Militer Dinilai Hambat Penyusunan RUU Pengadilan Tipikor
Berita

Militer Dinilai Hambat Penyusunan RUU Pengadilan Tipikor

Pihak militer berharap agar RUU Pengadilan Tipikor diselaraskan dengan UU Peradilan Militer yang kini masih direvisi DPR.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Militer Dinilai Hambat Penyusunan RUU Pengadilan Tipikor
Hukumonline

 

Di satu sisi, bertambahnya kewenangan itu menambah nilai lebih buat Pengadilan Tipikor. Di sisi lain, bertambahnya kewenangan itu berimbas kepada molornya penggodokan draft RUU ini. Firmansyah mengungkapkan, draft RUU Pengadilan Tipikor hingga kini masih di tangan Presiden. Kabar yang berembus, pihak Istana akan melayangkan RUU ini ke Senayan dua pekan lagi. Presiden masih terus membahasnya dengan pembantunya di kabinet. Firmansyah menduga, pihak militer-aktif masih mikir-mikir bila harus diadili di Pengadilan Tipikor.

 

Dengan kondisi demikian, Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor tingkat banding, Surya Jaya, mengatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikor sedang di persimpangan jalan. Jika tidak dicari jalan keluarnya, besar kemungkinan deadline yang diberikan MK tidak terpenuhi. Tenggat waktu itu hingga 19 Desember 2009.

 

Skenario yang pertama, RUU Pengadilan militer harus diselaraskan dengan RUU Pengadilan Tipikor, ujarnya. Jadi, bukan  RUU Pengadilan Tipikor yang harus diselaraskan dengan RUU Pengadilan militer.

 

Di DPR, UU Peradilan Militer sedang direvisi. Pembahasan RUU-nya masih alot. Salah satu yang belum tuntas dibahas adalah soal bagi-bagi kewenangan pengadilan militer dan pengadilan umum. Kalangan militer lebih sreg menjadi pesakitan di pengadilannya sendiri ketimbang menjadi terdakwa di pengadilan umum.

 

Surya Jaya menambahkan, agar kalangan militer bisa diadili di Pengadilan Tipikor, skenario tadi tidak cukup. Harus ada skenario kedua. Yaitu Presiden menerbitkan Perpu untuk mengisi kekosongan hukum, jika RUU Pengadilan Tipikor belum juga disahkan, ungkapnya.

 

Kepala Pusat Penerangan TNI Marsda Sagom Tamboen membantah kalangan militer menghambat penyusunan RUU Pengadilan Tipikor. Persoalannya bukan sepakat atau tidak sepakat dengan RUU Pengadilan Tipikor. Yang penting semua aspek harus diperhatikan, ujarnya, ketika dihubungi hukumonline.

 

Yang terpenting, tandas Sagom, penyusun UU Pengadilan Tipikor harus memperhatikan harmonisasi dengan UU lainnya. Terutama UU Pengadilan Militer dan KUHAP. Selaras atau tidak, imbuhnya. Di tubuh TNI, kajian soal harmonisasi ini dilakukan Badan Pembinaan Hukum. Hanya, sejauh ini, Badan ini belum memberi keputusan resmi perihal clash antara RUU Pengadilan Tipikor dengan UU Pengadilan Militer.

 

Menurut Sagom, pengadilan militer sering menjatuhkan sanksi yang berat kepada prajurit yang terlibat dalam korupsi. Tidak hanya kurungan, sanksi itu bisa berupa pemecatan. Tidak benar bahwa sidang itu digelar tertutup. Sidang selalu dibuka. Masalahnya, siapa yang mau meliput, tuturnya.

 

Meski demikian, Sagom menegaskan, kalau pada akhirnya keputusan politik menyatakan TNI bisa diadili di peradilan umum, TNI akan manut saja. Dan, karena Pengadilan Tipikor termasuk dalam lingkungan paradilan umum, berarti militer-aktif yang melakukan korupsi bisa disidangkan di pengadilan ini.

 

Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bakal lebih luas lagi. Di samping dapat menyidangkan tindak pidana pencucian uang, pengadilan ini juga punya kompetensi untuk mengadili anggota militer-aktif yang terlibat kasus korupsi.

 

Bertambahnya wewenang itu terlihat dari draft RUU Pengadilan Tipikor edisi terakhir. Pasal 5 RUU ini menyatakan, Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, ini berarti Pengadilan Tipikor juga bisa mengadili korupsi yang dilakukan militer aktif, ujar Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Firmansyah Arifin, usai bertemu Ketua MPR Hidayat Nurwahid, di Gedung DPR, Kamis (22/5).

 

Di RUU ini, perkara yang disidangkan di Pengadilan Tipikor tidak hanya berasal dari hasil penyidikan KPK. Hasil penyidikan Kejaksaan Agung pun diperlakukan sama. Persoalannya sekarang, KPK dan Kejaksaan berani atau tidak melaksanakan kewenangan itu, imbuh Firmansyah.

 

Koordinator Biro Hukum KPK, Rooseno, ketika berdiskusi dengan DPD awal pekan lalu, juga berharap agar Pengadilan Tipikor dapat menyidangkan militer-aktif. Menurutnya, sudah waktunya militer diadili di Pengadilan Tipikor. Dengan begitu, prinsip kesamaan hukum (equality before the law) antara sipil dan militer bisa terwujud.

Halaman Selanjutnya:
Tags: