Ari Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien
Terbaru

Ari Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien

Ia mengkritik advokat yang lebih mengedepankan popularitas pribadi dengan mengabaikan kepentingan klien. Pelayanan terhadap klien turut mempengaruhi citra dan reputasi advokat.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Ari Yusuf Amir: Jangan Gadaikan Reputasi Advokat dengan Membohongi Klien
Hukumonline

Dunia advokat sebenarnya lekat dengan nuansa ilmiah. Dalam menjalankan profesinya, acapkali advokat harus berkutat menyusun gugatan, eksepsi, kesimpulan atau legal opinion. Advokat juga harus memiliki skill komunikasi yang baik manakala berhadapan dengan klien. Bila kantor pengacara yang dibangun seorang advokat bertambah besar, kebutuhan akan manajemen lawfirm kian penting. Selaku managing partner atau pendiri, seorang advokat perlu menjaga citra dan reputasi pribadi dan kantor lawfirm tersebut.

 

Membangun citra dan reputasi lawfirm tentu tidak segampang membalik telapak tangan. Perlu kerja keras yang dibangun selama bertahun-tahun, agar kantor pengacara tersebut bisa bertahan hidup. Faktanya, tidak sedikit kantor pengacara besar bubar dan biduknya pecah hanya karena para penghuni lawfirm tidak bisa menjaga citra dan reputasi. Seorang manager kantor pengacara harus bisa menjadi pemimpin bagi anak buahnya, membangun jaringan, dan tetap menjaga hubungan baik dengan klien-kliennya.

 

Untuk itulah, seorang pimpinan lawfirm membutuhkan strategi. Salah satu referensi yang membahas masalah ini adalah karya Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat (2008). Dalam buku ini, Ari antara lain menjelaskan pentingnya memilih advokat bertipe arsitektur ketimbang advokat tukang. Citra dan reputasi akan berpengaruh pada keberlangsungan sebuah kantor pengacara. Reputasi lawfirm Anda terbentuk ketika stakeholder menerima informasi dan melalui sejumlah pengalaman saat mereka berhubungan dengan para profesional hukum di dalam lawfirm Anda, ujar pria yang pernah menjadi staf khusus bidang hukum Menteri Agama ini.

 

Sehari-hari, Ari bekerja sebagai managing partner di salah satu kantor advokat di Jakarta. Pria kelahiran Palembang memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan pascasarjana dari Universitas Indonesia. Sejak masih mahasiswa, ia sudah bekerja di Lembaga Pembela Hukum (LBH) Yogyakarta. Dalam perjalanan karirnya sebagai advokat, Ari berkali-kali pindah lawfirm.

 

Buku yang ditulis Ari Yusuf Amir merupakan salah satu dari sedikit referensi tentang manajemen kantor advokat yang baik. Dalam perbincangan dengan hukumonline, medio Juli lalu, advokat yang ikut mendirikan Tim Pembela Muslim (TPM) ini menyinggung banyak hal seputar manajemen kantor pengacara, termasuk soal fee, menjaga citra dan reputasi advokat, serta menjaga loyalitas klien. Ia mengkritik kebiasaan advokat yang lebih mengedepankan popularitas pribadi dengan mengabaikan kepentingan klien. 

 

Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan:

 

Dalam buku Strategi Bisnis Jasa Advokat Anda menyebut profesi advokat penuh tantangan. Tantangan seperti  apa maksudnya?

Sejak memulai karir sebagai seorang advokat, seseorang sudah mengalami kesulitan.  Kesulitan pertama selama ini adalah tidak adanya pedoman yang jelas tentang bagaimana profesi advokat dijalankan. Dulu sebelum ada UU advokat, kita sangat meraba-raba.  Sejak adanya UU No. 18 Tahun 2003, profesi advokat semakin terarah.  Menurut saya, tidak adanya pedoman yang jelas sudah merupakan tantangan awal. Kesulitan lain adalah masalah referensi.  Referensi tentang acuan bagaimana menjadi seorang advokat yang baik, bagaiman mengelola kantor yang baik, bagaimana etika profesi yang baik. Itu juga sangat sedikit, sangat minim. Lalu, tantangan yang lebih jauh ke depan adalah dalam melaksanakan tugas.  Dalam melaksanakan tugas, image orang terhadap advokat sudah agak miring hingga sekarang. Tanpa orang paham dulu bahwa justru advokat itu merupakan bagian dari penegakan hukum. Bagaimana seorang jaksa bisa menuntut kalau tidak ada yang membela. Keberadaan advokat justru agar ada keseimbangan dalam penegakan hukum. Image buruk juga sudah merupakan tantangan bagi semua advokat.  Tentu saja banyak lagi tantangan-tantangan ke depan yang harus diperhatikan advokat. 

 

Apa pentingnya sebuah jaringan ketika membangun kantor advokat?

Dunia advokat itu seperti dua sisi mata uang.  Di satu sisi, kita harus menegakkan profesi, punya etika , punya misi, ada semangat keadilan, dan semangat penegakkan hukumnya.  Di sisi lain kita harus cari keuntungan dalam menjalankan profesi ini karena ini adalah sumber kehidupan kita.  Nah, bagaimana mengelola lawfirm dengan baik, itu yang paling penting.  Mengenai jaringan, saya lihat, adalah sesuatu hal yang mutlak. Kekuatan jaringanlah yang akan mendatangkan klien buat advokat.  Tidak mungkin kantor pengacara dengan peluang begitu besarnya atau sebesar apapun, orang akan datang ke situ kalau tanpa jaringan. Mengapa?  Karena orang yang datang ke lawfirm bermula dari sebuah kepercayaan (trust). Makanya penting bagaimana membangun kepercayaan itu dengan jaringan, dengan kawan-kawan.  Advokat tidak bisa hanya dengan mengandalkan papan nama besar.  Untuk mendapatkan klien perlu jaringan. 

 

Belum lagi jaringan untuk menyelesaikan masalah.  Dalam menangani suatu masalah, kita tahulah kondisi di negara hukum di negara republik ini, birokrasi itu begitu sulit ditembus. Kalau kita punya jaringan di birokrasi, untuk menyelesaikan hal-hal sepele lebih mudah. Sekedar mendapatkan informasi saja, betapa sulit di negara kita.  Oleh karena itulah dibutuhkan jaringan.  Apalagi dalam skala besar, untuk menyelesaikan suatu problem hukum besar. 

 

Tapi pemahaman jaringan atau networking jangan dipahami bahwa itu negatif. Karena networking merupakan peranan utama di negara-negara maju supaya berhasil. Menurut saya networking itu sesuatu yang mutlak dalam dunia kepengacaraan. Asal jangan dalam arti negatif.

 

Maksudnya negatif?

Kalau negatif, kita menjadi kongkalikong, membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar. Jaringan yang saya maksud adalah untuk memperlancar kerja kita sebagai advokat, baik ke dalam maupun keluar.

 

Mengapa suatu strategi bisnis penting bagi sebuah lawfirm?

Di satu sisi, advokat itu adalah profesi yang mulia. Di sisi lain, ini adalah profesi kita untuk mencari uang juga. Itu nggak bisa dinafikan. Karena kita tidak punya pekerjaan lain. Pekerjaan kita adalah lawyer. Nah, bagaimana kita menyusun strategi bahwa ini bisnis, bisnis jasa. Seorang dokter pun bisnis. Tapi advokat itu bisnis jasa. Bagaimana kita kelola bisnis ini dengan baik supaya tidak ada citra bahwa kita ini gila cari uang dengan menghalakan segala cara, money-oriented. Tapi kita juga bukan orang yang hanya kerja sosial. Karena kalau hanya kerja sosial, seorang advokat nggak bisa hidup. Itu ada strateginya.

 

Bagaimana Anda menyeimbangkan kepentingan bisnis lawfirm dengan kepentingan sosial?

Pertama, saya sudah pertama hidup di lembaga-lembaga advokasi sosial. Saya pernah bekerja di LBH di Yogyakarta. Saya pernah mendirikan Lembaga Pembela Hukum (LPH) di Yogyakarta yang pernah menangani kasus Iwik dan beberapa kasus sosial yang kita tangani. Di situ kita melihat bahwa masy kita masih banyak yang buta hukum, dan mereka butuh bantuan hukum. Nah semangat itu jangan sampai hilang. Makanya dalam menerima perkara, kita harus mengklasifikasikan perkara, bukan menolak perkara. Kalau ada perkara-perkara sosial, bukan berarti harus kita tolak. Kita bisa arahkan perkara ini ke bagian tertentu, kami punya namanya LBH. Kami dirikan sebagai anak perusahaan ini, yang bekerja khusus untuk sosial. Bagaimana kebutuhan LBH itu kita bayar dari kantor ini. Lawyer-lawyer muda yang punya semangat idealisme kita tempatkan di sana. Mereka bekerja di sana, jangan memikirkan uang. Lalu mereka disupport dan dibimbing. Untuk perkara-perkara profesional yang menghasilkan uang, kita tangani di kantor sini. Itu juga merupakan salah satu strategi. Jadi, kita tidak menapikan, bahwa suatu perkara nggak duitnya lantas kita tolak. Nggak bisa begitu, kalau kita punya semangat mau menegakkan hukum.

 

Bukannya ada pemikiran di kalangan lawyer bahwa kalau perkara remeh temeh sebaiknya ditangani LBH saja?

Tidak semua orang punya kantor besar, mempunyai lembaga sosial. Sebaliknya, kita ketahui sama-sama tidak juga semua begitu. Ada lawfirm yang masih kuat memiliki semangat dan idealisme. Tetapi kalau kasus-kasus yang sosial tadi digabungkan dengan kasus-kasus profesional maka manajemennya akan berantakan. Mengapa? Karena kita mendidik lawyer-lawyer kita  bersikap profesional, Jadi kita harus siasati itu. Manajemen, dan lawyer kita nanti, akan berpikir apa namanya kalau semua perkara sudah kita terima. Perkara akan menumpuk. Banyak perkara tidak bisa kita tangani, lalu kita menjadi tidak profesional. Klien akan kecewa, baik untuk perkara yang sosial maupun itu yang bayar. Bagaimanapun, kemampuan kita juga terbatas.

 

Klien erat kaitannya dengan fee. Bagaimana pandangan Anda tentang fee bagi seorang advokat?

Pada dasarnya saya mencoba mengambil penentuan secara aman. Saya membagi klasifikasi dengan pembagian lawyer fee,  operational fee, dan success fee. Besarannya perlu kita sepakati dengan klien agar aman. Kenapa saya katakan aman? Saya bedakan nanti operasionalnya. Kalau perkaranya sudah putus juga kita bedakan. Kadang-kadang kita tidak tahu sejauh mana kita akan menangani perkara ini dan sampai berapa lama. Kita tidak tahu pasti sejauh mana tingkat kesulitan manangani perkara tertentu. Kalau kita sudah sejak awal menentukan tarif lawyernya sekian, dan alu tidak ada biaya lebih yang lain, sangat mungkin kita kewalahan di tengah jalan. Bisa nombok kita.

 

Nah kita ambil saja lawyer fee kita. Lawyer fee itu umumnya dibayar di muka sebagai biaya profesional sebagai advokat. Kita tangani perkara klien sampai selesai. Dalam penanganan perkara itulah, klien mengeluarkan operational fee berdasarkan kebutuhan. Jadi, kita tidak mengada-ada. Misalnya kita harus keluar kota untuk investigasi, maka klien yang tanggung biaya dengan pengeluaran yang transparan. Cara ini diambil dari segi amannya, moderat. Nah kalau perkara sudah selesai dan perkara klien menang, biasanya ada perjanjian advokat dapat prosentase. Kalau kalah, tentu kita tidak dapat success fee. Intinya, klien hanya dibebani di awal, yakni lawyer fee saja.

 

Menentukan lawyer fee harus melihat tingkat kesulitan masalahnya. Kita bagi dalam lawyer fee itu misalnya lawyer fee untuk kasus pidana, kasus perdata,  atau PTUN. Ada pembagiannya

 

Semakin complicated suatu kasus berarti fee-nya semakin besar?

Ya. Tapi masih ada faktor lain yang menentukan, yaitu kemampuan klien. Untuk mengetahui kemampuan klien, kita bisa lihat latar belakangnya, misalnya melalui wawancara.

 

Agar tidak ribut dengan klien kelak, bagaimana seharusnya menentukan fee?

Kita buat kesepakatan sejak awal. Ada keterbukaan. Kita buat perjanjian pemberian kuasa. Jadi jangan sampai di kemudian hari lalu ada sengketa antara lawyer dengan klien. Itu kita coba hindari dengan cara berbicara terbuka dan baik-baik sejak awal. Begini permasalahannya, biayanya berapa, kesanggupan klien berapa. Kalau tidak sanggup, advokat dan klien regenosiasi. Kalau sudah sepakat, maka kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian.

 

Beberapa negara membuat regulasi lawyer fee yang boleh diterima advokat. Apa untung ruginya kalau itu diatur negara menurut Anda?

Saya pikir itu lebih baik kalau bisa dilakukan. Cuma, persoalannya kita belum melakukan itu kan. Lalu, dalam konteks kasus-kasus non-litigasi umumnya biaya konsultasinya berapa lama, apakah hitungan perjam atau tidak, relatif mudah. Tapi ketika sudah menginjak ke litigasi, kelemahan sistem peradilan di Indonesia adalah soal waktu. Kita tidak bisa memprediksi berapa lama sidang berlangsung dan mulai jam berapa secara pasti. Surat panggilan jam 10, tapi para pihak sering molor. Tentu pasti kesulitan kalau lawyer fee litigasi dibayar per jam. Kalau sidangnya meniru model Mahkamah Konstitusi, on time, mungkin bisa ditentukan per jam. Faktanya, sidang litigasi kan susah ditebak mulainya.

 

Bagaimana Anda melihat pentingnya reputasi dan citra bagi seorang advokat?

Pertanyaan yang menarik. Selama ini ada kesalahan persepsi di kalangan advokat, bahwa dia ingin tenar, ingin terkenal lalu mengorbankan banyak hal untuk untuk ketenaran itu. Itu keliru menurut saya. Seseorang bersedia diwawancarai dan diekspos seolah-olah si advokat berpikir bahwa dengan ekspos itu urusan kiennya di kepolisian atau pengadilan akan terbantu. Sebaliknya, kadang-kadang dengan mengekspos perkara yang kita tangani, justru menyudutkan posisi klien, merusak nama,  citra, dan imagenya. Bahkan bukan mustahil polisi marah, hakim kesal karena pemberitaan itu, dan lantas memojokkan klien kita. Menurut saya, advokat harus pintar-pintar menangani masalah ini.  Tidak semua perkara harus diekspos secara terbuka. Kita ekspos suatu perkara dengan tujuan untuk menguntungkan klien; dan jangan mengekspos perkara untuk kepentingan popularitas kita sebagai advokat.

 

Artinya, jangan mengorbankan klien demi popularitas advokat?

Advokat harus mendahulukan kepentingan klien. Memang ada advokat yang mengekspos perkara klien demi popularitas dirinya sebagai advokat. Begitu diekspos, kliennya yang kelabakan. Itu merugikan klien. Bahkan menurut saya melanggar kode etik karena advokat wajib menjaga kerahasiaan klien.

 

Soal reputasi. Reputasi dalam bisnis jasa advokasi sangat penting. Semaksimal mungkin advokat harus menghindari konflik dengan klien. Sejak awal kita sudah buat perjanjian yang begitu jelas supaya apapun hasilnya, tidak ada saling menyalahkan. Tidak etis advokat menjanjikan kepada klien pasti menang, atau pasti kalah. Bisa saja perkara tersebut kalah, tetapi bagaimana kita kalah secara terhormat. Klien tahu kalau sebelum kekalahan itu kita sudah berjuang secara habis-habisan, sudah maksimal. Jadi, sewaktu kalah pun, klien bisa menerima. Disitulah terbentuknya reputasi.

 

Bukankah dalam praktek, advokat sering menjanjikan kemenangan kepada klien meski perkaranya belum bergulir?

Itu melanggar kode etik. Dalam kode etik advokat jelas diatur tidak boleh menjanjikan bahwa klien pasti menang. Kadang-kadang mungkin karena kebutuhan atau agar klien tertarik, lalu dijanjikanlah kemenangan kepada klien, apalagi kalau kliennya kakap. Tindakan semacam itu  tidak benar. Ketika seorang advokat sejak awal sudah menjanjikan dia pasti menang, itu lawyer yang tidak benar. Sebaiknya, kita berkomitmen untuk bekerja keras menangani perkara klien, memberikan kemampuan terbaik kita. Kita harus menjaga nama baik kepada klien. Jangan membohongi klien seolah-olah perkaranya pasti menang. Sampaikan saja apa adanya, sehingga advokat bisa menjaga reputasi. Termasuk kelemahan-kelemahan perkara klien, dan segala kemungkinan resiko yang muncul di pengadilan. Sampaikanlah secara terbuka setiap kelemahan tersebut. Ketika pasien salah memberikan informasi, bisa saja dokter salah memberikan obat.

 

Bagaimana advokat seharusnya menghadapi klien yang punya pendirian asal menang?

Makanya di awal kita tegaskan sama klien. Kalau Bapak ngotot harus menang, jangan pakai kita. Kami tidak bisa menjanjikan kemenangan. Kita harus tegas, walaupun klien sanggup membayar kami berapa saja asal harus menang. Kita harus ngomong ke klien. Mengapa? Ini akan merusak citra dan merusak reputasi kita ketika omongan kita tidak sesuai dengan faktanya. Lalu klien akan ngomong kepada kawan-kawannya, begitu seterusnya secara berantai. Dari situlah reputasi jelek terbangun: oh kantor si Anu bohong. Itu merusak citra dan reputasi advokat.

 

Apakah ada hubungan paralel antara citra yang buruk dengan jumlah klien? Ada kantor pengacara yang dituding pengacara hitam, tapi kliennya banyak.

Saya tidak bisa memastikan itu karena memang faktanya belum tentu seperti yang dipersepsikan orang. Persoalannya, saya melihat bahwa hal semacam itu menyimpan bom waktu. Kalaupun tidak meledak sekarang, mungkin nanti dan berakibat pada keberlangsungan lawfirm advokat tersebut. Dalam membuat dan menjalankan kantor pengacara, lawyer bisa jadi sudah lupa semangat idealismenya yang ibarat dua sisi mata uang. Menurut saya, idealisme itu harus tetap dijaga advokat. Memang, menjaga idealisme itu banyak godaannya.

 

Bagaimana sebenarnya lawfirm yang baik memperlakukan seorang klien?

Pertama, kita harus terbuka dan menjelaskan segala sesuatu kepada klien. Kedua, kita secara sungguh-sungguh mempelajari perkara klien dan secara sungguh-sungguh pula melaksanakan kegiatan yang berkaitan perkara tersebut. Kantor pengacara biasanya membentuk tim yang akan menangani suatu perkara, dan tim inilah yang secara intensif berhubungan dengan klien. Kantor biasanya mengadakan evaluasi, bisa mingguan atau bulanan. Bisa juga managing partner menemui klien secara langsung untuk melakukan evaluasi perkara, untuk menanyakan perkembangan keadaan selama perkara kita tangani.

 

Setelah perkara selesai, advokat juga harus tetap menjaga hubungan baik dengan klien. Tujuannya antara lain mempertahankan loyalitas klien. Paling sederhana dengan say hello kepada klien atau mengirimkan kartu ucapan selamat. Bisa juga mengajak klien melakukan aktivitas bareng seperti main golf, ikut pertemuan tertentu, atau hobi lain.  Ini demi menjaga loyalitas. Sekalipun dulu perkara klien kita kalah di pengadilan.

 

Selaku advokat, kita harus menjaga citra dan reputasi walaupun klien kita dulu kalah. Kalau kita jelaskan, klien juga tahu memang seharusnya kalah kalau faktanya demikian. Jangan sampai klien merasa dibohongi. Loyalitas klien akan berpengaruh pada klien berikutnya. Pengalaman kita membuktikan bahwa kebanyakan klien yang datang memperoleh informasi dari klien kita sebelumnya, bukan dari pemberitaan media. Di situ pentingnya kita menjaga kepercayaan, trust. Klien adalah sekaligus mata rantai bagi seorang advokat. Kalau reputasi dan citra kita di mata klien sudah buruk, maka klien berikutnya pun akan terpengaruh.

 

Pimpinan lawfirm yang baik perlu menyeimbangkan pengetahuan non-litigasi dan litigasi. Tapi kan tidak semua managing partner bisa melakukan itu. Bagaimana menyiasatinya?

Di bawah managing partner itu ada manager lain seperti manager divisi. Di dalam buku saya, saya buatkan struktur organisasi lawfirm yang ideal. Struktur organisasi yang ideal itu ada manager divisi, manager litigasi, dan manager non-litigasi. Kalau memang managing partners agak lemah di salah satu divisi, maka kita harus menyiasati bagaimana agar manager di bawahnya kuat. Sehingga dia bisa mem-back up managing partner. Karena bagaimanapun, managing partner itu lebih berfungsi mengurusi manajemen lawfirm, meskipun idealnya dia harus tahu banyak hal, litigasi dan non-litigasi.

 

Reputasi dan citra, serta jaringan mempengaruhi keberlangsung lawfirm. Menurut Anda, berapa persen kantor advokat di Indonesia yang bisa bertahan lama?

Saya belum mengadakan penelitian secara khusus ya. Tetapi saya lihat bahwa kantor pengacara yang bertahan itu adalah kantor pengacara yang betul-betul punya fondasi, dalam arti lawyer-lawyer yang membangunnya adalah lawyer-lawyer yang memulai karir dari bawah. Saya melihatnya seperti itu. Lawyer-lawyernya pernah mengalami pahit manisnya jadi lawyer sehingga bisa bertahan ke depan. Memang, kita lihat banyak sekali orang-orang tamatan luar negeri yang tidak punya pengalaman. Karena dia anak orang kaya, dia punya uang, maka dia membuka lawfirm di Indonesia, namun tidak bertahan lama. Mengapa? Karena dia tidak membuat pondasi yang kuat. Dia berhasil membuat rumah, tapi fondasi lemah.

 

Dengan logika semacam itu, berarti para alumnus LBH berpotensi menjadi lawyer sukses karena fondasinya kuat?

Dari segi kemampuan teknis, mereka punya. Tetapi jangan lupa, selain kemampuan teknis, masih ada faktor lain yakni kemampuan manajemen, kemampuan membangun jaringan, bagaimana bersikap, dan bergerak dengan enterprenership yang baik. Saya melihat kawan-kawan di LBH agak lupa hal-hal begini. Kawan-kawan di LBH sering menganggap musuh semua yang berseberangan. Kalau para alumnus LBH banyak yang berhasil membangun lawfirm besar, mereka sudah kompromi dengan kesempurnaan. Sayangnya, masih banyak kawan yang pakai kacamata kuda, berhadap-hadapan langsung, melihat segala sesuatu hitam putih. Kalau sudah begitu, saya kira tidak akan berkembang.

 

Sejumlah lawfirm besar di Indonesia lebih berkonsentrasi pada non-litigasi ketimbang litigasi. Apakah bidang itu lebih prospektif mendatangkan kesuksesan lawfirm?

Betul. Mereka lebih banyak menangani nonlitigasi karena punya jaringan ke luar negeri. Ketika orang mau investasi ke Indonesia, ketika investor mau mengembangkan usahanya, yang diminta membuat banyak hal berkenaan dengan aspek hukum adalah lawfirm semacam itu. Kelebihan mereka adalah jaringan yang luas ke luar negeri. Kelemahannya adalah ketika terjadi sengketa. Makanya, kantor-kantor semacam itu akan menyerahkan ke lawfirm lain kalau terjadi sengketa lewat pengadilan. Harus diakui ada kecenderungan hukum bisnis lebih ditonjolkan, dan kebanyakan berkaitan dengan kerja-kerja non-litigasi. 

Tags: