Catatan si 'Anak Pesisir' di Gedung Bundar
Resensi

Catatan si 'Anak Pesisir' di Gedung Bundar

Sebuah catatan mantan Jaksa Agung yang lebih mirip buku putih ketimbang laporan pertanggungjawaban kinerja.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Catatan si 'Anak Pesisir' di Gedung Bundar
Hukumonline

 

Itu sepenggal penuturan yang dituangkan Arman dalam buku teranyarnya berjudul Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar. Buku setebal 500 halaman itu dikerjakan Arman usai ia dipurnatugaskan Presiden dari tugas mahaberatnya selama 930 hari di korps Adhyaksa.

 

Dalam buku itu, Arman menuliskan, menjadi Jaksa Agung adalah pengalaman memikul tugas terberat dan paling menguras energi plus pikiran seumur hidupnya.  Padahal, bisa dibilang ia bukan orang bau kencur di dunia penegakan hukum. Salah satu yang harus rela ia tinggalkan adalah kegemaran melahap buku dan bersantai dengan cucu-cucunya di tiap akhir pekan. Kebiasaan yang sebelumnya masih bisa ia nikmati sepanjang menjabat hakim agung.

 

Sebelum meyakinkan diri, SBY berdiskusi panjang lebar soal harapannya agar Kejaksaan bisa menjadi ujung tombak komitmen politik pemerintahannya: memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme. Padahal di institusi itu, publik sudah jamak mengenal: Jaksa dinilai memiliki integritas rendah, kemampuan tidak mumpuni, dan bisa diatur untuk memainkan pasal-pasal undang-undang demi kepentingan tertentu. Sebuah bagian integral dari fenomena mafia peradilan.

 

Bab pembuka diawali dengan membeberkan pengalamannya selama menjadi hakim agung. Tutur kisahnya selama bekerja di lingkar Monas itu memakan lebih dari 50 halaman buku. Maklum, di antara profesi hukum yang pernah dilakoni, menjadi hakim agung merupakan gawean yang menurutnya paling menyenangkan. Inilah pekerjaan yang paling saya nikmati, dan paling sesuai dengan hati dan jiwa saya,  cetusnya. Sampai-sampai pengalaman di Monas itu diberinya judul: Hari-Hari Indah di Mahkamah Agung.

 

Penulisan pengalaman di pucuk peradilan itu bukan lantaran ia hendak beromantika dengan kisah indah. Ia menuliskannya untuk menunjukkan betapa hingga ia dilengserkan dari kursi Jaksa Agung, Arman masih belum mengerti kenapa orang nomor satu di negeri ini memilihnya untuk menjadi panglima penuntut para koruptor. Ia cuma bisa menduga-duga.

 

Dugaan pertama dan paling rasional adalah pengalamannya memutus perkara dugaan korupsi Akbar Tanjung yang ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp40 miliar. Dari empat hakim agung yang memutus bebas perkara Akbar, hanya Arman yang menyatakan politikus Partai Golkar itu bersalah. Praktis karena skor dalam majelis 4:1, Akbar bebas dari hukuman, dipulihkan nama baiknya. Banyak pihak mengecam putusan majelis. Di tengah cacian itu, ada puja-puji ditebar ke Arman.

 

Sejak itu, nama Arman mendadak melambung, menghiasi pemberitaan di media massa. Jadi pembicaraan ramai khalayak. Hal ini di luar perkiraan Arman.  Dengan bersahaja ia menuliskan, putusan itu sebenarnya tak ada istimewanya. Kebetulan, Arman menyorot perkara Akbar murni dari sisi hukum pidana, sementara keempat hakim agung lain memutus dari perspektif hukum administrasi negara. Kepada harian Kompas, ia mengatakan, keputusan berbeda pendapat dalam perkara itu semata untuk mendengungkan suara nuraninya.

 

Bab kisah indahnya memegang palu keadilan di MA yang ia beri judul Dari Monas ke Gedung Bundar itu ditutup dengan sebuah pertanyaan. Apakah Presiden SBY tahu tentang saya dari kasus dissenting opinion itu? Apakah ia mencatat—setidaknya memperhatikan—kiprah saya selama di MA? tanyanya. Meski buru-buru mengaku tak ingin berspekulasi dan menebak-nebak, nyatanya ia menghubungkan awal kepindahannya dari Monas ke Bulungan dengan berpijak pada kisahnya selama jadi hakim agung.

 

Bab-bab berikutnya, Arman baru menuliskan pengalaman 930 hari di Bulungan. Sebagai bagian Kabinet Indonesia Bersatu, mau tak mau Arman harus menjalankan target pemerintah SBY-JK seperti didengungkan dalam kampanye pemilihan presiden: memberantas KKN. Dengan demikian, dalam kacamata Arman, target dan parameter keberhasilan program pemerintahan SBY-JK, salah satunya diletakkan di pundak Arman.

 

Judul Buku

Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz

Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar

Penulis

Abdul Rahman Saleh

Tahun/Penerbit

Juni 2008, Penerbit Buku Kompas

Tebal Buku

xxvi + 500 halaman, 14 cm X 21cm

ISBN

978-979-709-373-0

 

Bermodal niat baik

Arman memulai kiprah di Kejaksaan dengan  mengadakan pemetaan persoalan, yang ujarnya, sudah demikian kompleks. Mendapati hal itu, ia bahkan tidak yakin dalam tempo lima tahun persoalan di internal Kejaksaan bisa tuntas terselesaikan. Yang membikin ia berpikir keras dan khawatir adalah adanya jarak yang menganga antara realitas persoalan dengan tingginya harapan terhadap Kejaksaan Agung. Pembenahan internal menjadi kemutlakan. Ia menginginkan Kejaksaan menjadi lembaga yang good governance, responsif, profesional dan modern.

 

Dua strategi dipakai untuk membersihkan Kejaksaan. Pertama, strategi jangka pendek melalui shock therapy dengan melakukan tindakan langsung. Kedua, strategi jangka panjang melalui pembentukan Tim Pembaruan Kejaksaan Agung. Strategi yang kedua ini ia adopsi dari pengalamannya di Mahkamah Agung sebagai Ketua Tim Pembaruan MA.

 

Ia cukup puas dengan program yang ia lakukan. Modalnya merombak Kejaksaan—seperti tuturnya ke hadapan media massa—cuma satu hal, niat baik. Saya datang dengan niat dan itikad baik, tegasnya. Toh, meski tidak serta merta merubah keadaan sampai 180 derajat dari kondisi semula, Kejaksaan menunjukkan perubahan. Setidaknya, Arman merasa sudah meletakkan dasar-dasar untuk pembaruan bagi Korps Adhyaksa.

 

Pembenahan internal bukannya tak berhias kerikil-kerikil. Banyak resistensi muncul. Dari internal Kejaksaan, bukan sekedar kasak-kusuk di tingkatan pegawai dan pejabat, surat kaleng pun pernah melayang berisi ancaman ke hadapan Arman.

 

Dari luar Kejaksaan, tarik-menarik kepentingan politik masuk menyusup dalam tiap-tiap langkah kebijakan yang ditempuh Arman. Termasuk di antaranya ditulis secara khusus adalah insiden Rapat Kerja Kejaksaan dengan Komisi III DPR. Dalam rapat itu muncul adagium baru dari salah satu anggota DPR, Jaksa Agung jangan seperti ustadz di Kampung Maling. Peristiwa itulah yang menjadi inspirasi pemberian judul buku memoar ini.

 

Nah, setelah malang melintang dalam dunia penegak hukum, semenjak menjabat Jaksa Agung itulah putra Pekalongan tersebut baru tersadar sepenuhnya, bahwa penegakan hukum tidak berada dalam ruangan vakum. Di dalamnya sarat dengan tarik menarik kepentingan. Seringkali kita menjadi tidak obyektif kalau sudah menyangkut kepentingan, tulisnya.

 

Arman menuturkan, paling menguras pikiran sepanjang menjadi Jaksa Agung adalah ketika ia memutuskan status hukum mendiang Jenderal Besar Orde Baru. Pada 12 Mei 2006, Kejaksaan Negeri atas perintah Arman mengaluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) terhadap HM Soeharto.

 

Keputusan Arman mengeluarkan SKPPP terhadap mantan Presiden Soeharto  itu mengundang kontroversi. Timbul pro dan kontra. Sebagian besar mengecam langkah Arman. Ia dianggap pengecut, dititipi pesan dari pihak tertentu dan lain sebagainya. Dalam buku ini, Arman menjelaskan panjang lebar alasan di balik keputusannya itu.

 

Waktu itu, Akmal Taher, Ketua Tim Dokter II yang memeriksa kesehatan Soeharto, mengatakan pada Arman, kalau soal sakit hati dan dendam, diagnosa kesehatan bisa dijadikan alat baginya membalas dendam. Akmal adalah mantan aktivis 1978 seangkatan Hariman Siregar. Semasa muda, Akmal pernah mendapat perlakuan represif dari rezim orde baru yang mengantarkannya hingga ke tahanan.

 

Saya pun, ujar Arman, kurang lebih sama. Kalau mau menuruti sakit hati, inilah saatnya. Saya dulu menjadi wartawan Harian Nusantara, dibreidel oleh rezim Soeharto. Namun lantaran pertimbangan pertama adalah hati nuraninya sebagai aktivis HAM, ia memilih memakai pertimbangan murni hukum ketimbang emosi. Prinsipnya, sebenci apapun dirinya pada seorang terdakwa misalnya, ia tetap harus menghargai hak asasi terdakwa.

 

Selain SKPPP Soeharto, ada sejumlah kasus yang ditulis secara khusus dalam buku ini. Terutama kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik, seperti Kasus Munir, penanganan kasus pelanggaran HAM berat limpahan Komnas HAM, pro Kontra hukuman mati, pelarangan buku pelajaran sejarah G30S, dan isu SARA dalam kasus Tibo Cs.

 

Buku Putih

Buku yang diterbitkan penerbit Kompas ini lebih cenderung semacam buku putih Arman sepanjang menjabat sebagai Jaksa Agung. Ia nampak mencoba meluruskan misteri di tengah masyarakat yang belum pernah diungkapkan sebelumnya. Seperti misalnya persepsi aneh-aneh di tengah publik yang mencuat ketika terjadi reshuffle kabinet jilid II oleh Presiden SBY. Maklum, waktu itu Arman mendadak diganti, tanpa pertanda. Kejadian itu, hingga kini belum terjawab tuntas. Pada bagian akhir buku ini, Arman mencoba mengurainya.

 

Dalam peluncuran buku itu, Jum'at (11/7) akhir pekan lalu, Arman berujar, Saya tidak ingin menyakiti hati orang. Tapi di situ saya menulis apa adanya. Ia mengatakan itu lewat konferensi jarak jauh (teleconference). Maklum, ia kini telah diberikan jabatan pengganti setelah dikeluarkan dari kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Kini ia berada di Kopenhagen, menjadi duta besar di sana.

 

Di pengantar bukunya, Arman hendak memastikan pembaca, bahwa bukunya itu tidak lahir sebagai ritual mantan pejabat, melainkan ia tujukan sebagai media pertanggungjawaban kepada publik atas kinerjanya selama jadi Jaksa Agung. Meskipun presiden sendiri sudah menyatakan tidak ada masalah dengan kinerja saya, cetusnya.

 

Untuk sebuah usaha pelurusan misteri yang telah berkembang menjadi spekulasi publik, buku ini banyak menjawab.

Akhir Oktober 2004, di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Cikeas, Bogor. Pagi itu, SBY menerima sejumlah tamu di rumahnya. Ia sedang menyiapkan susunan kabinet. Media massa ramai menuliskan, Presiden sedang mengadakan fit and proper test kepada para kandidat kabinet. Seorang hakim agung duduk di hadapan SBY.

 

Ketika kemudian Presiden menyodorkan kontrak politik kepada lelaki di hadapannya, si lelaki mengatakan, Nama saya Abdul Rahman Saleh, Pak. Dalam kontrak politik yang disodorkan Presiden kala itu, terdapat kesalahan ketik. Tertulis Abdulrahman Saleh. Presiden pun bergegas memanggil stafnya, meminta Surat Pernyataan diperbaiki sesuai keinginan si mpunya nama.

 

Begitulah. Tertanggal 21 Oktober 2004, Abdul Rahman Saleh yang bernama kecil Arman, menandatangani kontrak politik. Menjadi Jaksa Agung. Sebuah jabatan yang tak pernah sama sekali ia bayangkan bakal dipikulnya. Dari seorang wartawan, bintang film-pemain teater, aktivis LSM, pembela umum di Lembaga Bantuan Hukum, dan terakhir menjadi hakim agung sekaligus Ketua Muda Pengawasan di Mahkamah Agung. Singkat kata, beragam profesi pernah ia jalani. Praktis, semua profesi penegak hukum—kecuali polisi—pernah ia kecap.

 

Dalam penilaian Arman, di antara sekian profesi penegak hukum, jaksa termasuk yang paling berat. Kalau hakim, tanggungjawabnya berat, tapi pekerjaannya relatif ringan dan tenang, begitu tulis Arman. Pekerjaan hakim agung tidak terlalu banyak tekanan, tidak ada konflik dan intrik. Tidak hiruk pikuk.

Tags: