KPK dan Penelanjangan Korupsi
Tajuk

KPK dan Penelanjangan Korupsi

Proses pembuktian di muka Pengadilan Tipikor minggu lalu, dimana diungkapkan pembicaraan calon tertangkap, AS, dan Jamdatun, yang merujuk pada skenario penyelamatan AS dengan cara-cara yang sangat merendahkan kehormatan institusi Kejaksaan Agung, bukan petir yang menyambar di siang bolong.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
KPK dan Penelanjangan Korupsi
Hukumonline

 

Bagi awam, semua itu mungkin terlalu abstrak. Reformasi peradilan tidak menyangkut nasib perut mereka dan keseharian mencari nafkah. Bagi mereka tidak jelas apa kaitannya sistim peradilan yang bersih dengan biaya hidup yang meningkat karena harga BBM dunia yang terus melonjak. Padahal, peradilan yang bersih bisa memberikan jalan keluar, setidaknya atas pertanyaan hukum mengenai kebijakan publik yang ditempuh pihak eksekutif, melalui proses penegakan aturan hukum yang benar, adil dan memihak rakyat melalui proses uji kebijakan di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Padahal juga, mereka bisa mendapatkan keputusan yang adil atas misalnya keputusan yang salah yang merugikan mereka pada waktu terjadi pembebasan tanah, kenaikan biaya pendidikan, perawatan kesehatan, listrik, telpon, jalan tol, dan utilitas lainnya melalui proses di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses transparansi perkara di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai hasil reformasi peradilan bisa memberikan kejelasan bagi para pencari keadilan mengenai status perkara mereka sehingga mereka tahu betul bahwa mereka tidak dipermainkan oleh sistim atau orang yang korup. Transparansi keputusan pengadilan juga memberi kesempatan bagi para praktisi hukum, akademisi dan siapa saja untuk mengkritisi kebijakan hukum yang dibentuk oleh hakim, sehingga bisa dicegah untuk menjadi yurispurdensi yang mengikat. Akuntabilitas keuangan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan memberi akses kepada publik bahwa badan-badan tersebut dapat bekerja efektif, diberikan kompensasi dengan baik untuk menjalankan tugasnya, dan pada saat yang sama tidak lagi bersikap korup dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.

 

Jadi apa hikmah dan pesan yang harus mengemuka setelah kejadian penggrebekan di kantor Bea Cukai dan proses pembuktian di Pengadilan Tipikor tersebut? Pertama, tidak ada lagi posisi mundur ke belakang (point of no return) bagi pemerintah untuk mempercepat proses reformasi birokrasi termasuk reformasi peradilan dan lembaga dan institusi lain yang terkait dengan penegakan hukum. Kedua, reformasi peradilan tidak bisa diserahkan kepada pihak-pihak internal lembaga dan institusi yang di reformasi, karena mereka jelas butuh bantuan dan sekaligus juga tidak bisa dipercaya. Ketiga, investasi besar-besaran yang dibutuhkan untuk reformasi birokrasi bukan tindakan percuma; investasi membangun kembali bangsa ini melalui pilar-pilar sistim integritas nasional memang harus dilakukan, dan sekarang juga. Keempat, terbukti KPK dan Pengadilan Tipikor efektif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, jadi jangan coba-coba membuat perubahan yang melemahkan atau mengucilkan mereka. Kelima, kalau masih punya rasa malu, sebaiknya Jaksa Agung mundur saja, karena dibawah hidungnya semua kejadian yang memalukan itu terjadi. Mulailah bangun budaya bahwa yang harus mundur bukan hanya yang bersalah, tetapi juga yang bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi dibawah kendalinya.

 

 

Jakarta, tengah Juni 2008

ats  

 

Siapapun yang mendalami profesi hukum dan para pencari keadilan yang kerap mondar-mandir di gedung-gedung penegak hukum mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa dan kejadian yang menggambarkan sikap korup para penegak hukum Indonesia yang sangat memalukan.

 

Di satu pihak ini menimbulkan sikap apatis luar biasa bagi para praktisi hukum dan pencari keadilan, tetapi di pihak lain, kondisi ini merupakan satu ladang mata pencaharian dan jalan singkat untuk menjadi kaya, menang pengaruh dan kekuasaan bagi praktisi hukum dan para pihak yang berperkara yang korup. Buat mereka, praktek korup adakah sesuatu yang untuk diketahui dan dialami diri sendiri, tidak bisa dibuktikan, dan juga mengundang risiko bagi diri sendiri kalau diungkapkan tanpa bukti. Di dalam proses peradilan kita, dimana yang salah bisa jadi benar dan sebaliknya, risiko yang bisa mencoreng jejak rekam seseorang seumur hidup tentu selalu dihindari. Jadilah mafia peradilan dan dagang perkara sesuatu yang sexy dibicarakan, gosip dan desas desus yang seru dalam topik seminar dan makalah ilmiah, dan selalu dijadikan indikator dalam menentukan persepsi korupsi di sektor peradilan, tetapi tidak bisa dijadikan pijakan untuk memulai suatu reformasi peradilan secara nyata, efektif dan masif.

 

Bagi mereka yang berkecimpung di bidang hukum, pengungkapan pembicaraan tersebut di atas, dilihat dari skalanya yang melibatkan sejumlah petinggi pengambil keputusan di Kejagung, memberikan konfirmasi atas apa yang tidak bisa mereka buktikan selama ini. Seandainya KPK juga merekam pembicaraan telpon dan pertemuan antara para penegak hukum, praktisi hukum dan pihak-pihak yang berperkara, boleh jadi pembicaraan tadi bisa lebih memastikan bahwa skandal-skandal yang sama juga terjadi di kalangan hakim, advokat, pengusaha atau pihak yang berperkara. Kalau saja kuasa KPK diperlebar, maka sangat mungkin bahwa skandal-skandal yang sama terjadi di ruang-ruang petinggi eksekutif, parlemen dan pengusaha besar. Sayang, KPK hanya bisa merekam untuk tujuan penyelidikan dan penyidikan, sehingga sebagian besar skandal yang terjadi tidak terlacak, dan skandal baru berjalan mulus tanpa bisa diungkap, kecuali permainan mereka begitu joroknya dan meninggalkan jejak yang bisa dicium kelak oleh KPK dan penegak hukum lain.

 

Bagi para reformis dan penggiat anti korupsi, momentum ini bisa dijadikan pijakan kuat untuk mempercepat reformasi birokrasi termasuk reformasi peradilan. Ditambah dengan hasil penggrebekan di kantor Bea Cukai barusan, tidak ada lagi bukti lebih kuat yang bisa mendorong pemerintahan SBY untuk menuntaskan agenda reformasi birokrasi. Pemerintah, reformis dan penggiat anti korupsi hanya butuh semua petinggi departemen, lembaga dan institusi Negara, terutama yang selama ini resisten, untuk akhirnya menyerah dan mengizinkan tim reformasi dan KPK untuk menggulirkan rencana aksi mereka.       

 

Sementara bagi orang awam, pengungkapan pembicaraan dalam proses pembuktian di Pengadilan Tipikor tersebut, merupakan fakta luar biasa yang menyadarkan mereka bahwa obrolan warung kopi, sindiran di kafe, dan berita-berita di media mengenai mafia peradilan adalah bagian dari keseharian dalam kehidupan hukum kita. Tepat sekali kalau KPK dan para reformis di kalangan pemerintahan memulai agenda reformasi birokrasi di departemen, lembaga dan institusi Negara yang terkait dengan peradilan, karena itulah ujung proses berperkara dan menentukan kepastian hukum dan keadilan, dan itulah tempat berlangsungnya penegakan salah satu sokoguru sistim integritas nasional. Juga tepat bahwa reformasi birokrasi dimulai di Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, karena disanalah semua akuntabiltas pemberian dan penggunaan uang Negara dipertaruhkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: