Mengatur Siapa Bubar, Siapa Sesat
Oleh: Eryanto Nugroho *)

Mengatur Siapa Bubar, Siapa Sesat

Ada dua peraturan usang yang mendadak populer dan dibuka-buka lagi oleh banyak orang beberapa waktu belakangan ini.

Bacaan 2 Menit
Mengatur Siapa Bubar, Siapa Sesat
Hukumonline

 

Pertama, pemaksaan asas tunggal Pancasila. Hal ini menjadi perdebatan panjang pada pembahasan di Panitia Kerja RUU Ormas tahun 1985. Nada penolakan terutama digaungkan saat itu oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Kedua, mendorong doktrin wadah tunggal yang bertujuan mengumpulkan berbagai organisasi dengan urusan yang sama ke dalam satu wadah yang sah agar mudah dikontrol.

 

Ketiga, memastikan pemberantasan segala bentuk perwujudan komunisme atau marxisme-leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, dan Keempat, memberikan kewenangan pembekuan atau pembubaran sepihak kepada pemerintah (untuk Ormas tingkat nasional perlu meminta saran dari Mahkamah Agung), tanpa mensyaratkan adanya suatu proses peradilan selayaknya pada sebuah negara hukum.

 

Masalah hukum semakin ruwet ketika UU Ormas yang jadi-jadian ini dalam praktek sering secara rancu dianggap sama dengan badan hukum Perkumpulan. Hukum Indonesia memang telah menyediakan bentuk hukum untuk organisasi berdasarkan keanggotakan berupa Perkumpulan. Sayangnya aturan tentang Perkumpulan hingga kini masih di atur dalam Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

 

Berbeda dengan UU Ormas yang memiliki dukungan politik yang kuat dari Orde Baru, perbaikan peraturan tentang perkumpulan ini tak kunjung dibahas. Kisaran tahun 2000 ada draft dari pemerintah berjudul RUU Perkumpulan dan Yayasan. Namun karena adanya desakan IMF melalui Letter of Intent-nya (Pasal 32 Memorandum of Economic and Financial Policies Medium-Term Strategy and Policies tertanggal 20 Januari 2000), UU Yayasan akhirnya lahir duluan pada tahun 2001. Hingga kini draft RUU Perkumpulan, yang sebenarnya memiliki argumentasi hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan UU Ormas, masih teronggok menanti dibahas di Departemen Hukum dan HAM.

 

Soal UU No.1/PNPS/1965 lebih pelik lagi. Lahir dari bentuk Peraturan Presiden yang merupakan bentuk yang tak diakui dalam UUD 1945, UU No.1/PNPS/1965 mengandung juga satu masalah krusial yang sangat perlu segera disikapi oleh negara ini. Permasalahan krusial itu berupa benturan peraturan yang memiliki kecenderungan untuk mengadili keyakinan ini dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Kesan mengadili keyakinan ini muncul lagi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang perintah dan peringatan kepada JAI yang terbit 9 Juni lalu. Selain mencampuradukkan antara peraturan yang bersifat mengatur (regeling) dan yang bersifat menetapkan (beschikking), SKB juga mewarisi semangat mengadili keyakinan  dengan mengeluarkan larangan untuk menafsirkan ajaran yang berbeda dengan sesuatu yang disebut sebagai pokok-pokok ajaran.

 

Jangan Teruskan Minum Obat Daluwarsa

Dalam teori perancangan peraturan perundang-undangan, peraturan seharusnya berisi berbagai solusi atas masalah atau potensi masalah yang terjadi di masyarakat. Peraturan adalah buku resep obat yang siap sedia untuk dikonsumsi ketika terjadi masalah pada masyarakat.

 

Dari penjabaran di atas dapat kita lihat bahwa kemasan, warna, dan kandungan  sang obat sudah lewat waktu alias daluwarsa. Obat yang demikian akan jauh dari proses penyembuhan, melainkan malah bisa berpotensi meracuni. Sia-sia mencari solusi sehat dari dua peraturan berpenyakit itu.

 

Demikian parahnya daluwarsa dua peraturan usang itu, baik dari segi konteks maupun substansinya (bahkan sudah beracun sejak sebelum daluwarsa), maka sebaiknya keduanya dicabut saja. Jangan sampai seperti usaha Departemen Dalam Negeri belakangan ini yang ngotot memanfaatkan momentum untuk menghidupkan lagi UU Ormas. Revisi UU Ormas yang konon judulnya berubah menjadi RUU Organisasi Masyarakat Sipil semakin menegaskan ancamannya kepada kebebasan berserikat berkumpul di negeri ini. Khusus untuk urusan ini, lebih baik Pemerintah mendorong perbaikan RUU Perkumpulan yang lebih memiliki argumentasi hukum yang jelas. Perlu diperhatikan agar jangan seperti UU Ormas yang membuka peluang pembekuan dan pembubaran oleh pemerintah secara sepihak, pengaturan tentang pembubaran perkumpulan haruslah melalui suatu proses peradilan yang berimbang.

 

Pemerintah juga harus berhenti bersikap terombang-ambing menunggu arah angin. Sudah pada tempatnya negara harus selalu menjamin kebebasan berserikat dan kebebasan beragama yang dijamin konstitusinya sendiri. Setiap kali wacana bubar-membubarkan ataupun sesat-menyesatkan terangkat, saatnya pula konstitusi sebagai kontrak sosial itu dirujuk. Hak-hak konstitusional haruslah ditegakkan, tak peduli terhadap FPI ataupun JAI. Dalam hal terjadinya tindak kekerasan, hukum Pidana kita sudah lebih dari cukup untuk menindak setiap kekerasan yang terjadi, baik terhadap pelaku kekerasan ataupun yang memerintahkan.

 

Jangan sampai terulang lagi terjadi ketidakpastian hukum yang menimbulkan kebingungan. JAI yang telah puluhan tahun hadir di negeri ini, termasuk dalam masa berlakunya UU No.1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, baru tahun 2008 ini diberikan peringatan. Harusnya ada kejelasan sikap dari pemerintah, kalau tidak setuju dengan aturan bermasalah ini, mengapa tidak dicabut sejak dulu? FPI yang telah berulangkali melakukan aksi main hakim sendiri, baru Juni ini ditangani secara lebih serius. Wajar kalau kemudian timbul pertanyaan, kemana saja negara selama ini?

 

--------

*) Alumnus Erasmus School of Law Rotterdam, Peneliti di Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)

 

Keduanya terkait erat dengan heboh secara berlebihannya negeri ini atas berbagai urusan tentang Front Pembela Islam (FPI) dan  Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dua peraturan itu ialah UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (bukan organisasi massa!) dan UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.

 

Banyak pihak kurang menyadari bahwa kedua peraturan tersebut sesungguhnya mengandung beban problematik hukum yang lumayan berat. UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) adalah serigala berbulu domba yang akan selalu siap memangsa kebebasan berserikat berkumpul di negeri ini. Sementara UU No.1/PNPS/1965 punya tendensi untuk mengadili keyakinan sehingga berpotensi untuk berbenturan dengan konstitusi yang menjamin hak kebebasan beragama.

 

UU Ormas dan UU No.1/PNPS/1965

UU Ormas sejak lama kerap membingungkan orang. Ormas bukanlah sejenis badan hukum tersendiri, melainkan ramuan ajaib khas Orde Baru yang berusaha memayungi dan membina segala jenis organisasi (berbadan hukum ataupun tidak) yang dibentuk berdasarkan kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan.

 

Urusan payung-memayungi dan bina-membina yang digembar-gemborkan UU Ormas sesungguhnya tak lebih dari agenda politik Orde Baru untuk mengontrol berbagai organisasi yang ada. Kalau mau ditelisik secara teliti dari risalah sidang pada waktu itu, agenda yang dibawa oleh UU Ormas sebenarnya hanya ada empat.

Tags: