Ahli: Pembatalan Perjanjian Harus Lewat Pengadilan
Sidang Conoco

Ahli: Pembatalan Perjanjian Harus Lewat Pengadilan

Persidangan perkara sengketa antara CoPi dengan Sapta berlanjut ke adu argumen. Dari kontroversi keterangan ahli sampai kelayakan saksi.

Oleh:
CRD
Bacaan 2 Menit
Ahli: Pembatalan Perjanjian Harus Lewat Pengadilan
Hukumonline

 

Masuk ke pertanyaan pembatalan perjanjian yang dilontarkan dari pihak Sapta, Ridwan menyetujui perjanjian timbal-balik harus lewat kesepakatan. Tapi, kalau soal penghentian sepihak harus lewat penetapan pengadilan, imbuhnya. Alasannya, tindakan ini menyangkut hukum memaksa bukan hukum pelengkap.

 

Pihak kuasa hukum CoPi sepertinya kurang puas dengan penjelasan ini. Defrizal langsung menyerang ,untuk membatalkan perjanjian para pihak harus melalui pengadilan atau tidak?.

 

Yang ditanya menjawab singkat, Harus.

 

Saksi CoPi diterima

Pada agenda sidang kali ini, hanya Ridwan yang diterima baik oleh kedua pihak. Saksi fakta yang dihadirkan CoPi langsung disambut argumen oleh tim kuasa hukum Sapta. Dennis Emmett Rider, ahli pengeboran dari Lekom Maras, adalah sosok yang mengundang kontroversi tersebut. Alasannya, saksi tersebut mempunyai hubungan dengan CoPi.

 

Dennis memang pernah diperbantukan menjadi konsultan ahli di CoPi oleh Lekom Maras. CoPi memang mempunyai kontrak dengan perusahaan konsultan tersebut. Saat ditanya apakah dirinya pernah menerima upah dari CoPi oleh pihak Sapta, Dennis menyanggah hal tersebut. Menurutnya, dia hanya menerima upah dari Lekom Maras meski form pekerjaannya kala itu ditandatangani oleh CoPi sebelum disampaikan ke perusahaannya.

 

Adu argumen tim kuasa hukum CoPi dengan kuasa hukum Sapta makin memanas hingga hakim ketua menskors sidang pada jam 13.35 WIB. Majelis Hakim pun membicarakan kelayakan Dennis sebagai saksi di ruangan lain. Pada saat sidang dibuka kembali, Majelis Hakim memutuskan sidang dilanujutkan pekan depan (17/6) pukul 10:00 WIB.  Dasar pertimbangan majelis adalah keberatan dari pihak Sapta. Baru pada agenda tersebut Dennis dapat diputus sebagai saksi atau hanya diambil keterangannya.

Persengketaan ConocoPhillips (CoPi) dengan PT Saptasarana Personaprima (Sapta) memasuki babak pemeriksaan saksi ahli. Persidangan yang berlangsung pada Selasa lalu (10/6) di PN Jakarta Pusat tersebut hanya dihadiri pihak-pihak yang berkepentingan. Sapta yang diwakili oleh tim kuasa hukum dari OC Kaligis & Partners menghadirkan Ridwan Khairandy sebagai ahli. Ridwan yang bertitel doktor itu adalah pakar hukum perdata dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 

 

Ini lanjutan dari perkara kontrak kerja sama Conoco dan Sapta. Conoco adalah perusahaan minyak. Conoco punya proyek pengeboran di Kalimantan. Untuk melaksanakan kerjaan rig management service itu, Conoco menggandeng Sapta sebagai rekan. Perkembangannya, Sapta menganggap Conoco menyimpang dari kontrak kerja sama. Sapta merasa Conoco, sebagai pihak yang kedudukannya lebih tinggi (pemberi job), menekan Sapta untuk ikut saja atas perubahan kontrak itu.

 

Setelah sidang dibuka, Ridwan ditanyai bergantian oleh pihak Sapta, CoPi, dan majelis hakim. Pertanyaan-pertanyaan awal yang dilancar para penanya bersifat normatif. Dengan fasih, Ridwan menjelaskan bahwa kewenangan menilai kepatutan dari pelaksanaan suatu kontrak hanya dari dari pengadilan. Bukan dari pihak-pihak dalam perjanjian, terang Ridwan. Pernyataan ini membuat baik hakim ketua maupun Defrizal Djamaris dari tim kuasa hukum CoPi, makin terfokus ke ahli.

 

Ridwan memberatkan unsur kepatutan karena  perjanjian harus tunduk pada hukum kebiasaan dan kepatutan. Kepatutan dan kerasionalan perjanjian dinilai dari itikad baik yang melatari lahirnya perjanjian tersebut. Pada gilirannya, itikad baik akan diukur dari isi perjanjian dan berimbangnya para pihak dalam perjanjian.

 

Idealnya kedua pihak dalam perjanjian harus equal tapi pada prakteknya tidak mungkin terjadi, ungkap Ridwan. Jadi kedudukan pihak tidak wajib sama. Namun, ketimpangan kedudukan para pihak dapat menyebabkan penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih dominan. Penyalahgunaan keadaan menurut Ridwan adalah pemanfaatan kelemahan suatu pihak oleh pihak lawan agar pihak tersebut mengikuti kemauan lawan. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomis dan psikologis.

 

Dugaan penyalahgunaan keadaan harus memperhatikan fakta yang menyangkut hak dan kewajiban dalam pemenuhan prestasi. Faktor-faktor yang dapat memberi indikasi penyalahgunaan keadaan adalah isi perjanjian, posisi salah satu pihak lebih dominan, posisi pihak kedua tidak seimbang dengan pihak pertama. Tolok ukur yang dipakai untuk menilai isi perjanjian tidak imbang dapat dilihat pada posisi tawar para pihak. Ridwan membenarkan, adanya dugaan penyalahgunaan ini harus dibuktikan oleh pengugat. 

Tags: