Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah
Fokus

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah

Pro kontra mengenai apakah SKB pelarangan Ahmadiyah bertentangan atau tidak dengan konstitusi sebenarnya bisa terjawab bila ada mekanisme constitutional complaint. Sayangnya, MK belum memiliki kewenangan tersebut.

Oleh:
Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit
Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah
Hukumonline

 

Beda FUI, beda Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kalau sampai SKB ini disahkan, berarti telah terjadi pelanggaran Konstitusi, ujar Aktivis AKKBB yang juga menjadi kuasa hukum Ahmadiyah, Asfinawati. Direktur LBH Jakarta ini mendalilkan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut kepercayaan dan agamanya.

 

Sayangnya, pendapat Munarman dan Asfin masih merupakan klaim masing-masing. Di Indonesia, jalur hukum untuk mempertentangkan secara langsung SKB dengan UUD 1945 belum ada. Padahal, hanya langkah hukum lah yang bisa membuktikan klaim masing-masing kubu benar atau salah. Kalau SKB terbit, tak bisa ke MK. Kalau di Afrika Selatan atau Spanyol ada yang namanya constitutional complaint (pengaduan konstitusional, red), ujar Wakil Ketua MK Laica Marzuki saat menerima perwakilan AKKBB di MK.

 

Definisi constitutional complaint secara bebas adalah pengaduan warga negara ke MK karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi. Baik UUD 1945 maupun UU No 24 Tahun 2003 tentang MK tak memasukan constitutional complaint sebagai kewenangan MK. Selama ini, salah satu kewenangan, MK sebatas menguji undang-undang dengan UUD 1945. Dengan kata lain, hanya terkait pelanggaran hak konstitusional warga negara dalam bentuk undang-undang.  

 

Jerman adalah salah satu negara di benua Eropa yang menerapkan mekanisme constitutional complaint. Di negeri Hitler tersebut dengan istilah Verfassungsbeschwerde, setiap warga negara yang merasa hak-hak fundamentalnya dilanggar oleh pejabat publik dapat mengajukan constitutional complaint ke MK. Hanya saja, pengajuan ini diperkenankan apabila medium pengadilan lain telah dicoba.

 

Pengajuan constitutional complaint tidak dikenakan biaya dan tidak ada kewajiban didampingi oleh pengacara. Dalam kurun waktu 1951-2005, tercatat 157.233 permohonan didaftarkan ke Federal Constitutional Court. Dari jumlah itu, 151.424 yang masuk klasifikasi constitutional complaints. Namun, hanya 3.699 permohonan atau 2,5% yang berhasil.

 

Contoh kasus yang cukup terkenal, ketika masyarakat muslim di Jerman mengajukan permohonan constitutional complaint gara-gara adanya larangan penyembelihan hewan berdasarkan UU Perlindungan Hewan. Masyarakat muslim merasa berkeberatan atas larangan itu karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih sebelum halal dimakan. Federal Constitutional Court mengabulkan permohonan dengan pertimbangan kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi. Sementara, larangan penyembelihan hewan hanya diatur dengan aturan di bawah konstitusi.

 

Selain Jerman, sejumlah negara lain yang juga menerapkan constitutional court antara lain Afrika Selatan, Korea Selatan, Azerbaijan, Bavaria, dan Kroasia.

 

Harus Amandemen UUD'45

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengakui memang sering terjadi pelanggaran konstitusi, tetapi warga negara yang terlanggar tak bisa berbuat apa-apa. Fakta empirisnya, memang sering terjadi pelanggaran konstitusi yang langsung dirasakan oleh warga negara. Tetapi tak bisa men-challenge-nya, jelasnya kepada hukumonline, Senin (12/5).  

 

Meski begitu, Firman menyadari mengapa kewenangan constitutional complaint tak diberikan kepada MK. Ia pun menjelaskan latarbelakang dibentuknya MK. Bila melihat risalah sidang MPR, lanjutnya, pembentukan MK berdasarkan kebutuhan pragmatis. Kala itu, latarbelakangnya adalah kasus Gus Dur yang bisa di-impeach begitu mudah. Karenanya, MPR mengharapkan agar ada mekanisme impeachment presiden yang jelas, sehingga terbentuklah MK. 

 

Pasal 24C UUD 1945

 

(1)  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2)  Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

 

Menurut Firman, latarbelakang dibentuknya MK ini berbeda dengan MK di negara lain. Ia mengungkapkan, di banyak negara, kewenangan pokok MK itu sebenarnya hanya ada tiga. Pengujian UU dengan UUD 1945, constitutional complaint, serta memutus sengketa kewenangan lembaga negara, ungkapnya. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris. 

 

Berdasarkan penjelasan Firman, latarbelakang inilah yang membuat MK tak memiliki kewenangan constitutional complaint. Karena MPR kala itu lebih fokus kepada mekanisme pemakzulan presiden dibanding memikirkan mekanisme menyelesaikan pelanggaran konstitusi yang menimpa warga negara. Walau pada dasarnya, wacana pengujian undang-undang bukan hal yang baru di Indonesia. M. Yamin dalam sidang BPUPKI juga sudah mewacanakan hal tersebut (pengujian UU, red), ungkapnya.

 

Sementara itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie terkesan kurang tertarik dengan wacana constitutional complaint. Dalam kasus Ahmadiyah ini, MK memang menjadi lembaga negara yang ketiban pulung. Pihak-pihak yang berseberangan bergantian menyambangi gedung MK. Pertama adalah FUI, kemudian dalam hitungan hari hadir AKKBB. Setelah kubu Gogon (Ahmad Sumargono, Anggota FUI,-red), kini hadir kubu AKKBB, candanya saat menerima AKKBB yang didampingi oleh pengacara kondang Todung Mulya Lubis. 

 

Pertemuan itu memang tak menghasilkan apa-apa. Jimly pun enggan berkomentar lebih dalam, karena masalah ini belum sampai ke MK. Namun, soal constitutional complaint, Jimly punya pendapat sendiri. Ia menilai tak mudah memberikan kewenangan itu kepada MK. Banyak tahap yang perlu dilalui.

 

Di antaranya adalah amandemen UUD 1945 karena kewenangan MK hanya terbatas pada lima kewenangan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) saja. Norma pasal ini pun bersifat tertutup. Lain hal, kalau normanya bersifat terbuka seperti yang dimiliki Mahkamah Agung. Anak kalimat  '....dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang, dalam Pasal 24A UUD 1945, berarti memungkinkan penambahan kewenangan MA tanpa perlu mengubah UUD 1945.

 

Selain itu, lanjut Jimly, constitutional complaint bisa membuat MK berbenturan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Bila seseorang merasa dilanggar HAM maka orang tersebut bisa mengajukan constitutional complaint ke MK atau pengadilan HAM. Hal ini tak boleh terjadi. Satu kasus bisa dibawa ke dua pengadilan berbeda, ke MK dan pengadilan HAM. Analoginya, seperti kasus korupsi yang bisa diadili di pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam putusannya, MK sudah menyatakan dualisme seperti ini menabrak asas kepastian hukum.

 

Sementara itu, dalam benak Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan constutional complaint bisa saja dilakukan bila hakim konstitusi menafsirkan secara dinamis dan meluas terkait hak konstitusional pemohon dan legal standing (kedudukan hukum) pemohon yang diatur dalam Pasal 51 UU MK. Namun sebagai catatan bahwa perkara semacam ini (constitutional complaint,-red) telah menimbulkan beban berat bagi MK Jerman sehingga untuk membatasi perkara semacam itu masuk disyaratkan bahwa semua upaya hukum telah terlebih dahulu ditempuh, tulis Maruarar dalam bukunya yang berjudul 'Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia'.

 

PTUN atau ke MA

Jimly juga belum bisa memberi saran terkait langkah hukum khusus untuk SKB bila nanti jadi diterbitkan. Kita harus lihat isi SKB itu dulu, ujarnya. Memang banyak langkah hukum yang bisa ditempuh, seperti membawa SKB itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) atau menguji ke MA. Namun, kedua langkah itu memiliki kajian berbeda.

 

Bila dilihat dari bentuknya, SKB merupakan ketetapan atau beschiking. Sifat dan isinya, seharusnya individual-konkret. Kalau memang sesuai antara bentuk dan isinya nanti, maka forum untuk mengujinya adalah PTUN. Namun, belum tentu antara bentuk dan isi akan sesuai. Bagaimana bila isinya berupa pengaturan? tanya Jimly. 

 

Bila seperti itu memang akan sulit memilih forum untuk mengujinya. Berbeda dengan ketetapan, sifat dari sebuah peraturan adalah umum-abstrak. Forum penyelesaiannya, bisa menguji peraturan itu ke MA dengan dipertentangkan dengan undang-undang. Namun, Uniknya, bentuk SKB tak dikenal sebagai peraturan perundang-undangan menurut UU No 10 Tahun 2004 yang berbicara mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

 

Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang berpendapat kedudukan SKB setara dengan Peraturan Menteri. Ia pun mengutip ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mengatur peraturan menteri secara implisit.

 

Pasal 7 UU 10/2004

 

(1)  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

 

(4)  Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Mengacu kepada pendapat Sonny, maka pengujian SKB bisa saja diajukan ke MA. Karena telah dikualifisir sebagai peraturan yang berada di bawah undang-undang. Namun, undang-undang apa yang harus ditabrakkan dengan SKB ini. Bukankah UU No.1/Pnps/1965 dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) justru yang mengamanatkan Jaksa Agung untuk mengawasi aliran kepercayaan dengan membuat produk seperti SKB? Jawabannya bisa jadi adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

 

LBH Jakarta pun sudah berjanji akan membawa UU No.1/Pnps/1965 ke MK. Bahkan berdasarkan catatan hukumonline, janji ini sudah berusia tiga tahun. Tak jelas apakah janji ini hanya gertak sambal atau benar-benar terealisasi tahun ini, yang pasti kubu 'lawan' sudah siap menunggu. Bahkan Tim Pengacara Muslim, melalui Mahendradatta menantang agar janji itu direalisasikan. Kita siap menjadi pihak yang intervensi, sambung Munarman yang juga mantan Ketua YLBHI.

Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri sebagai tindak lanjut rekomendasi Bakor Pakem yang menyatakan ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyimpang, memang belum diterbitkan. Namun, pro kontra seputar SKB itu sudah merebak di masyarakat. Ada yang meminta agar SKB segera diterbitkan, ada juga yang meminta agar SKB tak perlu dikeluarkan. Dua-duanya mengacu pada hal yang sama, yaitu UUD 1945.

 

Forum Umat Islam (FUI) merupakan organisasi yang getol memperjuangkan agar SKB segera diterbitkan. Itu hak konstitusional umat Islam. Perlindungan terhadap akidah umat Islam, ujar Ketua Tim Advokasi FUI Munarman, beberapa waktu lalu. Ia menilai pembubaran JAI tidak bertentangan dengan UUD 1945. Langkah tersebut, menurut Munarman, justru dijamin oleh UUD 1945. Pendapat ini mengemuka ketika rombongan FUI menyambangi MK untuk membicarakan pembubaran Ahmadiyah dengan merujuk pada Konstitusi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: