Constitutional Complaint Sebaiknya Masuk UUD
Berita

Constitutional Complaint Sebaiknya Masuk UUD

Kewenangan MK juga perlu meliputi constitutional question. Hakim peradilan umum bisa menanyakan MK tentang konstitusional tidaknya suatu pasal, ayat, atau undang-undang yang digunakan, misalnya, untuk menjerat terdakwa.

Oleh:
MRD
Bacaan 2 Menit
<i>Constitutional Complaint</i> Sebaiknya Masuk UUD
Hukumonline

 

Ketika akhirnya Eggi Sudjana mengajukan pengujian pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP ke MK, ketiga pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun tiga orang hakim menyatakan pendapat berbeda. Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono menyatakan bahwa kalau persoalannya selama ini banyak aktivis yang kritis dijerat polisi dengan pasal-pasal KUHP tadi, hal itu adalah penerapan norma. Kalau hanya penerapan norma, sebaiknya ditampung lewat constitutional complaint. Masalahnya, seperti diakui kedua hakim, MK belum diberi kewenangan untuk itu.

 

Hajjah Sri Sutatiek kurang sependapat kalau constitutional complaint dan constitutional question ditempatkan dalam amandemen UUD 1945. Konstitusi harus bersifat singkat, jelas, luwes dan uptodate. Mengamandemen konstitusi jauh lebih sukar dibanding suatu undang-undang. Karena itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini lebih memilih kedua instrumen hukum tadi dimasukkan ke dalam suatu undang-undang. Misalnya, ke dalam amandemen Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof. J.E. Sahetapy juga mengingatkan bahwa mengamandemen konstitusi bukan pekerjaan gampang. Ia malah kurang menyukai wacana kelima UUD 1945. Seolah-olah ada grand design bahwa amandemen kelima itu kelak akan lebih baik dibanding yang ada sekarang. Amandemen konstitusi harus memperhatikan struktur, faktor kultural, dan kondisi negara bersangkutan, ujarnya.

 

Kalau memang pintu menuju amandemen kelima masih tertutup, dan tidak ada saluran hukum untuk menyelesaikan komplain dan pertanyaan konstitusional warga, apakah MK akan ber-ijtihad lagi?

 

Kalau ada persoalan konstitusi, masyarakat hampir selalu berpaling kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Misalnya ketika ribut soal Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai Ahmadiyah, sejumlah pihak mengusulkan membawa masalah itu ke MK. Padahal, jelas, pengujian SKB bukan lingkup wewenang Mahkamah yang dipimpin Jimly Asshiddiqie itu.

 

Hakim konstitusi Prof. Moh. Mahfud MD mengengarai saat ini harapan masyarakat begitu besar terhadap MK. Mahkamah telah menjadi kiblat penegakan supremasi konstitusi. Salah satu penyebab keadaan itu adalah keberanian MK melakukan ijtihad dalam melakukan pengujian undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, atau memutus sengketa hasil pemilu.

 

Berpalingnya masyarakat ke MK, sebenarnya mengindikasikan masyarakat begitu banyak berharap kepada Mahkamah ini. Sayangnya, kata Mahfud, harapan itu acapkali muncul karena kekurangtahuan masyarakat terhadap lingkup kewenangan MK yang terbatas. Setiap persoalan konstitusi seolah bisa diselesaikan dengan membawanya ke MK. Hal ini dapat dimaklumi karena tidak semua pelanggaran konstitusional memiliki instrumen hukum untuk menyelesaikannya. Misalnya, SKB tadi. Kalau ada yang mau memperkarakan ke MA, SKB bukanlah peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 10 Tahun 2004. Dibawa ke PTUN pun kurang tepat karena bukan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat individual dan konkrit.

 

Walhasil, masyarakat berpaling ke MK, meskipun MK hanya berwenang menangani pengujian undang-undang terhadap UUD. Mengapa orang berpaling ke MK? Ada masalah pelanggaran konstitusional, tetapi tidak ada instrumen hukum yang jelas untuk memerkarakan atau menyelesaikannya, papar Mahfud dalam diskusi publik Wacana Amandemen UUD 1945 di Jakarta, Kamis (12/6) pekan lalu.

 

Atas dasar itu, menurut Mahfud perlu dipikirkan memasukkan constitutional complaint dan constitutional question ke dalam amandemen UUD 1945. Yang disebut pertama adalah pengajuan perkara oleh warga negara karena hak-hak konstitusional mereka dilanggar akibat penerapan norma, sementara tidak ada saluran hukum yang tidak tersedia lagi. Yang kedua dimaksudkan bahwa hakim yang tengah mengadili suatu perkara menanyakan ke MK terlebih dahulu apakah suatu undang-undang konstitusional atau tidak. Salah satu kasus yang bisa dijadikan contoh adalah ketika Eggi Sudjana dituduh mencemarkan nama baik Presiden, dan ia dijerat dengan pasa'-pasal penghinaan dalam KUHP. Hakim yang menangani perkara Eggi bisa menanyakan ke MK apakah pasal-pasal yang didakwakan jaksa konstitusional atau tidak.

Tags: