Menakar Sikap Represif Aparat Berdasarkan Protap Dalmas
Fokus

Menakar Sikap Represif Aparat Berdasarkan Protap Dalmas

Letih, terpancing, terancam, dan melindungi diri dari amuk massa selalu dijadikan pembenaran oleh aparat dibalik aksi kekerasan. Padahal, polisi selalu bilang Protap Dalmas itu sifatnya preventif, bukan represif.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Menakar Sikap Represif Aparat Berdasarkan Protap Dalmas
Hukumonline

Fakta di lapangan berkata lain. Banyak aksi yang diwarnai bentrokan antara pendemo dengan satuan polisi yang melakukan pengendalian massa (dalmas). Tengok saja, data Komnas HAM Januari-April 2008. hanya dalam kurun waktu empat bulan di seluruh Indonesia terakumulasi 180 kasus kekerasan oleh aparat polisi yang ironisnya terjadi justru dalam rangka mengendalikan massa.

Belum lekang dari ingatan kita, peristiwa unjuk rasa sejumlah mahasiswa Universitas Nasional (Unas) menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berujung kisruh, 24 Mei lalu. Satuan polisi merangsek masuk ke kampus, memukul demonstran dan merusak fasilitas kampus. Sejumlah demonstran mengalami luka-luka dan juga digelandang ke sel polisi. Belakangan, bahkan terkuak kematian salah seorang demonstran. Penyebab kematian masih tanda tanya. Sebagian menyebut ada kekerasan polisi, sebagian lagi berdalih ada penyakit bawaan.

Seminggu kemudian, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila, kekerasan kembali terjadi di depan tugu Monumen Nasional (Monas). Saling berhadapan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan Front Pembela Islam (FPI). Aparat polisi dalam "episode" ini kembali berada di posisi sebagai pengendali massa. Hanya saja, kali ini mereka bersifat pasif, walaupun ending-nya serupa, sejumlah demonstran mengalami luka-luka.

Potret buram dalmas kembali terulang baru-baru ini. Sentral kejadian di pusat aktivitas bisnis jalan Jenderal Sudirman dan jembatan Semanggi. Yang bentrok kali ini, aparat polisi dan mahasiswa. Isunya masih sama, protes kenaikan BBM. Selain ledakan mobil plat merah, sebuah stasiun televisi swasta juga sempat merekam secara detil aksi "stuntman" mobil polisi menerjang seorang demonstran.

Selaku "tertuduh", pihak kepolisian tentunya punya pembelaan diri. Dalam kasus Unas, sebagaimana diwartakan hukumonline, Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Elbin Darwin sebenarnya menyayangkan perilaku anak buahnya yang melakukan tindakan represif berlebihan. Namun, di sisi lain, ia beralasan kekerasan terjadi dipicu oleh kondisi fisik dan psikis anak buahnya yang letih karena berjaga lebih dari 12 jam, sehingga mudah sekali terpancing.

Dalam kejadian teranyar di jembatan Semanggi, Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira kepada sejumlah media massa (24/6), juga bersuara sama. Mobil polisi menabrak demonstran, kata Abu Bakar, terjadi karena aparat polisi di dalamnya dalam keadaan terdesak. "Polisi kan juga manusia," dalihnya.

Apa yang terjadi? Apakah dalmas selalu berakhir pada kisruh dan korban luka-luka? Apakah dibenarkan aparat yang seharusnya mengayomi dan melindung, justru melakukan tindakan represif? Sejauh mana batasannya, suatu tindakan represif dapat dibenarkan? Apakah semua itu cukup dijawab dengan "polisi juga manusia?"

Anehnya, dalih yang dikemukakan Elbin dan Abu Bakar tidak termaktub di Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.

Pasal 7 ayat (1) Protap

Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:

  1. a.bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa

  2. melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur

  3. membawa peralatan di luar peralatan dalmas

  4. membawa senjata tajam dan peluru tajam

  5. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan

  6. mundur membelakangi massa pengunjuk rasa

  7. mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa

  8. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan

Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.

Sayang, Protap yang terlihat begitu ketat ternyata hanya "macan kertas". Kejadian di lapangan seolah-olah menafikkan keberadaan aturan yang diterbitkan 5 Desember dua tahun lalu itu. Sekretaris Kompolnas Ronny Lihawa dan mantan Gubernur PTIK Farouk Muhammad mengatakan polisi harusnya memiliki kesabaran ekstra. Dilempari atau dicaci-maki seharusnya menjadi menu sehari-hari bagi polisi, khususnya untuk satuan dalmas.

Farouk memandang kondisi Polri saat ini masih belum siap untuk bertransformasi menjadi polisi sipil. Polisi sipil yang siap melayani masyarakat dan melepaskan "atribut" militer mereka. Polisi masih lebih takut kepada komandonya, ketimbang masyarakat. Selain itu, jika berbuat kesalahan terkadang polisi tidak mau disalahkan. Bahkan pola-pola otoriter, menurut Farouk, masih terbawa di mental Polri.

Kolega Ronny, Adnan Pandupraja berpendapat pengabaian Protap di lapangan bisa disebabkan oleh pengambilan diskresi yang salah, ketidakmengertian polisi akan isi Protap atau pemahaman multi-interpretatif mengenai istilah "penindakan hukum" dan "kekerasan sesuai prosedur" sebagaimana dimaksud dalam Protap.

Penindakan hukum ala Protap

Penindakan hukum ala Protap berbeda-beda dalam setiap tingkatan. Dalam aksi massa dikenal tiga tingkatan dengan kode warna, mulai dari hijau, kuning, sampai merah. Kondisi hijau, aksi massa masih adem ayem alias tertib. Kondisi kuning, berarti massa sudah menunjukkan gelagat kurang tertib, seperti melempari dalmas dengan benda keras membakar ban atau spanduk. Apabila kondisi meningkat menjadi huru-hara atau sudah ada pelanggaran hukum, maka aksi massa sudah masuk pada kondisi merah.

Penindakan hukumnya tidak sama karena satuan dalmas yang diturunkan juga berbeda. Untuk kondisi hijau yang tertib, dalmas tidak dilengkapi atribut apapun. Hanya membuat barikade penghalang dengan berpegang pada tali tambang. Dalmas tingkat ini disebut Dalmas Awal.

Lalu, pada pada kondisi yang sudah sedikit memanas, Dalmas Awal ini digantikan dengan Dalmas Lanjut yang dilengkapi helm, tameng, dan tongkat. Penindakan hukum yang dapat mereka lakukan antara lain mengurai massa, memadamkan api jika ada aksi pembakaran, dan melempar gas air mata (Pasal 23 ayat (1) huruf h).

Jika eskalasi meningkat merah alias huru-hara, otomatis harus ada pengalihan komando -lintas ganti polisi menyebutnya- dari Dalmas Lanjut ke Detasemen Pasukan anti Huru-hara (PHH) atau akrab dengan sebutan Brigade Mobil (Brimob). Satuan Brimob ini berwenang melakukan penindakan yang lebih keras dibanding Dalmas Lanjut. Mereka dilengkapi senjata api dengan peluru karet untuk melumpuhkan massa yang sudah chaos dan melanggar hukum.

Dalam melumpuhkan massa, tindakan dalmas merujuk pada Peraturan Kapolri No.6 tahun 2005. Ada dua unsur penggunaan kekuatan di sana. Unsur mematikan dan tidak mematikan. Karena Brimob hanya dilengkapi senapan dengan peluru karet dan bukan peluru tajam, idealnya tidak ada unsur mematikan di sana.

Untuk menggunakan kekuatan yang tidak mematikan ini, tidak boleh sembrono. Ada persyaratan yang tidak boleh ditawar-tawar. Pasal 5 ayat (1) sudah mewanti-wanti Brimob agar memakai kekuatan hanya untuk mengendalikan situasi yang sudah kisruh. Kemudian ayat (2), secara teknis peralatan yang digunakan Brimob harus sesuai dengan standar peralatan Polri. Terakhir dan terpenting -ayat (3), kekuatan itu hanya dapat digunakan untuk melindungi diri atau orang lain dari serangan yang dapat menyebabkan kematian dan luka parah. Selain itu, dapat berguna melindungi harta benda dan menahan massa agar tidak melakukan perlawanan. Nah, itu dia yang dimaksud Protap dengan penindakan hukum.

Kurang lebih sama dengan pemahaman istilah "kekerasan sesuai prosedur" yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf (b) Protap. Kepada hukumonline, Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira memberikan contoh kasus Unas. Kekerasan yang dilakukan polisi untuk menindak si biang onar, hanya sebatas melumpuhkan dan bukan mematikan. "Itu pun kalau mereka melakukan perlawanan. Polisi masih dibenarkan untuk memukul," katanya.

Tapi, harus dilihat juga, apakah berlebihan atau tidak. Berlebihan, contohnya sampai babak belur. Indikator tidak berlebihan, misalnya orang sudah diam tetapi tetap dipukul. "Kalau nyatanya tidak ada perlawanan, polisi tetap melumpuhkan itu baru menyalahi aturan. Tidak sesuai prosedur," tukas Abu Bakar santai.

Ronny sependapat dengan pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri ini (9/6). Ia mengatakan, kekerasan yang sesuai prosedur adalah kekerasan yang digunakan polisi dalam situasi tertentu di mana kondisi mereka terancam. Ketika ada penyerangan, pada awalnya polisi bersikap defensive, tapi kalau penyerangan itu sudah mengancam nyawanya atau orang lain polisi bisa menggunakan kekerasan untuk melawan. Apabila, lawan sudah tidak berdaya atau bahkan tidak bersenjata, maka kekerasan itu juga patut dihentikan.

Sementara, Menurut Farouk, apa yang dikemukakan kedua orang itu memang sudah merupakan prosedur umum (12/6). Yang perlu diingat, kekuatan polisi dan lawannya itu harus seimbang. Polisi bersenjata dan lawan tidak atau posisi lawan sudah lemah tapi tetap dipukuli, "Itu absolutely wrong, kekerasan ada porsinya, tidak boleh berlebihan," tegasnya.

Tidak paham Protap

Tapi yang terjadi di lapangan, pelaksanaan dalmas bisa membuat massa sampai babak belur. Semakin lemah, malah semakin dihajar. Contohnya kasus Unas. Adnan sebelumnya sudah menjelaskan beberapa faktor penyebab. Selain tidak dapat memaknai istilah penindakan hukum dan kekerasan yang sesuai prosedur, kurangnya penguasaan Dalmas terhadap Protap mereka sendiri, sehingga tak jarang Dalmas mengambil diskresi yang salah -kekerasan berlebihan.

Sebenarnya, perilaku Dalmas yang seperti ini tak lepas dari pola didik mereka. Menurut Bambang W. Umar (12/6) Pengajar PTIK, walau Protap sudah mematok harga mati kalau dalmas tidak boleh terpancing, arogan, dan melakukan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, tapi tidak disertai dalam pembinaan dan upaya melatih pengendalian diri yang matang. "Kesabarannya, kedewasaannya, dan kestabilan emosionalnya, tidak dilatih," ujarnya. Jadi, hanya dicekoki peraturan, tapi tidak disuruh untuk dibiasakan.

Di PTIK sendiri, pemberian materi HAM, hukum, dan kriminologi cukup banyak. Hanya saja pola-pola militer masih terbawa, sehingga pembelajaran berjalan instruktif dan bukan dialogis. Mengritik dosen atau bertanya saja tidak berani. Mereka cenderung manut sesuai instruksi dosen.

Pola "manut-manut" seperti ini juga terlihat dalam hal mensosialisasikan produk baru, misalnya Protap Dalmas. Metode sosialisasi yang berkembang di tubuh Polri biasanya dengan cara briefing, menghafal, memahami, tanpa adanya praktek. Jadi, setelah produk itu dibuat dan ditransformasikan ke bawah, tidak ada semacam workshop atau seminar ulang. Selain itu, tidak ada implementasi untuk membentuk pola perilaku dari petunjuk-petunjuk yang sudah terlampir di atas kertas. "Pola perilaku harusnya diterjemahkan, dilembagakan, dan dibiasakan. Itu kuncinya," tukas Bambang.

Bambang mencontohkan, "misalnya dalam demo, harus mengendalikan diri, tidak boleh terpancing. Itu kan tidak mudah. Kalau tidak dilatih terus secara intensif. Apalagi kalau cuma sekedar kata-kata dalam protap, ya akan masuk kiri keluar kanan."

Ternyata banyak kendala melingkupi pelaksanaan dalmas oleh aparat polisi. Apapun kendalanya, tentu tidak akan sebanding jika ada yang terluka atau nyawa melayang. Saatnya, menegakkan aturan main masing-masing, baik aparat maupun pengunjuk rasa.

Tags: