Potret Pendidikan Hukum di Indonesia: Memajang Para Pemburu Dolar
Oleh: Rizky Argama *)

Potret Pendidikan Hukum di Indonesia: Memajang Para Pemburu Dolar

Seperti rutin terjadi setiap tahun, berbagai perguruan tinggi mulai membuka pendaftaran bagi para calon mahasiswa. Salah satu yang banyak diminati adalah fakultas hukum. Mau jadi sarjana hukum untuk berburu dollar?

Bacaan 2 Menit
Potret Pendidikan Hukum di Indonesia: Memajang Para Pemburu Dolar
Hukumonline

 

Hukum Ekonomi Terfavorit, Hukum tentang Masyarakat Sepi

Sebuah artikel dari majalah Tempo dipajang di lobi depan gedung kampus FHUI beberapa waktu lalu. Para Pemburu Dolar, begitu judul artikel tersebut. Sebelum membaca isi liputan jurnalis majalah yang tertuang dalam artikel itu, tentu sangat banyak tafsir untuk memaknai kalimat tersebut. Namun, setelah membaca isi tulisan, orang akan paham bahwa judul tulisan merujuk pada suatu profesi yang banyak diminati para lulusan fakultas hukum saat ini, yaitu konsultan hukum.

 

Selanjutnya, masing-masing pembaca tentu akan mempunyai kesan atas tulisan tersebut, baik kesan positif atau justru kesan negatif. Sebagai seorang alumnus fakultas hukum, kesan negatiflah yang penulis tangkap ketika membaca artikel tersebut karena seolah-olah kesuksesan seorang sarjana hukum hanya diukur dari sisi finansial, tanpa mengedepankan aspek lain yang lebih mendesak, seperti usaha pembenahan sistem peradilan.

 

Pada intinya, liputan mengenai profil konsultan hukum yang ditampilkan dalam segmen edisi khusus perguruan tinggi itu menggambarkan prospek kerja yang sangat menjanjikan bagi para lulusan fakultas hukum. Dalam artikel itu diuraikan, seorang lulusan fakultas hukum dari sebuah universitas di Jakarta dapat mengumpulkan penghasilan ribuan dolar setiap bulannya dengan bekerja sebagai konsultan hukum. Juga dijelaskan, sebagian besar lulusan yang bekerja sebagai konsultan hukum tersebut, mengambil jurusan (program kekhususan) hukum ekonomi sewaktu kuliah.

 

Secara lebih rinci juga diungkapkan bahwa setidaknya seratus mahasiswa di setiap angkatan di kampus tersebut memilih jurusan hukum ekonomi. Sebaliknya, program kekhususan hukum tentang masyarakat menjadi jurusan yang paling sepi peminat. Program kekhususan yang terakhir disebut dideskripsikan sebagai jurusan yang mengarahkan mahasiswa untuk bergerak di lembaga-lembaga swadaya masyarakat bidang hukum. Sementara program kekhususan lain, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, dan hukum transnasional, memiliki jumlah peminat yang bervariasi tanpa perbandingan signifikan antara satu sama lain.

 

Terlepas dari pembidangan hukum yang ada, Asep Saefullah dan Herni Sri Nurbayanti (2003) menguraikan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro yang menyebutkan bahwa spesialisasi yang diterapkan pada jenjang S1 pendidikan hukum tersebut salah kaprah. Pada level ini, para sarjana hukum diharapkan memiliki kemampuan ilmu hukum yang sama karena pada dasarnya, pendidikan S1 hukum ditempatkan sebagai basis dari pendidikan hukum. Hal ini nantinya menjadi bekal untuk terjun ke berbagai bidang profesi hukum. Lebih lanjut, Prof. Mardjono mengutarakan bahwa idealnya tidak ada penjurusan dalam fakultas hukum pada jenjang S1. Semua mahasiswa mendapatkan dasar-dasar imu hukum yang sama-sama diperlukan, namun pada tahap akhir, misalnya pada penyusunan skripsi, sekitar 10 – 15 % ada penekanan di salah satu bidang tertentu.

 

Dunia Kerja sebagai Kondisi Nyata

Kondisi di perguruan tinggi hukum, dengan hukum ekonomi sebagai bidang terfavorit dan hukum masyarakat yang minim peminat seperti tergambar di atas, tak ubahnya situasi di dunia kerja bidang hukum di Indonesia. Keadaan bobrok dunia peradilan kita memang telah terjadi sejak masa Orde Lama, namun hal ini semakin diperparah pada 1960-an, ketika Pemerintah Orde Baru membungkam para pesaing politiknya melalui jalan mengintervensi pengadilan.  Atas kondisi tersebut, Daniel S. Lev (1988) mengungkapkan bahwa tersisa tiga pilihan bagi sarjana hukum pada masa itu, yaitu: (1) bekerja dalam sistem yang korup dengan menjadi hakim, jaksa, ataupun advokat; (2) berkutat dalam dunia hukum bisnis yang minim risiko dengan menjadi konsultan hukum bisnis; atau (3) melawan sistem yang korup dengan menjadi aktivis-advokat. Namun, hingga kini, keadaan tak kunjung membaik, dan terungkapnya suap seorang pengusaha kepada aparat Kejaksaan Agung menjadi bukti paling mutakhir untuk menggambarkan kondisi carut-marut dunia peradilan kita.

 

Ketiga pilihan yang diungkapkan Lev tersebut kiranya masih relevan untuk menunjukkan kotak-kotak para sarjana hukum saat ini. Sama dengan kondisi di fakultas hukum yang menempatkan jurusan hukum ekonomi sebagai terfavorit, opsi berkarir di dunia hukum bisnis pun paling jamak dipilih oleh para sarjana hukum, terutama lulusan baru. Bedanya, menjadi konsultan hukum bisnis saat ini barangkali lebih didasari motif ekonomi, dibanding memperkecil risiko dengan penguasa. Di sisi berseberangan, jurusan hukum tentang masyarakat sebagai yang paling miskin penggemar dikukuhkan oleh fakta rendahnya jumlah peminat dunia aktivis-advokat. Dunia yang terakhir ini dikatakan oleh Lev tak banyak diambil, namun berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1971 menegaskan bahwa bidang profesi hukum yang satu ini amat berperan dalam dunia hukum pada umumnya di Indonesia. Apabila dianalogikan dengan masa sekarang, bidang profesi aktivis-advokat ini merupakan profesi yang kini digarap oleh banyak lembaga swadaya masyarakat, misalnya lembaga penelitian dan advokasi hukum. Masih seperti dahulu, lapangan ini tetap minim peminat dibandingkan dua pilihan lainnya.

 

Penulis berpendapat, tak ada yang salah dari pilihan-pilihan tersebut di atas sepanjang hal itu dipilih dengan alasan yang berpegang pada idealisme memperbaiki hukum di Tanah Air. Kesempatan para sarjana hukum untuk berkontribusi dalam pembaruan hukum di Indonesia pun kini bertambah dengan munculnya lapangan baru, yaitu konsultan di bidang hukum konstitusi yang diharapkan paling mahir dalam hal menangani perkara dan beracara di Mahkamah Konstitusi.

 

Terkait dengan banyaknya pilihan tersebut, menurut penulis, risiko sarjana hukum terjerembab dalam lingkungan korup dunia hukum tidak hanya terdapat pada pilihan bekerja sebagai hakim, jaksa, ataupun advokat. Sebaliknya, bermain di wilayah aman dengan menjadi konsultan hukum bisnis maupun terjun sebagai aktivis-advokat, yang disebutkan akan melawan sistem yang korup, tidak pula menjamin seorang sarjana hukum tetap bersih dan bertahan pada idealismenya.

 

Terkait hubungan antara pilihan berprofesi dengan tanggung jawab terhadap perbaikan hukum, perlu kiranya dunia hukum Indonesia mengapresiasi apa yang kini telah dihasilkan oleh aktivis-aktivis muda bidang hukum. Seperti misalnya, Pan Mohamad Faiz dari Mahkamah Konstitusi yang dikenal sebagai pelopor blog hukum Indonesia, Ahmad Zakaria dari salah satu firma hukum ternama di Jakarta yang menjadi sarjana hukum pertama di Indonesia yang memublikasikan skripsi sarjananya melalui situs pribadinya dan rajin berbagi pengetahuan seputar bidang hukum teknologi, serta Dina Savaluna peneliti sebuah LBH di Jakarta yang memaparkan panjang lebar kasus lumpur Lapindo dalam buku yang ditulis dan diterbitkan berdasarkan hasil risetnya sendiri.

 

Janji Fakultas Hukum: Jaminan Segi Finansial Semata?

Dari ketiga pilihan dunia kerja seperti dijelaskan di atas, tak dapat dipungkiri bahwa bekerja di bidang hukum bisnis sebagai konsultan hukum adalah pilihan yang paling menjanjikan dari segi finansial. Alhasil, dalam lingkup pendidikan hukum, jurusan hukum ekonomi pun dianggap paling tepat untuk memberikan jaminan kepada para mahasiswa hukum terkait masa depan mereka di dunia kerja, namun sekali lagi, hanya jaminan dari segi finansial. Hal inilah—jaminan dari segi finansial semata—yang bagi penulis berpotensi memunculkan kesan negatif di benak sebagian pembaca artikel Para Pemburu Dolar yang disebutkan di awal tulisan ini. Lepas dari kesan itu, benarlah adanya apa yang disampaikan oleh jurnalis yang meliput dan menulis artikel di majalah berita mingguan tersebut.

 

Masa depan cerah. Janji itulah yang ditawarkan fakultas hukum, khususnya program kekhususan hukum ekonomi. Hal itu kiranya yang coba disampaikan jurnalis melalui liputan di majalah berita mingguan itu. Berbekal data dari survei dan wawancara responden, tulisan tersebut memang seakan menggambarkan keadaan sebenarnya. Dan begitulah adanya, penulis pun setuju dengan data dan fakta yang disajikan dalam berita majalah tersebut.

 

Akan tetapi, tepatkah jika masa depan cerah hanya diindikatori dari penghasilan uang atas pekerjaan? Motif ekonomi tentu merupakan naluri manusiawi. Namun, rusaknya sistem hukum sebagai suatu ancaman nyata di depan mata adalah hal yang patut mendapat prioritas untuk dibenahi. Usaha meminimalisasi risiko dengan jalan menjadi konsultan hukum bisnis, misalnya, nyatanya tidak pula dapat menghindarkan diri para konsultan hukum bisnis dari masalah korupnya sistem peradilan. Padahal, tanpa adanya usaha untuk terjun langsung demi memperbaiki sistem, justru para konsultan hukum bisnis sendiri yang ke depannya dapat mengalami kerugian, yaitu ketika perusahaan tidak lagi mau menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.

 

Lewat tulisan ini, penulis berharap, fakultas hukum sebagai garda terdepan dunia akademik hukum tidak hanya menawarkan prospek cerah di masa mendatang semata dari segi ekonomi. Fakultas hukum sebagai tempat bibit-bibit penegak hukum bersemai semoga tetap memperhatikan kondisi hukum di Indonesia saat ini sebagai sesuatu yang mendesak untuk dibenahi.

 

------

*) Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

 

Fakultas hukum sebagai salah satu dari sekian banyak pilihan untuk berkuliah semakin digemari oleh para lulusan SMU di Indonesia. Saat artikel ini ditulis, misalnya, sudah 230 mahasiswa baru angkatan 2008 terdaftar dalam data Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Ke-230 orang itu lolos menjadi anggota baru FHUI setelah disaring melalui Ujian Masuk Bersama (UMB) yang diselenggarakan awal Juni lalu. UMB adalah salah satu jalur yang dapat ditempuh oleh para lulusan SMU untuk mendaftarkan diri sebagai mahasiswa strata-1 (S1) FHUI. Tahun ini, FHUI menerapkan beberapa jalur masuk bagi para calon mahasiswanya. Selain UMB, dibuka pula jalur Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), serta Kerja Sama Daerah dan Industri (KSDI).

 

Luasnya bidang kerja yang dapat dilakoni oleh para sarjana hukum memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar Indonesia dalam memilih bidang kuliah. Seperti diterapkan di banyak negara, sistem pendidikan hukum di Indonesia merupakan jenis pendidikan akademis, yaitu sistem yang memungkinkan setiap lulusan SMA untuk menempuh pendidikan hukum di perguruan tinggi, tanpa mengharuskan para lulusan nantinya bekerja di bidang hukum.

 

Berbeda dengan Amerika Serikat yang menerapkan jenis pendidikan profesi, di mana pendidikan hukum di universitas (law school) hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yaitu orang yang berniat bekerja di lapangan hukum (Prof. Hikmahanto Juwana, 2003). Dengan alasan lapangan kerja yang luas inilah lulusan-lulusan SMA berlomba-lomba mewujudkan keinginan untuk menjadi sarjana hukum.

 

Pertanyaannya, ke arah manakah Fakultas Hukum menjadikan para lulusannya kelak? Mencetak sarjana hukum yang berusaha mewujudkan pembaruan hukum di Indonesia dengan kemampuan yang dimiliki, ataukah sarjana hukum yang sekadar puas akan manfaat ekonomis karena gelar yang menghiasi?

Tags: