MSAA Sulit Dibatalkan Secara Sepihak
Berita

MSAA Sulit Dibatalkan Secara Sepihak

Jakarta, Hukumonline. Rencana pemerintah membatalkan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) mendapatkan reaksi dari pengusaha dan pengamat ekonomi. Bahkan, pejabat pemerintah pun tidak satu suara terhadap gagasan ini. Prakstisi hukum malah melihat MSAA sulit dibatalkan secara sepihak.

Oleh:
Leo/Apr
Bacaan 2 Menit
MSAA Sulit Dibatalkan Secara Sepihak
Hukumonline
Adalah Menteri Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) yang menyatakan pemerintah, dalam hal ini Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), berupaya membatalkan MSAA atau perjanjian pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia antara Badan Penyehatan Perbankan Nasiional (BPPN) dengan konglomerat.

Kwik beralasan MSAA jelas telah melindungi konglomerat ‘jahat'. Kalau cacat hukum bisa dicabut dan saya tengah mengadakan pendekatan ke DPR, kata Kwik.

Para konglomerat itu dianggap telah melakukan mark up dengan menggunakan uang banknya sendiri dan melanggar legal landing limit. Konglomerat yang telah menandatangani pola MSAA antara lain: Soedono Salim, Sjamsul Nursalim, Bob Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad.

Menurut Kwik, jika MSAA dijalankan, negara akan rugi Rp80 triliun. KSKK tengah mempelajari apakah MSAA bisa dibatalkan atau tidak. Untuk itu KSKK membentuk tim ahli yang terdiri dari Kartini Mulyadi dan Fred Tumbuan.

Namun, upaya Menko Ekuin Kwik Kian Gie untuk membatalkan MSAA mendapat reaksi dari pengusaha dan pengamat ekonomi. Mereka melihat pembatalan MSAA akan menimbulkan ketidakpercayaan dan perseden buruk di mata investor asing.

Sulit dibatalkan

Pengamat dan praktisi hukum juga menyorot rencana pembatalan MSAA. Praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, berpendapat bahwa MSAA sulit dibatalkan secara sepihak. Apabila bila nantinya ternyata MSAA harus dibatalkan, harus tetap mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.

Menurut Todung, yang terpenting harus dilakukan analisis yang mendalam dan due diligence terhadap isi MSAA yang telah dibuat. Untuk melihat apakah syarat-syarat untuk dapat dibatalkan atau batal demi hukum itu terpenuhi atau tidak, ujar Todung kapada Hukumonline.

Ada dua perbedaan mendasar menyangkut mekanisme penyelesaian utang di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mekanisme pertama menggunakan MSAA, di mana aset yang dimiliki oleh debitur diserahkan kepada BPPN sebagai alat pengembalian utang. Mekanisme lainnya adalah menggunakan Master Refinancing Agreement (MRA), di mana asset yang dimiliki debitur hanya dijadikan jaminan

Pada MSAA, wewenang sepenuhnya ada di BPPN untuk menentukan kapan aset itu dijual dan pada harga berapa. Kalau ternyata pemasukan yang diterima BPPN dari hasil penjualan aset debitur berdasarkan MSAA lebih rendah daripada yang seharusnya, itu merupakan resiko BPPN.

Namun apabila setelah dijual ternyata hasil penjualannya lebih rendah daripada utangnya, si debitur tetap diminta untuk menambah selisihnya. Yang menentukan apakah seorang debitur melalui mekanisme MSAA atau MRA adalah jumlah dari nilai asetnya. Kalau jumlah dari nilai asetnya cukup, bisa masuk MSAA. Namun kalau kurang harus masuk MRA.

Efek negatif

Seorang analis sekuritas kepeda Hukumonline menyatakan bahwa akan timbul efek negatif apabila nantinya MSAA ternyata dibatalkan mengingat aset ini merupakan pembayaran ke BPPN dan otomatis menjadi pemasukan ke pemerintah.

Analis itu mencotohkan Astra yang 40% dari asetnya sudah dijual. Kalau nantinya MSA dibatalkan, bagaimana caranya untuk mendapatkan aset-aset itu lagi, ujarnya. Ia menambahkan bahwa mungkin saja BPPN salah menilai aset yang dulu diberikan atau ada missmanagement di BPPN saat mengelola aset tersebut mengingat kontrol sepenuhnya ada di tangan BPPN.

Tuti Hadiputranto, partner dari Hadiputranto Hadinoto & Partners juga berpendapat alasan dari adanya pembatalan MSAA harus jelas. Sekarang sepertinya terlalu dini untuk melakukan upaya pembatalan mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih.. Penurunan nilai aset yang dikelola BPPN sekarang amat bergantung kepada perelonomian negara, katanya kepada Hukumonline.

Menurut Tuti, yang namanya settlement memang seperti itu bentuknya. Untuk membatalkan perikatan yang sudah dibuat, tidak bisa begitu saja harus dilihat alasan-alasannya. Apalagi MSAA itu sudah berjalan dan dilaksanakan. Penting untuk melihat pada saat MSAA dibuat pihaknya siapa dan yang mengelola kemudian siapa, ujar Tuti.

Kwik menyatakan MSAA dibatalkan sepihak, tetapi BPPN akan tetap melanjutkan MSAA. Ketua BPPN Cacuk Sudarijanto menegaskan MSAA akan tetap diberlakukan untuk bank-bank yang sudah menandatanganinya.

Sementara Stake Holder Settlement Agreement(SHSA) hanya berlaku untuk bank-bank yang akan datang dan tidak berlaku untuk bank yang sudah menandatangani. SHSA adalah perjanjian pengembalian BLBI di mana pemerintah masih bisa menuntut jika jaminan kurang.

Pembatalan MSAA terkait dengan kepastian hukum. MSAA yang sudah berjalan memang tidak begitu saja dibatalkan secara sepihak. Namun, barangkali MSAA bisa diteliti lebih mendalam untuk mencari solusi yang lebih baik.
Tags: