Menuju Wadah Tunggal Advokat yang Ideal
Oleh: Iming M. Tesalonika SH. MM. MCL. *)

Menuju Wadah Tunggal Advokat yang Ideal

Wadah tunggal advokat adalah wadah satu-satunya khusus untuk segala profesi yang terkait dengan layanan jasa hukum yang tergabung dalam profesi Advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat.

Bacaan 2 Menit
Menuju Wadah Tunggal Advokat yang Ideal
Hukumonline

 

Demikian pula, mengenai tuduhan pelanggaran kode etik atas advokat yang menjalani kegiatannya dalam bidang hukum pidana, maka majelis kehormatan haruslah terdiri dari orang yang memiliki kualitas kepakaran dalam bidang hukum pidana. Seyogyanya, majelis kehormatan yang bertugas memeriksa merupakan orang yang mengerti persoalan di lapangan.

 

Sekali kredibilitas majelis kehormatan dipertanyakan maka kredibilitas majelis kehormatan akan pudar di mata masyarakat, termasuk juga pudarnya kredibilitas wadah tunggal advokat. Syarat yang harus ada adalah wadah tunggal advokat ini memiliki visi misi tertentu yang mengutamakan kepentingan anggotanya.

 

Mewujudkan WTA yang ideal

Sebelum masuk ke inti persoalan, ada baiknya kita mundur sejenak dengan langkah-langkah berpikir berikut:

 

Pertama, kita membuat definisi tentang apa kewenangan, tugas dan tanggung jawab dari pengurus wadah tunggal advokat. Pengurus adalah para pihak yang mendapat mandat, kekuasaan, kewenangan dan kewajiban dalam rangka menjalankan wadah tunggal advokat, oleh kita semua anggota advokat, dan biasanya tertuang dalam munas, musyawarah nasional anggota advokat.

 

Kedua, kita membuat definisi tentang persyaratan kepengurusan, misalnya adanya prioritas bahwa pengurus terdiri dari orang-orang yang berpengalaman di bidang hukum, memahami seluk beluk profesi hukum, esensi atau filosofi keadilan, dan memiliki visi  tentang profesi advokat ke depan. Persyaratan kepengurusan yang terkait dengan filosofi keadilan bisa kita perdebatkan panjang lebar, tapi utamanya bagaimana pengurus wadah tunggal advokat bisa memberi kepastian atas keadilan dan menentukan arah profesi yang memberi nafkah yang layak bagi anggotanya.

 

Ketiga, kita menentukan standar profesi. Ini menarik karena standar profesi harus dipelihara dan ditingkatkan dari waktu ke waktu guna meningkatkan kualitas penegakan hukum dan keadilan. Namun kita harus mengetahui sejauh mana kesiapan para advokat kita yang ada dan yang akan ada terhadap meningkatnya tuntutan standar mutu profesi tersebut.

 

Keempat, kita menentukan kriteria pihak-pihak yang pantas untuk menjabat anggota dewan kehormatan, visi dan misi serta paradigma dewan kehormatan  dalam menjalankan tugas mengemban kepentingan utamanya anggota advokat supaya bisa membangun anggota advokat yang professional, bebas dan mandiri.

 

Peradi

Tidak sedikit pihak telah melihat Peradi sebagai wadah tunggal advokat. Peradi saat ini pun berupaya keras untuk terus mendapatkan pengakuan demi pengakuan dari berbagai lembaga nasional atau internasional. Persoalannya adalah baru-baru ini munculnya Konggres Advokat Indonesia (KAI)  yang menyatakan bahwa Peradi didirikan tidak dengan prosedur hukum yang layak. Salah satu yang utama adalah ketiadaan Munas yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam profesi advokat.

 

Perlunya WTA mementingkan anggota

Pemegang kekuasaan tertinggi ada pada anggota advokat. Sama halnya dengan lembaga pemerintahan manapun yang harus mementingkan rakyatnya selaku pemegang kekuasaan tertinggi supaya beroleh keadilan dan kemakmuran. Terlebih-lebih, UU Advokat sudah memberi mandat yg tegas bahwa advokat itu harus profesional, bebas dan mandiri.

 

Dengan demikian, wadah tunggal advokat wajib mengemban mandat UU Advokat supaya para anggota bisa menjadi profesional, bebas dan mandiri. UU Advokat memberi kewenangan kepada wadah tunggal advokat  untuk menjadi regulator, pembina dan pengawas anggota, sehingga wadah tunggal advokat memiliki kewenangan dan sekaligus tanggungjawab terhadap advokat yang tidak bisa dijangkau oleh penegak hukum lain. Kebutuhan wadah tunggal advokat untuk memiliki  otoritas yang besar dalam menjalankan kewenangannya menjadi suatu keniscayaan, sehingga tanggungjawabnya pun menjadi keniscayaan.

 

Membangun Otoritas dan Kredibilitas WTA

Ada banyak hal-hal yang harus dikerjakan. Suatu institusi akan berotoritas dan kredibel jika institusi tersebut memenuhi unsur-unsur seperti berikut:

1.   institusi tersebut didirikan berdasarkan kesepakatan seluruh anggotanya, pengurus yang dipilih dengan aklamasi ataupun mayoritas. Jika bisa dianalogikan, mirip dengan syarat-syarat terbentuknya suatu negara.

2.   unsur-unsur yang sifatnya melengkapi, seperti adanya pengakuan dari organisasi lain atas eksistensi institusi tersebut.

 

Dukungan penuh dari seluruh anggota institusi tersebut serta mandatnya merupakan hal yang paling esensi. Di lain pihak, hubungan maupun pengakuan dari pihak lain ataupun bagaimana seharusnya penegakkan hukum bukanlah hal yang esensial.  Perlu ada pemahaman bahwa pembangunan institusi yang baik harus dimulai dari dukungan anggota institusi itu sendiri dan oleh karenanya tidak perlu, setidaknya pada tahap-tahap awal-awal, untuk bersikap berlebihan terhadap anggota-anggotanya, khususnya dalam hal penindakan terhadap anggota-anggota yang dinilai melanggar kode etik.

 

Menuju WTA yang berotoritas dan kredibel?

Berdasarkan perkembangan yang ada, kita belum bisa melihat Peradi sedang bergerak kearah yang tepat, karena kita belum melihat cetak biru (blue print) arah WTA serta langkah-langkah konkrit kearah WTA yang berotoritas dan kredibel. WTA yang baru berdiri seyogyanya melakukan strategi komunikasi dan persuasi serta edukasi oleh pengurus terhadap anggotanya mengenai bagaimana serta langkah-langkah mewujudkan wadah tunggal advokat yang berotoritas dan kredibel. 

 

Langkah yang jelas serta dipahami dengan baik oleh anggotanya adalah keniscayaan agar pengurus tidak dipersepsikan sebagai semena-mena atau arogansi kekuasaan karena merasa sudah mendapat mandat dari UU Advokat. Untuk itu, kita harus melihat lebih jauh lagi dua hal.

 

Pertama, konsep yang mendasar atau blue print yang sudah dituangkan oleh pengurus wadah tunggal advokat (Peradi) saat ini. Apakah blue print tersebut sudah ada? Jika sudah ada, apakah sudah ideal dan memenuhi aspirasi anggotanya yang tertuang dalam hasil munas.

 

Kedua, Apa saja langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh Peradi ? hal ini perlu untuk  menentukan apakah langkah tersebut sudah sesuai dengan blue print. Jadi, kalau blue print tersebut tidak/belum ada lalu tiba-tiba Dewan Kehormatan melakukan tindakan yang dipersepsikan represif (misalnya, pemecatan atau suspensi 6 bulan atau 1 tahun dari pekerjaan advokat), saya kira langkah represif tersebut adalah manisfestasi dari ketiadaan arah yang jelas terhadap upaya pencapaian WTA yang berotoritas dan kredibel. Contoh fakta yang dilihat oleh kita semua, Peradi memiliki pola represif yang terlihat bersemangat sekali dalam mengumumkan 33 advokat yang telah dikenakan sanksi dengan prosedur dan cara persidangan yang sangat sederhana, cepat dan mudah.

 

Kelemahan pengenaan sanksi melalui putusan dewan kehormatan misalnya (i) kode etik advokat bersifat umum, luas dan kabur, dengan kewenangan prosedur pembuktian yang ditetapkan sepihak oleh majelis kehormatan, hal mana dapat dianalogikan dengan jala pukat harimau yang dapat menangkap ikan sekecil apapun, tanpa itikad baik, pemahaman resiko pekerjaan advokat dilapangan, kualifikasi serta paradigma anggota majelis kehormatan Peradi. (ii) proses persidangan kode etik dan metode pendekatan pengenaan sanksi masih belum jelas, dan penetapan besaran hukumanpun masih belum jelas parameternya. Penegakan standar kode etik yang tidak jelas standar dan penerapannya bisa kontra produktif bagi upaya menuju wadah tunggal advokat yang berotoritas dan kredibel.  

 

Peradi saat ini bisa diibaratkan dengan Indonesia yang baru merdeka, lalu tiba-tiba di Papua ada sekelompok orang yang berteriak ingin merdeka, seketika langsung ditahan tanpa pendalaman kajian apa yang menjadi sumber persoalan mereka. Tentunya pemimpin negara yang baik tidak serta merta menahan atau menghukum mereka, namun seyogyanya merangkul, diajak berbicara dan mencoba mendiskusikan perbedaan yang ada, seperti persepsi, tingkat pendidikan antara pihak  yang ingin merdeka dengan persepsi negara tersebut, lalu menjembatani perbedaan tersebut. Jangan serta merta mengadakan tindakan represif, seperti penghukuman atau bahkan pemenjaraan.

 

Dengan asumsi bahwa Peradi hendak menuju WTA, tindakan yang perlu dilakukan oleh Peradi saat ini semestinya adalah tindakan pragmatis, yaitu dengan meningkatkan kualitas otoritas  dan kredibilitasnya.

Caranya antara lain, membangun strategi komunikasi dan membentuk sistem yang dapat menjaga, melindungi, mendukung kepentingan anggotanya semaksimal mungkin.

 

WTA semestinya memiliki visi meningkatkan kesejahteraan anggotanya.  Pun bila tidak bisa dilakukan sekarang, paling tidak pemahaman tersebut sudah tertuang dalam visi dan misinya.

Sama halnya dengan negara NKRI ini yang selalu berkekurangan dan sulit dikatakan telah mencapai masyarakat adil dan makmur.  Namun sejak dari awal, para pendiri negara kita sudah bersepakat untuk harus mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Keadilan dan kemakmuran harus diupayakan dengan kewenangan dan kewajiban tertentu dan merupakan tanggung jawab pihak yang berwenang atau istilah tepatnya yang berwajib, dalam hal ini pengurus Peradi.

WTA harus terlebih dulu mengesampingkan kepentingan bangsa Indonesia ataupun kepentingan penegakan hukum. Hal pertama dan paling penting adalah melindungi kepentingan anggotanya. Jika anggotanya sudah bisa dikelola dan menjalankan pekerjaan dengan baik, otomatis anggotanya bisa bekerja untuk mengejar tujuan-tujuan lain yang lebih mulia, seperti kontribusi, baik pikiran maupun tindakan, bagi masyarakat serta meningkatkan kualitas penegakan hukum.

 

Sanksi atas Pelanggaran Kode Etik

Sanksi seyogyanya lebih memiliki fungsi edukatif daripada fungsi represif bagi kasus terkait dengan pelanggaran kode etik profesi. Fungsi edukasi bisa dicapai, misalnya, dengan memberikan sanksi yang pada hakekatnya win-win, baik bagi terhukum atau WTA.

 

Sebelum membuat sistem hukuman, pengurus WTA perlu memahami bahwa jika yang terjadi penindakan demi penindakan represif, niscaya yang terjadi adalah banyaknya orang yang ditindak, mengingat belum terbentuknya standar perilaku advokat yang ajeg dalam membela kepentingan kliennya menghadapi persoalan lemahnya kualitas intelektual dan integritas birokrasi penegakan hukum.

 

Jika penindakan-penindakan represif dianggap baik dan adil oleh pengurus WTA maka yang niscaya terjadi adalah terhukum akan termotivasi untuk meruntuhkan kekuasaan pengurus WTA. Daripada melakukan kampanye penindakan demi penindakan kode etik secara represif, mengapa tidak menggunakan kampanye sanksi edukatif yang win-win? Pemberian sanksi yang win-win tentu bersifat membangun kualitas pikiran, baik advokat maupun WTA, misalnya pemberian sanksi kerja sosial 100 jam untuk membantu pekerjaan konseptual, edukasi atau administrasi di WTA sehingga baik WTA maupun advokat yang terkena sanksi mendapat manfaat, yang sifatnya win-win.

 

Saat ini yang terjadi pada Peradi adalah fungsi represif dengan metode yang win-lose misalnya pengenaan sanksi saat ini, suspensi 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau pemecatan. Hukuman suspensi tersebut tidak hanya merugikan si advokat namun juga merugikan karyawan-karyawannya, dan masyarakat. Mengingat masyarakat merupakan pengguna jasa advokat dan langkanya jasa advokat yang bermutu di Indonesia. Disamping itu, saat ini Peradi tidak mendapat manfaat apa-apa dari pemberian sanksi. Jadi sifat sanksi kode etik sebaiknya bersifat win-win daripada winloose. Fungsi edukatif bersifat win-win, sementara fungsi represif bersifat win-lose.

 

Filosofi Sanksi Model Win-win

Terkait dengan penindakan atau sanksi, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa advokat tidak mendapat upah dari pengurus WTA, berbeda dengan, misalnya penegak hukum polisi. Polisi mendapat upah dan karenanya polisi juga dibawah perintah oleh si pemberi upah melalui pucuk pimpinannya yang mewakili lembaga kepolisian.

 

Patut diingat, pengurus WTA tidak menafkahi anggotanya. Sementara saat ini, anggota advokat harus mencari nafkah sendiri dengan cara-cara yang mereka lakukan, entah etis atau tidak. Berdasarkan diatas, pijakan berpikir dalam penetapan hukuman terhadap anggota, adalah bahwa fungsi persuasi harus lebih jauh ditekankan daripada fungsi koersi.

 

Kiat Membangun Dukungan terhadap WTA

Polisi atau jaksa yang bersistem komando saja sangat cerdik menutupi kelemahan sesama anggotanya untuk kepentingan citra penegakan hukum, namun mengapa hal itu nyata tidak diterapkan pada profesi advokat. Sering kita lihat dan alami bahwa anggota polisi atau jaksa yang lamban, tidak profesional dan malah memalaki salah satu pihak yang berperkara, tapi sulit diberi sanksi, sepanjang pucuk pimpinan tidak bergeming. Itulah hebatnya sistem komando, menutupi anggota yang kedapatan lemah atau kualitas intelektual dan/atau integritasnya rendah.

 

Patut diingat kekuatan advokat bukan pada sistem komando, tapi pada kebebasan dan kemandirian serta penggunaan kekuatan intelektual serta nuraninya. Kekuatan Advokat ada pada karakter individu, dan individu tentunya cenderung mudah diserang oleh beragam kepentingan polisi atau jaksa yang bersistem komando yang terstruktur rapih dan dapat dengan mudah menutupi kelemahan anggota.

 

Harus ditepiskan pandangan bahwa pengurus adalah orang yang berkuasa atau pemegang komando yang dapat menentukan segala sesuatu dan termasuk menentukan cara-cara menghukum dan jenis hukuman. Kekuatan WTA terletak pada kesukarelaan anggota untuk tunduk kepada WTA, bukan melalui sistem komando dan bersifat koersif.

 

Harus ditegaskan bahwa pengurus WTA adalah orang yang mengemban mandat guna menentukan arah yang jelas bagi WTA yang dapat membawa kesejahteraan bagi anggotanya.

 

Berdasarkan hal di atas, mayoritas anggota mestinya akan menghormati pengurus, dan WTA akan dengan sendirinya berotoritas dan kredibel kalau anggota mendapat manfaat langsung dari WTA. Misalnya dalam bentuk perbaikan citra advokat yang memudahkan anggota dipercaya dan dihormati oleh pejabat publik dimana pun, dan dalam mencari informasi hukum dari berbagai lembaga publik tanpa pungutan biaya apapun, bagi kepentingan klien.

 

Kesimpulan Akhir

Sebelum tiba pada kesimpulan akhir, kita mesti ingat bahwa profesi advokat sejatinya harus mencari nafkah sendiri, bersikap enterpreneur serta harus bisa meyakinkan dan membangun kepercayaan klien. Untuk itu, baik advokat maupun pengurus WTA harus bisa membangun cara-cara yang persuasif dan membangun kepercayaan dari semua pihak.

 

Perlu diingat, seperti anggota asosiasi profesi lain, pengurus WTA by design tidak berkewajiban menafkahi anggotanya seperti halnya polisi atau jaksa. Untuk itu, anggotanya harus diarahkan untuk menjalankan pekerjaan dan mencari penghasilan dengan cara-cara yang tertib pikiran dan tertib penampilan.

 

Oleh karenanya WTA yang ideal harus memiliki konsep atau paradigma yang bisa membangun sifat enterpreneurship kepada anggotanya untuk melayani kliennya dengan sikap enterpreneur dan etis sehingga bisa menghidupi dirinya dengan layak dari profesinya yang terhormat itu.

 

Dengan anggota yang dibekali Kedisiplinan dalam bentuk tertib pikiran dan tertib penampilan sebagai hasil pembinaan berdasarkan paradigma WTA yang mengutamakan kepentingan anggota, advokat dapat membangun kepercayaan pejabat publik, kepercayaan masyarakat kepada profesi advokat. Saya siap membantu siapa saja baik PERADI atau KAI yang mau menunjang terwujudnya WTA yang ideal.

 

------

Penulis adalah advokat di Jakarta, Legal Advisor di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Penulis dapat dihubungi di [email protected]

Ada beragam profesi yang disepakati untuk tunduk pada UU Advokat. Beragam profesi jasa hukum tersebut dapat saja memiliki kode etik tersendiri menurut kebutuhan masing-masing, dalam rangka memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan jasa hukum. Seperti profesi kedokteran dengan wadah tunggal IDI-nya, UU Advokat mensyaratkan adanya Wadah Tunggal Advokat (WTA) guna memudahkan pembinaan, pengawasan, pengenaan sanksi serta peningkatan mutu profesi, dalam kerangka melindungi kepentingan publik.  Demikian pula, jika Advokat selaku penegak hukum disejajarkan dengan penegak hukum lain (polisi atau jaksa), maka seyogyanya tidak perlu ada dua wadah penegak hukum, seperti kepolisian atau kejaksaan, walaupun di dalam lembaga kepolisian misalnya terdapat beragam profesi dan fungsi kepolisian.

 

Bisa dibayangkan kalau ada dua atau tiga asosiasi profesi, yang berkepentingan terhadap profesi yang sama atau serupa. Dalam hal advokat misalnya, kalau seorang melanggar kode etik advokat di tempat yang satu dan diberi sanksi oleh dewan kehormatan profesinya, dia akan dengan mudah pindah ke asosiasi profesi advokat yang lain.

 

Selain itu, penegakkan standar mutu profesi akan semakin sulit dilakukan tanpa adanya wadah tunggal. Dengan demikian, karena desakan kebutuhan pragmatis bagi kualitas pelayanan jasa hukum bagi kepentingan publik dan penegakan hukum, pembuat UU Advokat melihat wadah tunggal advokat menjadi suatu keharusan yang mutlak.

 

Perlunya WTA Terwujud

Wadah tunggal profesi advokat tetap harus ada dan selalu diupayakan bersama. Bahwa kemudian dibawahnya kemudian bermunculan beragam profesi jasa hukum seperti konsultan hukum pasar modal atau profesi yang lebih spesifik lainnya yang dapat dikategorikan sebagai cabang ilmu hukum dan bisa memberikan pelayanan jasa hukum, bisa tetap berpayung pada wadah tunggal advokat ini.

 

Mungkin akan ada kesulitan permasalahan spesifik di pasar modal yang sulit dipahami dan ditangani oleh pengurus atau majelis kode etik wadah tunggal advokat. Oleh karenanya, wadah tunggal advokat tatkala harus melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik dalam bidang hukum pasar modal haruslah menyertakan seorang/lebih majelis yang memiliki kualitas kepakaran di bidang pasar modal.

Tags: