Great River Kembali Digugat
Berita

Great River Kembali Digugat

Meski sudah dipanggil secara patut, manajemen maupun kuasa hukum Great River tidak datang ke persidangan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Great River Kembali Digugat
Hukumonline

Keadaan makin buruk tatkala kantor pusat GRI dan IFI di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan ditutup sejak Desember 2006. Sejak itu, perusahaan tidak beroperasi lagi tanpa memberi kepastian dan hak kepada pekerja. Parahnya lagi, Sunjoto Tanudjaja, Presiden Direktur GRI sekaligus IFI, kabur entah kemana sejak Mei 2006.

Setelah dipanggil beberapa kali oleh petugas pengadilan, para tergugat, baik IFI maupun GRI tak kunjung datang. Tak juga mengutus kuasa hukum untuk mewakili di persidangan. Bahkan panggilan sidang untuk yang ketiga kalinya melalui harian Rakyat Merdeka, juga masih nihil.

Majelis hakim yang terdiri dari Sir Johan (Ketua), Junaedi dan Zenufa Zebua (masing-masing anggota), akhirnya melanjutkan persidangan. Artinya, majelis hakim nantinya akan memutus perkara ini secara verstek alias tanpa kehadiran tergugat.

"Para tergugat benar-benar tidak punya itikad baik dan hati nurani untuk menyelesaikan perkara ini. Kasihan mereka (buruh, red), sudah berapa lama mereka digantungkan hak-haknya? Pokoknya kami akan berusaha keras memperjuangkan hak mereka," demikian Sugito, salah seorang kuasa hukum penggugat.

Tiga kali perbaikan

Dalam persidangan yang digelar Kamis (26/6), sedianya Harris dkk akan mengajukan bukti tertulis sebagaimana diperintahkan oleh majelis hakim dalam sidang sebelumnya. Faktanya, hakim menarik pernyataannya. Ia menolak bukti-bukti yang sudah disiapkan penggugat.

Penolakan hakim didasarkan pada keadaan dimana berkas gugatan dipandang masih perlu diperbaiki. "Silakan diperbaiki terlebih dulu. Kami beri waktu satu minggu. Setelah itu, baru pembuktian," saran hakim Sir Johan. Perbaikan yang diminta hakim sebenarnya 'sepele'. Hanya melengkapi identitas ke-327 pengugugat. Jika sekarang hanya tercantum nama dan nomer pengenal penduduk (KTP), maka hakim meminta gugatan ditambahkan alamat masing-masing penggugat.

Atas perintah perbaikan tersebut, para buruh IFI yang mayoritas perempuan nampak kecewa. Di luar persidangan, Rita, salah seorang pekerja, mengaku tidak habis pikir dengan proses persidangan yang lama dan berbelit-belit. Menurutnya, bukan kali ini saja hakim memerintahkan perbaikan gugatan. "Ini udah yang ketiga kalinya, mas. Kenapa nggak dari pertama aja sih?" keluhnya kepada hukumonline.

Rita ada benarnya. Berdasarkan catatan hukumonline, ini adalah ketiga kalinya hakim memerintahkan perbaikan gugatan. Perintah pertama dinyatakan dalam persidangan perdana perkara bernomor register 106/G/PHI.PN.Jkt.Pst itu. Saat itu, hakim meminta agar tidak ada lagi coretan-coretan tangan atas kesalahan ketik dalam gugatan.

Perintah kedua perbaikan gugatan terungkap dalam persidangan selanjutnya. Waktu itu, hakim meminta agar daftar gaji dan kompensasi yang dituntut, dileburkan ke dalam gugatan. Bukan sebagai lampiran terpisah.

Pasal 83 ayat (2) UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) menyatakan bahwa, "hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya." Sayang, ketentuan ini memang tidak diiringi dengan ketentuan yang mengatur tentang waktu pemeriksaan gugatan oleh hakim.

Para buruh PT Inti Fasindo Internasional (IFI) -anak perusahaan PT Great River Internasional (GRI)- memang tidak mengenal lelah dalam memperjuangkan haknya. Meski gugatannya pernah kandas di tangan hakim, mereka kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Kali ini, sebanyak 327 buruh IFI yang dikomandani Harris Nurdin, menggandeng Bantuan Hukum Front dari DPP Front Pembela Islam sebagai kuasa hukum.

Para buruh berusaha mengikuti pendapat yang dinyatakan majelis hakim terdahulu di dalam putusannya. Kala itu, hakim menyatakan gugatan terhadap GRI adalah error in persona. Alasannya, para penggugat adalah buruh IFI, bukan buruh GRI. Sementara, saat itu hakim menyatakan bahwa GRI dan IFI adalah dua badan hukum yang berbeda.

Kini, Harris dkk mengajukan gugatan baru dengan mengikuti 'saran' hakim. IFI ditarik menjadi pihak tergugat I, sementara GRI sebagai tergugat II. Dalam gugatannya yang sekarang, Harris masih bersikukuh bahwa GRI tetap harus ditarik sebagai tergugat. Pasalnya, sebagai pemegang saham, GRI dinilai terlalu ikut campur dalam pengurusan IFI. Buktinya, tiap pengumuman yang dilakukan manajemen, selalu menggunakan kop surat GRI. Begitu juga dengan kebijakan perusahaan yang selalu ditandatangani oleh Direktur GRI.

Selain penambahan para pihak yang digugat, praktis tidak ada hal yang baru di dalam materi gugatan. Sekadar mengingatkan, gugatan para pekerja tersebut didasarkan pada fakta, bahwa sejak Januari 2005 perusahaan sering terlambat dan selalu kurang dalam membayar upah. Bahkan sejak September hingga Desember 2006, para pekerja tidak pernah lagi menikmati hasil keringatnya.

Merujuk pada ketentuan Pasal 169 Ayat (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, para pekerja merasa berhak mengajukan permohonan PHK, lantaran perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama lebih dari 3 bulan berturut-turut. Sementara, ayat (2) masih dari pasal yang sama menyatakan, buruh berhak mendapat uang pesangon sebesar dua kali ketentuan undang-undang. Setelah dikalkulasi, jumlah kompensasi PHK yang dituntut buruh mencapai Rp12,8 miliar.

Halaman Selanjutnya:
Tags: