Ketika Pengadilan Hubungan Industrial Tak Lagi Dipercaya
Utama

Ketika Pengadilan Hubungan Industrial Tak Lagi Dipercaya

Kalangan buruh menilai tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan eksistensi PHI. Begitu juga dengan kaum pengusaha, PHI tak lagi diprioritaskan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Ketika Pengadilan Hubungan Industrial Tak Lagi Dipercaya
Hukumonline

 

Iya nih mas. Tadi hakim masih nyuruh kita memperbaiki bukti-bukti. Kita disuruh  melampirkan kartu asli yang nunjukin kalau kita karyawan IFI atau Great River. Hakim nggak mau nerima fotocopynya mas. Ribet banget sih. Ini keempat kalinya majelis hakim nyuruh kita memperbaiki gugatan dan bukti-bukti kita. Jangan-jangan minggu depan kita masih disuruh ngebetulin bukti kita lagi ya mas? ungkap Rita kepada hukumonline.

 

Kekhawatiran Rita akhirnya terjadi. Sepekan kemudian, tepatnya pada 17 Juli 2008, majelis hakim kembali mengkritik bukti yang disodorkan Rita dkk. Hakim hanya mau menerima kartu karyawan sebagai bukti bahwa Rita dkk memang memiliki hak untuk menggugat. Bukan kartu keanggotaan serikat pekerja.

 

Kita nggak tahu maunya hakim apa lagi. Kenapa nggak sekalian aja dari minggu kemarin bilang kalau butuhnya kartu karyawan, bukan kartu serikat pekerja. Kartu anggota serikat pekerja terpaksa kita pakai karena ada temen kita yang udah hilang kartu karyawannya. Lagian di kartu serikat pekerja juga dicantumin kok kalau kita karyawan IFI. keluh Rita. 

 

Lebih jauh Rita mengaku cukup terbebani dengan proses yang harus dijalaninya untuk meraih haknya. Betapa tidak. Untuk menyodorkan bukti tertulis, Rita dkk harus merogoh kocek yang lumayan besar untuk biaya fotocopy, penjilidan dan leges atau materai. Belum lagi biaya untuk menghadiri persidangan. Apalagi rata-rata kondisi para penggugat masih belum mendapatkan penghasilan baru. Mudah-mudahan temen-temen (penggugat lainnya, red) masih bisa bersabar menghadapi proses persidangan yang panjang dan penuh cobaan ini ya, tukasnya.

 

Keesokan harinya, tepatnya pada 18 Juli 2008 berkumpulah beberapa perwakilan Serikat Pekerja dan LSM yang concern dengan perjuangan buruh. Bertempat di kawasan Cisarua, Bogor, mereka menghelat Konferensi Praktisi Hukum Perburuhan II.

 

Tidak ada Rita, Eddy, Yani atau karyawan IFI lainnya di sana. Meski demikian, bahan yang menjadi perbincangan di dalam konferensi itu tidak jauh berbeda. Semuanya bermuara kepada keluhan terhadap keberadaan PHI sebagai salah satu lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

 

Kuburan keadilan

Baik Rita dkk maupun para peserta konferensi mengeluhkan proses penyelesaian permasalahan yang terjadi dalam relasi antara pengusaha dan pekerja. Mulai dari bertele-telenya proses beracara di PHI hingga kerapnya hakim menerapkan hukum acara perdata secara kaku. Padahal, buruh awam dengan formalitas yang berlaku di pengadilan. Ujung-ujungnya, PHI tak ubahnya sebagai kuburan keadilan bagi buruh.

 

Dalam beberapa kasus, putusan hakim PHI Jakarta memang memberi angin segar bagi perlindungan terhadap buruh. Tengok saja perkara Sabar Siregar melawan PT Huntsman Indonesia misalnya. Hakim menolak PHK yang dilakukan perusahaan karena alasan kesalahan berat. Atau putusan hakim yang memerintahkan agar Rumah Sakit Pusat Pertamina mengangkat karyawan outsourcing-­nya sebagai pegawai tetap. Atau simak bagaimana hakim memakai prinsip ex aequo et bono untuk menghukum perusahaan membayar uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri.

 

Timboel Siregar, Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menambahkan beberapa perkara yang bisa dirujuk sebagai salah satu contoh 'keunggulan' PHI ketimbang P4D/P4P. Sebut saja perkara antara Ali melawan PT Puriasri Baktikarya dan PT Bank Mandiri Tbk. Dalam perkara itu, majelis hakim mengabulkan uang paksa atau dwangsom yang dituntut Ali. Suatu hal yang jarang terjadi di PHI, bahkan di peradilan perdata umum.

 

Beberapa putusan perkara itu tampaknya belum mampu mengobati kekecewaan serikat buruh terhadap PHI. Pilihan sikap mereka bulat. Di dalam konferensi mereka menyatakan semangatnya  untuk menolak eksistensi PHI.

 

Kiagus Ahmad di dalam konferensi membeberkan beberapa alasan logis untuk mengesampingkan PHI. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang akrab disapa Aben ini menyatakan, PHI dibentuk agar pemerintah lepas tangan untuk urusan melindungi buruh. PHI cuma dibentuk sebagai arena pertarungan antara buruh dan pengusaha, ujarnya.

 

PHI, lanjut Aben, dinilai tak lebih sebagai lembaga yang mengkompromiskan pelanggaran hak normatif buruh. Salah satu indikatornya adalah kewenangan hakim memerintahkan perdamaian di antara para pihak yang berperkara. Hak normatif buruh sudah diatur Undang-Undang. Seharusnya tidak boleh dikompromiskan lagi.

 

Boikot PHI

Di penghujung konferensi, para serikat buruh dan LSM bersepakat untuk menihilkan eksistensi PHI. Dalam bentuk konkret, mereka akan berupaya habis-habisan agar perselisihan hubungan industrial tidak mampir ke PHI. Ekstrimnya, mereka akan lebih memakai mekanisme mogok kerja untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.

 

Marlas Hutasoit, aktivis Pelayanan Masyarakat Kota-Huria Kristen Batak Protestan (PMK-HKBP), mengungkapkan praktek mogok yang dilakoni buruh di Meksiko untuk mengeliminir keberadaan industrial court. Atas mogok itu, akhirnya pengadilan perburuhan di Meksiko itu dibubarkan, lantangnya.

 

Hemasari Dharmabumi, pegiat Internationl Union of Foodworker, menuturkan historis lahirnya pengadilan perburuhan. Labor Court pertama kali ada di Swedia untuk mengerem aktivitas serikat buruh. Di Indonesia, akhirnya itu terjadi. Serikat buruh sibuk dengan aktivitas di PHI hingga melupakan pengorganisasian dan penguatan solidaritas buruh.

 

Aben menambahkan, LBH Jakarta selama ini tidak memposisikan PHI sebagai pilihan utama untuk menyelesaikan perkara perburuhan. Ia mengaku lebih memilih jalur hakum lain, semisal hukum pidana untuk menuntaskan kasusnya. UU Ketenagakerjaan juga mengenal sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggarnya.

 

Pilihan LBH Jakarta untuk memakai upaya pidana ternyata cukup efektif. Dalam perkara Hotel Sultan misalnya. Direktur Human Resource Development hotel bintang lima di Jakarta itu kini duduk sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia bahkan sudah dituntut hukuman penjara satu tahun oleh Jaksa Penuntut Umum. Upah beberapa pekerja hotel itu yang awalnya tidak dibayarkan, kemudian dicairkan tak lama setelah kepolisian melakukan penyidikan.

 

Pilihan sikap LBH Jakarta diamini Reytman Aruan. Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans itu menyayangkan sikap buruh yang terpaku pada PHI. Ketika hak normatifnya dilanggar, seharusnya buruh tidak hanya menuntut melalui upaya perdata (PHI, red). Tapi juga lewat hukum pidana, ujarnya melalui gagang telepon, Minggu (20/7).

 

Proses hukum pidana, sambung Reytman, mutlak dilakukan buruh ketika pegawai pengawas ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak menjalankan fungsinya. Pengawas sebenarnya juga penyidik seperti polisi. Keberadaan PHI tidak mengebiri kewenangan pengawas. Sehingga harusnya pengawas juga aktif mengawasi dan menindak setiap pelanggaran UU. Kalau fungsi pengawasan itu tidak berjalan, mau tidak mau buruhnya yang aktif melaporkan. Baik itu ke Kepolisian ataupun ke pengawas, sarannya.

 

Djimanto, Ketua Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ternyata juga menyimpan keresahan yang serupa. Berdasarkan aduan dari beberapa anggotanya, Djimanto mengungkapkan kekecewaan Apindo atas kinerja PHI dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Prosesnya bertele-tele dan terkadang putusannya di luar ketentuan Undang-Undang, ungkap Djimanto saat ditemui di kantornya, Senin (21/7).

 

Hanya saja, lanjut Djimanto, hingga saat ini Apindo tidak terpikirkan untuk melakukan aksi boikot terhadap PHI. Ia menganjurkan kepada anggotanya untuk mengedepankan proses penyelesaian perselisihan secara bipartit. Karena yang lebih tahu permasalahan di suatu perusahaan adalah pengusaha dan pekerjanya itu sendiri. Bukan pihak lain, pungkasnya.

Kamis, 10 Juli 2008, sore hari. Rita, Eddy dan Yani masih terpaku di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Bukan di ruang sidang, melainkan di dalam Mesjid yang berada di kompleks gedung PHI.

 

Ketiganya tampak bersuka ria dengan aktifitas yang sedang dilakoninya. Trio karyawan PT Inti Fasindo Indonesia (IFI) -anak perusahaan PT Great River Indonesia (GRI)- yang sedang menguggat IFI dan GRI itu, sedang berhadapan dengan setumpuk kertas yang akan dijadikan sebagai bukti di persidangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: