisa dijangkau oleh KUHP.

 

Paradigma Hukum Pidana modern memberikan arahan bahwa ketentuan pidana, ditujukan untuk mengatur dan mengendalikan tertib hukum dalam masyarakat, disamping menjamin ditegakkan rasa keadilan masyarakat atas perbuatan orang per orang atau sekelompok orang yang telah merusak atau melanggaranya. Suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur objektif, yaitu harus ada suatu perbuatan yang dirumuskan secara positif dalam KUHP (asas legalitas) yang telah dilakukan oleh seseorang. Disamping itu harus memenuhi unsur-unsur subyektif, yaitu orang yang melakukan perbuatan tersebut harus dapat bertanggung jawab dalam artian orang tersebut tidak sakit atau berubah akal/gila, tidak dalam keadaan terpaksa dan dalam keadaan darurat.

 

Asas legalitas yang dianut dalam KUHP, tidak lagi berlaku secara dogmatis tetapi dalam perkembangannya telah tereliminasi oleh asas ajaran melawan hukum materil (materiel wederrechtelijkheid) yang menyatakan bahwa suatu perbuatan sudah dapat dihukum apabila bertentangan dengan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Alasan-alasan untuk mengecualikan hukumannya harus dicari berdasarkan ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Asas ini telah menimbulkan paradigma baru dalam penerapan hukum pidana, dalam arti suatu kejahatan ataupun pelanggaran meskipun tidak diatur terlebih dahulu dalam undang-undang positif masih dapat dilakukan penyidikan dan penuntutan berdasarkan hukum yang tidak tertulis. Perbuatan melawan hukum ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hal ini berarti hukum diartikan tidak hanya semata-mata undang-undang tetapi meliputi kaedah-kaedah tidak tertulis dan asas-asas hukum. Perbuatan melawan hukum dapat ditafsirkan sinonim dengan onrechtmatigedaad dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

 

Dengan demikian suatu perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum (onrechtmatigedaad) adalah meliputi membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu (melalaikan sesuatu) yang:

  1. Melanggar hak orang lain.
  2. Bertentangan kewajiban hukum (rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu.
  3. Bertentangan denagn baik kesusilaan maupun asas-asa pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang lain.[�]

 

Dalam penerapan hukum pidana, menurut pendapat ahli hukum mengatakan bahwa unsur-unsur melawan hukum adalah unsur suatu delik, maka unsur melawan hukum itu tetap dianggap ada secara diam-diam, meskipun unsur melawan hukum itu tidak dirumuskan secara tegas dalam rumusan suatu delik.

 

Ajaran melawan hukum materil tersebut adalah sudah merupakan satu keharusan dalam penerapan hukum pidana modren. Ajaran ini telah melunakkan kekuatan dari Pasal 1 ayat (1) KUHP yang sudah tidak dapat kita pertahankan lagi secara konsekuen dalam era dewasa ini.

 

Asas ini dapat ditafsirkan berlaku dalam hukum pertanahan, meskipun sanksi pidana tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan pertanahan, tidak berarti pihak Kepolisian tidak dapat melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dan kejahatan dalam bidang hukum pertanahan.

 

Sesuai dengan paparan di atas, kebijakan dekriminalisasi yang terdapat dalam PP No.  24 Tahun 1997 tidak menutup kemungkinan bagi penyidik Polri untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang pertanahan. Penyidik Polri masih dapat mempergunakan hukum Pidana Umum (KUHP) sebagai dasar penyidikannya.    

 

Kejahatan ataupun pelanggaran pidana dalam hukum pertanahan dapat berupa kejahatan dan pelanggaran dalam pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok tanda batas tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah, dan dilakukan oleh beberapa oramg yang terkait, seperti kepala desa, lurah, camat dan orang yang memohon hak.

 

Terkait dengan pendapat di atas, di dalam KUHP dapat ditemukan ketentuan yang mampu secara minimalis menjaring pelaku tindak pidana di bidang pendaftaran tanah, yaitu antra lain denagn menggunakan Pasal 406 ayat (1) jo Pasal 407 ayat (1) KUHP, pelanggaran terhadap pasal 265 KUHP tentang Pemalsuan surat dan Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (delneming) jo Pasal 385 KUHP tentang Perbuatan Curang (bedrog). Dengan ketentuan pidana ini maka kebijakan kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan bidang pertanahan telah terakomodasi. Tetapi dalam proses penyidikan dan penegakkan hukumnya masih terdapat kesulitan teknis sehingga sulit untuk dilaksanakan karena harus pula dapat dibuktikan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan memenuhi unsur kesalahan (schuld).

 

Tanpa adanya kesalahan, seseorang tidak dapat dipidana (geen straaf zonder schuld) asas ini mengandung arti bahwa seseorang yang melakukan peristiwa pidana yang dapat dibuktikan tanpa ada unsur kesalahan dalam dirinya; maka ia dapat dibebaskan dalam segala dakwaan.

 

Indikasi Pidana

Dalam praktek pertanggung jawaban pidana senantiasa sangat dikaitkan dengan perbuatan sengaja (dolus) dan atau karena kelalaian (culfa). Pembuktian adanya unsur kesengajaan dan kelalaian sangat diperlukan misalnya tentang pembuatan data-data fisik maupun data yuridids dalam pendaftaran tanah, dicurigai adanya kesalahan terhadap penentuan tugu/batas patok yang memenuhi syarat teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena di banyak daerah tugu batas/patok adalah apa yang selama ini diyakini masyarakat secara alamiah baik itu berupa pohon, batas tegalan sungai dan sebagainya. Maka dalam hal ini penyidik Polri harus proaktif melakukan penelitian/investigasi tentang batas-batas tanah yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan.

 

Dalam banyak kasus data fisik ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini patut diduga apakah ada kelalaian dan kesengajaan dari aparat membuat tugu batas/patok dalam buku tanah yang bersangkutan. Disamping itu perlu diteliti apakah ada perbuatan memindahkan batas/patok yang asli dan menggantikannya dengan patok lain yang tidak sesuai dengan ukuran semula. Perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai perbuatan perusakan barang yang diancam dengan Pasal 406 dan Pasal 407 ayat (1) KUHP.

 

Kejahatan ini merupakan perbuatan sengaja melakukan perusakan atau pemindahan patok batas yang bersangkutan oleh pemohon hak ataupun oleh petugas BPN. Dalam hal ini patut diduga adanya indikasi kolusi. Disamping itu peran Kepala Desa ataupun Lurah sangat menetukan dalam hal pembuatan surat keterangan tidak adanya silang sengketa yang kemudian dikuatkan dengan surat keterangan Camat setempat terhadap tanah yang bersangkutan. Tidak mustahil hal ini dapat terjadi kerena adanya kepentingan berbagai pihak yang terkait dengan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat atas tanah. Perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana memberikan keterangan palsu/pemalsuan dokumen, yang dilakukan dengan penyertaan/turut serta (deelnemiing), perbuatan mana diancam dengan pasal 263 dan 264 KUHP yang ditegaskan sebagai berikut:

 

Pasal 263 KUHP:

(1)    Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 tahun;

(2)    Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

 

Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada Pasal 263 di atas adalah sebagai berikut:

 

Pasal 263 Ayat (1)

Unsur Objektif:

  1. Perbuatan, yaitu: (i) membuat palsu; atau (ii) memalsukan
  2. Objeknya adalah �surat', (i) yang dapat menimbulkan sesuatu hak; (ii) yang menimbulkan suatu perikatan; (iii) yang menimbulkan pembebasan hutang; atau (iv) yang diperuntukkan sebagai bukti pada sesuatu hal.
  3. Dapat menimbulkan kerugian dari pemakaian surat tersebut.
  4.  

 

Unsur Subjektif

Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

 

Pasal 263 Ayat (2)

Unsur Objektif:

a. Perbuatan, yaitu: memakai.

b. Objeknya adalah: (i) Surat palsu; (ii) Surat yang dipalsukan; atau (iii) pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian

 

Unsur Subjektif :

Dengan sengaja

 

Pemalsuan surat yang diperberat

Hukuman maksimum dinaikan menjadi 8 (delapan) tahun penjara apabila menurut Pasal 264, pemalsuan dilakukan terhadap:

         Akta-akta otentik;

         Surat hutang atau surat tanda hutang (certificaat) dari suatu negara atau bagian dari negara itu atau dari suatu lembaga umum (openbare instelling);

         Sero atau surat hutang (obligasi) atau surat tandanya dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan;

         Talon atau deviden atau tanda bunga dari surat-surat tersebut di atas ke-2 dan ke-3;

         Surat kredit atau surat dagang yang dapat diedarkan. Pemakaian surat ini dapat dihukum dama dalam Ayat (2).

 

Penyidik Polri perlu menentukan apakah perbuatan penyertaan/turut serta (deelneming), apakah termasuk turut serta yang berdiri sendiri (zelf standing deelnemers) atau termasuk turut serta yang assesoir (accessoire deelnemers). Penentuan ini adalah untuk menentukan pertanggung jawaban pelaku, apakah pelaku itu masing-masing berdiri sendiri, dengan kualitas perbuatan yang berbeda dan hukuman yang berbeda bagi masing-masing pelaku. Atau apakah perbuatan itu dilakukan antara pelaku dengan pelaku lainnya, saling berhubungan satu sama lain dalam arti perbuatan yang satu dianggap ada jika adanya perbuatan dari pelaku yang lain, sehingga pertanggung jawaban pelaku dinilai sama dan dijatuhin hukuman yang sama.

 

Para petugas BPN sebaga instansi yang berwenang, dalam hal penerbitan sertifikat hak-hak atas tanah, perlu terlebih dahulu memeriksa rekaman data fisik dan data yuridis dalam buku tanah, supaya penerbitan sertifikat tidak tumpang tindih atau terdapat dua (2) sertifikat atau lebih di atas satu (1) bidang tanah. Kemungkinan juga bisa terjadi di atas sertifikat Hak Milik dikeluarkan pula Hak Guna Usaha (HGU). Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan mengadukan masalahnya ke pihak kepolisian, maka pihak Polri harus melakukan investigasi tentang proses, prosedur, dan jika perlu atas kewenangannya dapat melihat buku tanah yang bersangkutan, berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 132 KUHAP.

 

Dalam rangka penyidikan kasus tersebut, pihak Polri dapat mempergunakan hukum pidana umum sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Pembuktian yang menyangkut peristiwa pidana tersebut dapat dilakukan sesuai dengan  Pasal 164 HIR/Pasal 184 KUHAP yang dimulai dari bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, pengakuan dan sumpah yang dapat diambil dari dokumen para saksi maupun tersangka dalam kasus tersebut. Diantara bukti tersebut yang paling dominan diperhatikan adalah bukti tertulis baik dalam akta autentik maupun dalam bukti tulisan lainnya.

 

Penutup

Sesuai dengan paparan di atas maka kebijakan kriminalisasi terhadap kasus tindak pidana dalam hukum pertanahan adalah sesuai dengan ajaran hukum pidana yang menganut asas melawan hukum materil, dalam arti bahwa perbuatan pidana tidak hanya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tertulis saja, tetapi termasuk juga perbuatan yang bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Alasan pengecualian hukuman dari perbuatan tersebut, harus dicari juga berdasarkan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.

 

Dengan berlakunya ajaran melawan hukum materil maka ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP telah berlaku negatif, yaitu asas legalitas yang menentukan bahwa seseorang tidak dapat dihukum kecuali undang-undang mengaturnya terlebih dahulu, ketentuan ini telah tereliminasi dengan berlakunya asas melawan hukum materil.

 

Sifat melawan hukum dari satu perbuatan dianggap ada secara diam-diam meskipun tidak dengan tegas dirumuskan dalam delik pidana. Untuk membuktikan adanya sikap melawan hukum, dapat dipakai asas perbuatan melawan hukum on recht matigedaad yang berlaku dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu perbuatan melawan hukum dapat ditafsirkan sebagai membuat sesuatu atau melalaikan sesuatu yang (a) melanggar hak orang lain, (b) bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu, (c) bertentangan dengan baik kesusilaan maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang orang lain.

         

Meskipun kebijakan kriminalisasi tidak ada dalam perundang-undangan pertanahan, khususnya dalam pendaftaran tanah, namun  terhadap kejahatan dan pelanggaran dalam pendaftaran dan penerbitan sertifikat tanah, pihak Polri dapat melakukan penyidikan dengan KUHP atau pidana umum.

 

--------

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Versi asli makalah ini pernah dipresentasikan pada Pertemuan Koordinasi Teknis Kuasa Hukum Pemda untuk Penanganan Perkara di Peradilan pada 28 November 2007.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Buku

 

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, 2003.

 

Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, Pustaka bangsa Press, 2004.

 

_____________, Kapita Selekta Hukum Tanah, Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004.

 

Parlindungan, A.P., Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Bandung, Alumni, 1978.

 

_____________, Pendaftaran Tanah di Indonesia Berdasarkan PP. 24 Tahun 1997 dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP. 37 Tahun 1998, Bandung, Mandar Maju, 1999.

 

_____________, Aneka Hukum Agraria, Bandung, Alumni, 1986.

 

Utrecht, Pengantar Administrasi Negara Indonesia, Jakarta : Balai Buku Ikhtiar, Tahun 1963 h 104-105.

 

_____________, Hukum Pidana I, Jakarta : Penerbitan Universitas Jakarta,1958.

 

 

Peraturan dan Undang-undang

 

Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.

 

Republik Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

 

Republik Indonesia, Kitab Undang-undang HukumPidana.

 

Republik Indonesia, Hukum Acara Pidana, Undang-undang No. 8 Tahun 1982.

 

Republik Indonesia, UU No.5 Tahun 1997 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutahan.

 

Republik Indonesia, PP No.10 Tahun 1961.

 

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

 



[*] Lihat Utrecht, Pengantar Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta:Balai Buku Ikhtiar, Tahun 1963) h 104-105.

[�] Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Penerbitan Universitas Jakarta,1958) h 270

Dalam menghadapi gugatan masyarakat di pengadilan, aparatur pemerintah daerah sering mengalami masalah teknik maupun non teknis. Hal ini mempengaruhi hasil dari pembelaan yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Daerah yang ditunjuk sebagai Kuasa Hukum oleh Pemerintah Daerah.

         

Sertifikat Hak atas Tanah

Serifikat hak atas tanah adalah suatu produk Pejabat Tata Usaha negara (TUN) sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara. Atas perbuatan hukum tersebut seseorang selaku pejabat TUN dapat saja melakukan perbuatan yang terlingkup sebagai perbuatan yang melawan hukum baik karena kesalahan (schuld) maupun akibat kelalaian menjalankan kewajiban hukumnya.

 

Atas perbuatan yang salah atau lalai tadi menghasilkan produk hukum sertifikat yang salah, baik kesalahan atas subyek hukum dalam sertifikat maupun kesalahan atas hukum dalam sertifikat tersebut. Kesalahan mana telah ditenggarai dapat terjadi dalam berbagai proses pendaftaran tanah.

 

Kesalahan dalam pembuatan sertifikat bisa saja karena adanya unsur penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan atau paksaan (dwang), dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertifikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum. Sedangkan bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara/BPN maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad atau penyalahgunaan kewenangan dari pejabat Tata Usaha Negara.

 

Prof. Van der Pot menyebut empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah, yaitu:

Halaman Selanjutnya:
Tags: