Agar Si Kecil Manfaatkan HKI
UU UMKM:

Agar Si Kecil Manfaatkan HKI

Potensi hak atas kekayaan intelektual dari pelaku UKM begitu melimpah. Sayang, pemerintah mengakui kesadaran mereka masih rendah. UU UMKM yang baru saja lahir hendak mendorong kesadaran itu.

Oleh:
Ycb/M-3
Bacaan 2 Menit
Agar Si Kecil Manfaatkan HKI
Hukumonline

 

Sebenarnya lembaga yang dipimpin Suryadharma ini sudah menggandeng Departemen Hukum dan HAM, khususnya Ditjen HKI, dalam ikatan nota kesepahaman (memorandum of understanding, MoU). Akan kita sosialisasikan, janji Surya.

 

Jelas saja poin ini disambar dengan antusias oleh pelaku industri kecil. Bimada, contohnya. Pemilik usaha Bakmi Raos ini agak kesal. Maklum, merek dan ciri khas dagangannya kerap dicontek oleh pedagang mie lainnya. Banyak yang ikut-ikutan, ujar pemenang UKM Award 2006 versi Dji Sam Soe ini.

 

Sayang, Bimada sering menghadapi kendala dalam mematenkan ciri khasnya. Birokrasi berbelit, persyaratan susah, dan biaya mahal, tuturnya dari sambungan telepon, Rabu (11/6).

 

Mukti Asikin, pegiat Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) –lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi UKM, mengamini keluh kesah Bimada. Menurut Mukti, harusnya pemerintah menebar pusat paten ke sejumlah kabupaten dan kota. Hingga kini, bagi Mukti, pendaftaran HKI masih terpusat. Padahal, praktisnya, UKM justru terdapat di daerah. Dengan menempatkan layanan registrasi di daerah, pemerintah berarti makin dekat dengan rakyat.

 

Mukti juga mencatat pelaku usaha yang beromzet di bawah Rp5 miliar memang belum merasa perlu mematenkan produk maupun merek mereka. Alasannya, skala usaha masih kecil tak sebanding dengan mahalnya biaya dan layanan birokrasi. Padahal, Mukti mencatat, di Yogyakarta saja terdapat 150 usaha penerbit buku. Bisnis itu masih tergolong UKM.

 

Hingga berita ini ditulis, Dirjen HKI Andi Nursaman Sommeng belum dapat dihubungi. Berkali-kali hukumonline mengontak telepon selulernya, tak terangkat juga.

 

Kriteria

Wet ini mengatur kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah berdasarkan besaran kekayaan bersih dan omzet tahunan. Supaya dapat mengikuti perkembangan zaman, kriteria tersebut dapat diubah dengan sebuah peraturan presiden.

 

Usaha mikro merupakan jenis usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Hasil penjualan tahunannya paling banyak Rp300 juta.

 

Sedangkan pelaku usaha kecil merupakan pebisnis yang punya aset netto di atas Rp50 juta sampai dengan paling banyak Rp500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan. Omzetnya berkisar antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun.

 

Usaha menengah memiliki kekayaan bersih antara Rp500 juta hingga Rp10 miliar, tidak termasuk tanah dan bangunan. Ukuran penjualan tahunannya antara Rp2,5 miliar hingga paling banyak Rp50 miliar.

 

Jika sebuah usaha memiliki skala aset maupun omzet di atas kriteria usaha menengah, bisnis tersebut digolongkan sebagai usaha besar. Dan tentu saja, UU ini tidak mengatur soal usaha besar.

Lahir sudah Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM). Beleid yang merevisi UU No. 9 Tahun 1995 ini hasil gawean Menteri Negara Koperasi dan UKM bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi ini membidangi perindustrian dan perdagangan. Dalam Sidang Paripurna DPR Selasa (10/6), parlemen setuju untuk mengesahkan ketentuan ini.

 

Salah satu poin yang menarik adalah adanya klausul dorongan kepada pelaku UMKM untuk meregistrasi hak atas kekayaan intelektual (HKI). Misalnya, mematenkan produk mereka.

 

Sayang, kenyataannya, himbauan itu masih berupa angin lalu. Responnya kurang, tak seperti yang kita harapkan, keluh Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali di sela Paripurna.

 

Menurut dia, pelaku bisnis cilik ini baru bergerak jika produknya dipatenkan oleh pihak lain. Mereka baru sadar kalau sudah terjadi, sambungnya. Padahal, potensi HKI para pelaku bisnis renik ini lumayan besar.

 

UU UMKM

 

Pasal 16

(1)  Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang:

a.     produksi dan pengolahan;

b.    pemasaran;

c.     sumber daya manusia; dan

d.    desain dan teknologi.

(2)  Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif melakukan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)  Ketentuan lebih lanjuut mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka waktu pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Pengembangan dalam bidang desain dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d dilakukan dengan:

a.     meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;

b.    meningkatkan kerja sama dan alih teknologi;

c.     meningkatkan kemampuan UKM di bidang penelitian untuk mengembangan desain dan teknologi baru;

d.    memberikan insentif kepada UMKM yang mengembangkan teknologi dan melestarikan lingkungan hidup; dan

e.    mendorong UMKM untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan intelektual.

Tags: