Kuasa, 'Jalan di Tempat' Sejak Nusantara Merapat
Resensi

Kuasa, 'Jalan di Tempat' Sejak Nusantara Merapat

Kekhilafan konsep kuasa di Oud BW sudah direvisi di negeri induknya. Di negeri ini, kekhilafan masih melestari, baik konseptual maupun dalam praktek.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Kuasa, 'Jalan di Tempat' Sejak Nusantara Merapat
Hukumonline

 

Rachmad mengatakan, dunia bisnis sekarang cenderung menjauhi pengadilan.  Mereka takut ke pengadilan karena manuvernya masih pada hal-hal yang lama. Mendingan mereka milih bermusyawarah atau lewat arbitrase. Rachmad adalah praktisi dunia perbankan. Kini ia bekerja di salah satu bank multinasional di bilangan  Kuningan, Jakarta Selatan.

 

Seperti diketahui, praktek hukum positif perdata di Indonesia sebagian besar merupakan warisan  kolonial Hindia-Belanda. Tak heran jika di meja hijau Indonesia, seorang hakim pasti akan merujuk pada konsep-konsep hukum perdata pada Oud BW. Sialnya, mayoritas bersumber dari konsep lawas warisan Kerajaan Belanda.

 

Judul Buku

Hukum Perwakilan dan Kuasa

Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat ini

Penulis

Rachmad Setiawan

Tahun Terbit dan Penerbit

Maret 2005, Penerbit Tatanusa, Jakarta

Tebal Buku

vii + 240 halaman

ISBN

979-8409-91-4

 

Kesalahan konsep mendasar yang tertangkap Rachmad setelah menyandingkan kedua Kitab—yang berinduk dari satu Negeri itu—adalah pencampuradukan pengertian pemberian beban perintah (lastgeving) dan Kuasa (volmacht). Dalam KUHPerdata (Oud BW), kuasa diartikan sebagai perjanjian pemberian beban perintah. Padahal, ujar Rachmad,  Kuasa itu sebuah tindakan hukum sepihak. Bukan selalu perjanjian. Ini konsep yang salah dan sudah dibenahi dalam NBW, jelas Rachmad. Di Belanda, kedua hal ini sudah dipisahkan. Sudah ditarik garis yang tegas di antara keduanya.

 

Menelusup lebih dalam soal kuasa, Rachmad meletakkan dasar dari apa yang disebut Kuasa. Kuasa diartikan sebagai kewenangan yang diberi pada seseorang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi kewenangan. Uniknya, pengertian Kuasa ini tidak tercantum dalam KUHPerdata. Yang ada dalam KUHPerdata, tulis Rachmad, hanya pemberian kuasa sebagai terjemahan dari lastgeving. Sedangkan di NBW, hal itu sudah diatur dalam Pasal 3:60 ayat 1 NBW.

 

Hampir dalam tiap topik pembahasan, Rachmad membeberkan praktek pengadilan di kedua negara dalam memandang Kuasa. Hoge Raad—Mahkamah Agung di Negeri Keju—misalnya, dalam putusannya tanggal 24 Juni 1939 menyatakan bahwa pemberian kuasa bukanlah perjanjian. Sebab, pemberian kuasa tidak melahirkan perikatan sebagaimana dalam arti Pasal 1313 KUHPerdata.

 

Lain halnya  Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI). Dalam putusan tanggal 30 Juli 1985, MA menganggap bahwa pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian (lastgeving). Konsekuensinya, kuasa dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan keadaan.

 

Khusus-Umum Mutlak

Dalam praktek, salah kaprah juga berkembang dalam memahami prinsip dasar kuasa umum, khusus dan mutlak. Nah, Rachmad dalam buku ini coba menguak dari sumber asli dan mencari ketentuan tentang ketiga jenis kuasa itu di KUHPerdata. Ternyata di BW lawas itu, Rachmad hanya menemukan ketentuan soal kuasa khusus dan umum. Pun begitu, orang ramai masih menafsirkan dengan kurang tepat.

 

Contohnya soal kuasa khusus. Praktek mengartikan suatu kuasa khusus adalah kuasa yang harus dinyatakan secara terperinci sehingga mengandung kriteria spesialitas. Kalau tak rinci maka dianggap kuasa umum. Praktek ini sangat keliru, cetusnya. Pengertian khusus dan umum, paparnya, tidak mengacu kepada rinci atau tidak rincinya kuasa yang diberikan, melainkan dilihat apakah yang dikuasakan itu mengandung tindakan hukum tertentu atau tidak tertentu alias semua tindakan hukum.

 

Melalui sambungan telepon, Rachmad menjelaskan pada saya, Kuasa Umum itu kuasa untuk melakukan tindakan apa saja, dan juga bisa hal tertentu saja. Tapi sebatas tindakan pengurusan atau hal-hal umum. Perbuatannya, biasanya nggak terlalu signifikan. Pengurusan sehari-hari lah, paparnya.  Dalam BW ada di Pasal 1796. Namun dari kuasa umum ini, jika hendak melakukan penguasaan, diperlukan syarat-syarat. Disebutkan bahwa tindakan penguasaan itu harus dinyatakan dengan tegas.

 

Sedangkan kuasa khusus, lanjutnya, kuasa untuk satu dua perbuatan tertentu. Khusus, paparnya, karena bisa melakukan tindakan hukum penguasaan. Mengacu pada BW ada di 1795. Contoh kuasa khusus ini adalah kuasa menyewakan rumah, mengakhiri sewa, dan bila perlu menagih uang sewa rumah sekaligus kwitansinya. Sementara kalau kuasa umum tadi hanya untuk mengurus rumahnya, urainya.

 

Kesalahan dalam praktek ini, bebernya, timbul akibat penafsiran Pasal 1796 KUHperdata. Pasal itu kurang lebih berbunyi:  pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum hanya meliputi perbuatan pengurusan. Sedangkan untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya atau suatu perbuatan lain yang hanya bisa dilakukan pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata tegas. Kata-kata tegas itulah biasanya lebih dimengerti apabila kata-kata itu dinyatakan secara rinci, tuturnya.

 

Nah, soal kuasa mutlak, ternyata hal itu tidak ditegaskan dalam KUHPerdata. Meski tak termaktub, dalam praktek sering terjadi. Terutama dalam transaksi bisnis. Kuasa mutlak ini adalah kuasa yang tidak bisa dicabut kembali oleh pemberi kuasa. Jika kuasa mutlak ini diberlakukan, mengacu pada Oud BW, maka akan menjadi rancu. Sebab kemutlakannya itu bakal menyalahi ketentuan Pasal 1813, tentang berakhirnya kuasa. Pasal itu menentukan bahwa berakhirnya kuasa antara lain dengan ditariknya kembali kuasa dari si pemberi kuasa.

 

Lain halnya di Belanda, soal Kuasa Mutlak sudah diakui dalam NBW. Di Kitab Revisi itu, ujar Rachmad, sudah disebutkan jelas, bahwa kuasa yang untuk kepentingan penerima kuasa, diberikan apabila ada kewajiban yang memang harus dilakukan oleh pemberi kuasa pada penerima kuasa.

 

Secara sederhana Rachmad mencontohkan, dalam hal jual-beli rumah. Seorang pembeli sudah bayar pada penjual rumah. Timbul kewajiban pemilik rumah untuk mengalihkan kepemilikan rumah. Untuk menjaga jangan sampai dia tidak mengalihkan, maka dibuatlah surat kuasa yang tidak bisa dicabut kembali. Karena kalau dicabut kembali kan nanti pembelinya jadi kesulitan untuk balik nama, ujarnya singkat, mencontohkan.

 

Selain mengulik perbandingan kuasa sebagai bentuk perwakilan langsung, buku ini juga mengulas perbandingan hukum dalam perwakilan tidak langsung.

 

Seusia Kandungan

Buku ini berawal dari dapur perpustakaan Erasmus Huis. Dari nama saja, kita bisa menebak, perpustakaan yang menyimpan koleksi lebih dari 22 ribu judul buku itu berasal dari Negeri Kincir Angin. Ya, Erasmus Huis memang sebuah lembaga lintas budaya di bawah Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Melihat koleksi literaturnya, kepada saya Rachmad menyayangkan minimnya akademisi maupun praktisi hukum mengunjungi perpustakaan itu. Padahal koleksi buku-buku hukumnya banyak. Bisa dicari sumber-sumber asli (Belanda, red) di situ, Rachmad berkomentar.

 

Ceritanya, sepulang kerja Rachmad sering menyempatkan waktu mengunjungi perpustakaan Erasmus Huis. Terutama ketika ia diminta atasannya memecahkan sejumlah masalah yang tengah mendera perusahaan.  Untuk keperluan itu, ia lalu berburu literatur yang berhubungan. Ini berlangsung antara tahun 2003 hingga 2004. Saking rajin menyambangi perpustakaan, Rachmad sampai diganjar hadiah berupa sejumlah buku oleh Erasmus Huis.

 

Sambil menyelam minum air. Lantaran bahan berupa fotokopian yang menyangkut tentang kuasa sudah menumpuk, ia lalu berniat membikin riset. Saya kerjakan selama 9 bulan, ujarnya. Selama usia kandungan itu pula, ia memperbandingkan hukum perwakilan di Indonesia dan Belanda. Titik tautnya adalah Oud BW yang awalnya memang sama-sama dipakai di kedua negara. Rachmad mengerjakan riset itu di tengah kesibukan bekerja dengan  menyisihkan waktu 1 jam sebelum dan sesudah tidur untuk membaca.

 

Pucuk dicinta ulam tiba. Penerbit PT Tatanusa menerima karya Rachmad. Menurut Hanuri, Direktur penerbitan  Tatanusa, dari kontrak terbitan sebanyak 2500eksemplar, baru dicetak 1 kali pada 2005 sebanyak 750 eksemplar. Buat uji coba dulu, ujarnya. Ternyata buku itu laris manis. Sekarang ini sudah sulit didapat di toko buku.

 

Terlalu mengentengkan

Meski terbatas, buku yang mengulas khusus tentang Kuasa dan Perwakilan sebenarnya beberapa pernah diterbitkan. Rachmad mencontohkan buku berjudul Perwakilan Berdasarkan Kehendak, yang ditulis Hartono Surjopratikjno, terbitan Mustika Wikasa, 1994. Bukunya sih sebenarnya bagus, tapi penyampaiannya nggak populer akhirnya orang malah menjadi bingung. Saya tahu tentang kuasa bukan dari buku itu, tapi baca sumber-sumber aslinya,ujar Rachmad.

 

Sejumlah literatur karangan sarjana hukum Indonesia juga mencoba mengulas soal Kuasa namun hanya dalam bagian kecil. Buku-buku lain yang menguraikan soal Kuasa terlalu menganggap enteng. Saya sebenarnya nggak terlalu mengamati buku satu persatu yang sudah terbit, tapi sepanjang saya temukan seperti itu, ujar Rachmad. 

 

Dalam daftar pustaka buku ini, hanya terdapat lima literatur karangan sarjana hukum Indonesia, termasuk tulisan Ali Boediarto, Nindyo Pramono dan mantan hakim agung Soebekti. Selebihnya, buku karangan Sarjana Belanda , kumpulan Peraturan Perundanga-undangan dan yurisprudensi, baik dari Indonesia maupun Belanda.

 

Membaca perbandingan dalam buku ini, seakan menyandingkan dua hukum yang bermuasal dari satu rahim yang sama. Bayi satu sudah berkembang dewasa mengikuti waktu dan perkembangan, satunya lagi masih stagnan. Bahkan merangkak. Selamat merangkak!

 

Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika sebuah kekhilafan konsep melestari dalam praktek sehari-hari. Terlebih konsep mendasar itu adalah konsep dalam dunia hukum. Parahnya, di sebuah kitab babon yang jadi pegangan hampir semua praktisi hukum. Walhasil, praktek pun  jadi simpang siur. Lembaga pengadilan jadi tak konsisten membikin putusan, tak bisa lagi dijadikan patokan para pencari keadilan. Terlebih untuk dunia bisnis yang sangat dinamis.

 

Sejak sebelum Indonesia bebas dari cengkeraman kolonial, Oud Burgelijk Wetboek (Oud BW) dijadikan kitab pedoman dan hukum positif di Indonesia. Setelah merdeka, ia dikonkordansi menjadi KUHPerdata Indonesia. Digunakan sebagai acuan hingga detik tulisan ini dibuat.  Dalam buku ini, dibeberkan sejumlah ketentuan dalam Oud BW yang di induknya telah mengalami revisi hingga menjadi Nieuw BW (NBW).

 

Adalah konsep kuasa yang dibahas oleh buku setebal 240 halaman ini. Rachmad Setiawan, penulis buku ini, mengajak pembaca  memperbandingkan konsep  hukum perwakilan yang berlaku saat ini di Indonesia dan di Negeri Belanda. Jika dibandingkan, konsep Hukum Perwakilan dan Kuasa di Indonesia masih 'berjalan di tempat', sementara di Negeri Kincir Angin, sudah melaju ribuan langka.

 

Rachmad mengatakan, Indonesia selama ini sebenarnya hanya berputar-putar di sesuatu yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Sebenarnya  hukum itu kan logis. Ada kesalahan konsep dalam KUHPerdata. Kebanyakan hakim-hakim memutus pun kebanyakan masih dalam salah konsep, ujarnya beberapa waktu lalu.

Tags: