PN Jaksel Masih Jadi Kuburan bagi Kebebasan Pers
RAPP vs Koran Tempo:

PN Jaksel Masih Jadi Kuburan bagi Kebebasan Pers

Pengadilan mengabulkan tuntutan agar Tempo melayani hak jawab serta meminta maaf di sejumlah media dan mencabut berita yang berkenaan dengan penggugat. Sejumlah kalangan menilai permintaan itu sangat berlebihan. Sampai sejauh mana hak jawab perlu dilayani?

Oleh:
Ycb/NNC
Bacaan 2 Menit
PN Jaksel Masih Jadi Kuburan bagi Kebebasan Pers
Hukumonline

 

Pak Hinca mengantar keluarganya yang sakit... Sedangkan saya baru saja pulang dari Bandung. Tapi ada asisten saya yang menyimak jalannya sidang. Anda mungkin berpikir semua sengaja tak datang? Hahaha... tutur Leonard renyah dari sambungan telepon, sore usai sidang.

 

Lewat pesan pendek yang hukumonline terima pada jam 14:36, Hinca berujar, saya tak bisa hadir di persidangan karena masih bawa keluarga berobat ke Penang. Kepergian Hinca ke negeri jiran dibenarkan oleh Hendra –notabene lawannya– yang menanyakan musabab absennya ke persidangan. Hendra menerima kabar juga dari sms.

 

Mangkirnya para pengacara RAPP tak menyurutkan niat majelis hakim mengganjar kemenangan pada mereka. Hakim mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Putusan itu bernomor 1089/PDEG/2007/PN Jakarta Selatan. Putusan itu baik meski tak semua gugatan kami dikabulkan, timpal Leonard.

 

RAPP memperkarakan sejumlah berita Tempo yang dia anggap mencemarkan nama baik, menghina, serta merugikan kehormatan. Berita itu seputar penggundulan hutan di Riau oleh RAPP dan rekanan maupun anak perusahaannya. RAPP merupakan produsen kertas dan bubur kertas.

 

Tempo sebenarnya melayani sejumlah hak jawab dan ralat. Namun RAPP tak juga puas. Masing-masing bersikeras, Tempo merasa sudah melayani, RAPP merasa hak jawab itu tidak sesuai keinginan (lihat tabel kronologi). Majelis berformasikan hakim Eddy Risdianto (ketua), serta dua hakim anggota Syafrullah Sumar dan Hari Sasangka. Hari mengganti Eddy Joemarso yang sudah pindah.

 

6 Juli 2007

Koran Tempo memberitakan Soal Perseteruan MS Kaban dengan Kepolisian RI

Berjudul Pertikaian Menteri Kaban dengan Polisi Memanas. Berita menjadi headline di halaman pertama.

12 Juli 2007

Koran Tempo menulis berita berjudul Polisi Bidik Sukanto Tanoto dan ditempatkan sebagai Headline di halaman pertama. Diberitakan tentang rencana Polda Riau memeriksa Pengusaha Sukanto Tanoto terkait penangkapan 25 truk pengangkut kayu di Pangkalan Kerinci, pada 9 Februari 2007. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui kayu tersebut akan dipasok ke RAPP, perusahaan pengolahan bubur kertas milik Soekanto Tanoto. Disebut pula bahwa truk  mengangkut kayu yang diduga dari hasil jarahan.

13 Juli 2007

Rangkaian dari berita sebelumnya, Koran Tempo menulis berita berjudul Kasus Pembalakan Liar di Riau: Lima Bupati Diduga Terlibat.

23 Juli 2007

RAPP melayangkan surat kepada Koran Tempo meminta dilayani hak jawab. Perusahaan mengirimkan artikel berita berjudul Hak Jawab dan Hak Koreksi RAPP: Polisi Masih Mencari Penanggungjawab Illegal Logging. RAPP ingin artikel itu dimuat menjadi headline di Koran Tempo untuk terbitan 25 Juli 2007. Selain artikel, surat juga berisi sejumlah pelurusan kesalahan dalam penulisan berita Tempo berjudul Polisi Bidik Soekanto Tanoto.

27 Juli 2007

Pimred Koran Tempo Malela Mahargasarie menjawab surat permintaan pelayanan hak jawab dari RAPP. Koran menyatakan tidak akan menayangkan hak jawab seperti yang dimintakan RAPP. Dalam surat itu, Koran Tempo menawarkan hak jawab dengan meminta dibukakan akses mewawancarai pengusaha Sukanto Tanoto. Pada hari yang sama Koran Tempo mengeluarkan ralat atas kesalahan tulis di Koran Tempo.

2 Agustus 2007

Koran Tempo membuat ralat lagi.

7 Agustus 2007

RAPP kembali menyurati Koran Tempo, menyatakan bahwa ralat yang dilakukan Tempo belum dianggap sebagai hak jawab. Ralat itu dinilai tidak proporsional karena terlalu kecil—hanya seukuran iklan baris. Ralat juga dianggap tidak memuat substansi hak jawab dan hak koreksi. Surat sekaligus meminta  agar Hak jawab diselesaikan dengan cara yang dimintakan RAPP. Surat jawaban ini ditembuskan ke Dewan Pers. Belakangan RAPP menganggap surat tembusan itu sebagai bentuk pengaduan ke Dewan Pers.

8 Agustus 2007

Tempo membalas surat RAPP dan tetap menawarkan lagi untuk menggelar wawancara dengan Sukanto Tanoto.

13 Agustus 2007

RAPP menyurati Dewan Pers memohon tanggapan Dewan atas penolakan Koran Tempo melayani hak hawab dan hak koreksi.

16 Agustus 2007

Merasa sudah tidak ditanggapi Dewan Pers, RAPP melayangkan gugatan ke PN Jakarta Selatan.

27 Agustus 2007

Koran Tempo mengirim surat ke RAPP menawarkan hak jawab yang draftnya telah disiapkan dan disertakan dalam surat itu dengan judul RAPP Bantah Illegal Logging. RAPP juga meminta penyelesaian perkara diselesaikan secara damai di luar pengadilan.

30 Agustus 2007

RAPP menyatakan tetap dalam ketetapannya meminta hak jawab sesuai dibuat oleh RAPP diterbitkan sebagai headline di Koran Tempo. Karena sudah tidak dipenuhi, maka penyelesaian diserahkan pada meja hijau.

31 Agustus 2007

Koran Tempo kembali berkirim surat meminta kejelasan atas surat yang telah dikirim tanggal 27 Agustus 2007.

8 September 2007

Draft Hak Jawab yang ditawarkan Koran Tempo melalui surat tertanggal 27 Agustus 2007 kepada RAPP berjudul RAPP Bantah Gunakan Kayu Hasil Illegal Logging dimuat di Koran Tempo pada halaman A2. Koran Tempo menganggap kewajiban memberikan hak jawab sudah gugur.

11 September 2007

RAPP menjawab Tempo, tetap dengan jawaban yang sama dengan surat tertanggal 30 Agustus. RAPP berketetapan menolak mengakui hak jawab mereka sudah dilayani dengan cara diterbitkannya secara sepihak draft hak jawab bikinan redaksi Koran Tempo.

 

Majelis menyatakan Tempo telah melakukan penghinaan yang merugikan kehormatan dan nama baik RAPP; Tempo telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian danmencemarkan kehormatan RAPP; perbuatan Tempo yang memberitakan RAPP telah menimbulkan kerugian –karena itu, Tempo harus membayar ganti rugi sebesar Rp220.367.070. Angka itu merupakan biaya sewa para pengacara.

 

Majelis juga menghukum Tempo untuk meminta maaf, menyatakan menyesal, serta mencabut tulisan dan gambar yang berkaitan dengan RAPP melalui media cetak dan media elektronik. Sejumlah media itu antara lain Majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra, Trust, Harian Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Riau Pos, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Investor Daily, RCTI, SCTV, Metro TV, Trans TV, dan Riau TV. Untuk media cetak, Tempo kudu menayangkan pernyataan itu dalam ukuran satu halaman penuh untuk dimuat tiga kali berturut-turut. Teks dan desain pernyataan itu ditentukan oleh RAPP kemudian. Sedangkan untuk media elektronik, Tempo harus menayangkannya tujuh hari berturut-turut. Biaya permohonan maaf ini ditanggung penuh oleh Tempo sendiri.

 

Huuu...

Hebat benar majelis hakim.

Terima suap.

Huuu... pengunjung yang sebagian besar pendukung Tempo riuh. Jelang sidang ini digelar mereka berorasi di depan gedung pengadilan. Mereka adalah para karyawan dan wartawan Tempo serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

 

Kami berpendapat majelis tidak memahami hukum. Nyatanya majelis tidak mempertimbangkan mekanisme lewat Dewan Pers, tutur Sholeh ketika diberi kesempatan majelis memaparkan tanggapan atas putusan ini.

 

Oleh karenanya putusan ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Pihak tergugat masih bisa mengajukan banding. Jangan sampai lupa tenggang waktu bandingnya, jawab Eddy Risdianto.

 

Majelis sama sekali tidak melirik kesaksian pejabat polisi di Riau yang didatangkan oleh Tempo. Polisi bersaksi bahwa memang terjadi pembalakan hutan oleh RAPP dan rekanan. Majelis berdalih untuk fokus pada masalah pencemaran nama baik. Fakta dan saksi yang kami ajukan hampir diabaikan, ujar Pemimpin Redaksi Koran Tempo Malela Mahargasarie.

 

Ini keterlaluan. Kita akan banding. Banyak hal yang tak masuk akal. Kami dinyatakan tidak memberikan hak jawab. Itu tidak benar. Kami sudah menampilkan hak jawab, bahkan pada headline. Putusan ini memang mengganggu... dan ini sudah tidak benar. Pers sengaja ditakut-takuti. Sejak dulu PN Jakarta Selatan ini dikenal sebagai kuburan bagi pers, sambung Malela Mahargasarie.

 

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi turut bicara. Saya kecewa. Sekali lagi PN Jakarta Selatan sebagai kuburan bagi kemerdekaan pers. Ketika Andi Samsan Nganro memimpin di sini, kemerdekaan pers tumbuh. Sekarang? Tidak ada lagi... Majelis hakim tidak paham falsafah kebebasan pers dalam demokrasi. Banyak hal yang tidak dipertimbangkan.

 

Alamudi juga tak melihat RAPP pernah bertandang ke Dewan Pers. Penggugat tidak mengadukan sehingga kita tidak proses.

 

Leonard, dalam sambungan telepon itu, mengaku kliennya sudah melayangkan keberatan ke Dewan Pers. Namun, penanganan mereka lambat. Sedangkan Tempo tiap hari gencar memberitakan klien kami. Terpaksa gugatan kami layangkan. Pengaduan ke press council itu sejak Juli 2007. Sedangkan gugatan pada Agustus 2007.

 

Alamudi pun menyoroti tuntutan permohonan maaf di sejumlah media. Di negara lain tak ada seperti itu. Permohonan maaf hanya di koran yang bersangkutan.

 

Menanggapi tuntutan permohonan maaf itu Leonard masih berpegang pada alasan agesivitas Tempo. Agar nama baik klien kami tidak rusak lebih jauh.

 

Alamudi juga menolak hak jawab harus memuaskan sesuai pesanan pihak yang merasa dirugikan oleh suatu berita. Hak jawab bukan sesuai keinginan (pihak yang keberatan atas pemberitaan). Itu harus proporsional. Jika Anda merasa dirugikan suratkabar, harus dilihat dulu. Tanggal berapa suratkabar itu terbit? Berapa halaman? Tidak bisa semua halaman isi koran dinyatakan bersalah. Kalau Anda mengadu, berita halaman berapa? Berita yang mana? Kolom yang mana? Berapa paragraf? Jadi sejumlah paragraf itulah yang harus dilayani.

 

Penayangan hak jawab di sejumlah media, bagi Leonard, bisa menyosialisasi masalah ini lebih luas. Leonard menganggap tuntutan itu wajar. Kami tidak bertujuan membuat pihak lawan mengalami kesusahan. Saya pribadi tidak bermaksud menyulitkan pihak lawan.

 

Berbagai kalangan yang menyambangi persidangan, terutama Tempo, tak dapat menerima keputusan ini. massa yang tadi aksi melanjutkan demonya menyambut putusan itu. Mereka kembali ke halaman gedung melancarkan orasi.

 

Ini aneh. Saksi kami tidak dipertimbangkan hakim, komentar Hendra.

 

Ini hari yang sangat memalukan, ujar pendiri dan redaktur senior Tempo Goenawan Mohamad.

 

Kami akan tetap melawan, sergah Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad.

 

Jangan biarkan para penjarah uang negara mengendalikan aparat negeri ini untuk mengancam kemerdekaan pers, teriak Pemimpin Redaksi Perusahaan Tempo Bambang Harymurti yang juga anggota Dewan Pers.

 

Dari titik tertinggi, matahari perlahan ke barat. Mobil yang parkir di halaman depan makin berkurang. Pengunjung menyurut. Namun para pendukung Tempo masih berteriak menggugat putusan itu.

 

Hendrayana, Sholeh Ali, serta Muhammad Halim terduduk lesu di kursi kuasa hukum tergugat mendengar putusan yang dibacakan ketua majelis hakim. Halim tertawa kecut sambil geleng kepala. Sholeh sibuk menulis pada secarik kertas kuarto di atas meja –mencatat hal yang dia anggap ganjil dalam putusan itu. Sedangkan Hendra tertunduk melihat dua tangannya yang terlipat menyiku di atas meja.

 

Perangai Hendra siang itu beda nian dari pagi hari sebelum berangkat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (3/7). Dia waktu itu bercanda santai sambil menjahit dasi yang hendak dia pakai untuk sidang itu di kantornya, kompleks perumahan BIER di Menteng Dalam, Pancoran.

 

Ketiga pria itu dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Dalam perkara ini, mereka menjadi kuasa hukum Koran Tempo. Koran ini digugat oleh Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), perusahaan milik Sukanto Tanoto.

 

Sedangkan di seberang mereka, deretan kursi pihak penggugat, melompong. Tak satu pun kuasa hukum RAPP yang hadir. RAPP menyerahkan perkara ini kepada sejumlah pengacara, antara lain Waskito Adiribowo, Yuana Berliyanty, Leonard P Simorangkir, dan Hinca IP Pandjaitan. Hinca adalah bekas anggota Dewan Pers.

Tags: