Mengapa Bung Hatta Dapat Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Hukum?
Terbaru

Mengapa Bung Hatta Dapat Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Hukum?

Orang lebih mengenal Bung Hatta sebagai ekonom. Tetapi semasa hidupnya, ia pernah memperoleh doktor honoris causa di bidang hukum dari Universitas Indonesia.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Mengapa Bung Hatta Dapat Gelar Doktor Honoris Causa Bidang Hukum?
Hukumonline

 

Bung Hatta bersedia menerima pinangan UGM lima tahun setelah tawaran. Sementara, permintaan Universitas Indonesia baru dipenuhi Bung Hatta pada 1975. Sikap tak suka menonjolkan diri menjadi alasan Hatta untuk tidak segera menerima gelar DR HC.

 

Normalnya, Hatta akan diberi doktor kehormatan di bidang ekonomi. Tetapi, Sri-Edi Swasono mengisahkan, rencana itu berubah karena Dekan Fakultas Ekonomi UI kala itu menganggap teori ekonomi Bung Hatta sudah ketinggalan zaman. Sri-Edi, yang kala itu menjabat Pembantu Rektor III UI, berniat mendebat baik mengenai hakikat teori, hakikat pemberian gelar DR HC, dan peranan Hatta selaku konseptor kebijakan ekonomi khususnya pasal 33 UUD 1945. Namun, Sri-Edi urung melakukan karena ia khawatir dimaknai lain mengingat posisinya sudah sebagai bagian dari keluarga Hatta.

 

Ia tetap meneruskan pendapat Dekan Fakultas Ekonomi kepada Rektor UI. Akhirnya, dengan alasan pembenaran yang sama, Rektor Universitas Indonesia memutuskan memberikan gelar kehormatan DR HC bidang Hukum kepada Bung Hatta. Sri-Edi menulis, sampai wafatnya, Bung Hatta tidak tahu bahwa Fakultas Ekonomi UI menolak memberikan gelar kehormatan. Tak seorang pun dari kami sampai hati menyampaikannya, tulis Guru Besar Ilmu Ekonomi itu.

 

Pemberian DR HC bidang hukum itu pun nyaris tidak berjalan lancar. Sebab, kira-kira seminggu sebelum tanggal penganugerahan, tiba-tiba Prof. Oemar Seno Adjie mengundurkan diri dari kesediannya menjadi promotor karena ia harus segera bertugas ke Singapura. Untunglah Dekan Fakultas Hukum Padmo Wahyono bersedia menggantikan.

 

Dalam pidatonya selaku promotor, Prof. Padmo Wahyono membenarkan bahwa Hatta memang dikenal sebagai ekonom dan politikus ulung dalam sejarah kemerdekaan. Pada diri promovendus, dijumpai perpaduan antara kemampuan seorang sarjana dengan unsur homo-economicus dan homo-politicus. Kelebihan yang dimiliki promovendus diterapkan pula di bidang hukum, walaupun tidak dengan kata-kata yang lazim digunakan seorang sarjana hukum.

 

Dalam pidatonya, Padmo Wahyono memaparkan, selama lebih kurang 40 tahun, Hatta telah merenungkan dan memikirkan perlunya suatu sistem hukum yang lebih sesuai dengan rakyat banyak.

 

Pidato Hatta

Hatta menyampaikan pidato pengukuhan DR HC dari Universitas Indonesia pada 30 Agustus 1975. Ia menyampaikan pidato berjudul Menuju Negara Hukum.

 

Dalam pidatonya, Hatta menyinggung bagaimana perjalanan Pancasila hingga menjadi dasar negara. Urutan-urutan setiap sila bukan tanpa makna. Panitia 9 –dimana Bung Karno dan Bung Hatta menjadi anggota—mendahulukan fundamen moral di bagian sila-sila awal, baru kemudian fundamen politik. Politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Lalu, Hatta mengaitkan fundamen itu dengan pasal-pasal dalam UUD 1945.

 

Hatta juga menyinggung munculnya pemerintahan Soeharto yang didominasi militer. Kondisi semacam itu bisa jadi tak dapat disangkal karena suatu kenyataan. Tetapi, kata Hatta, kondisi semacam itu terjadi akibat kegagalan kaum sipil dan partai-partai politik untuk bersikap menurut Pancasila yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Lebih lanjut, Hatta menulis: Apabila kita renungkan UUD 1945 sedalam-dalamnya, bahwa segala yang penting bagi bangsa, apalagi yang ditimpakan kepada rakyat sebagai beban materiil dan idiil, harus berdasarkan undang-undang, nyatalah bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Negara yang berdasarkan Pancasila!.

 

Menurut Hatta, ia sengaja mengungkap sejarah pemerintahan sebagai peringatan bagi kaum muda. Pada akhirnya, kaum mudalah yang akan memimpin menggantikan kaum tua. Kesadaran kaum muda sangat menentukan perjalanan Indonesia sebagai negara hukum di masa depan. Dan kaum muda haruslah tetap mengedepankan jalan hukum ketimbang menggunakan kuasa dalam menyelesaikan persoalan. Dengan mengutip pandangan Prof. H. Krabbe, Hatta sangat yakin, kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasaan penguasa.

 

Untuk itulah kaum muda perlu terus membangun kesadaran hukum masyarakat. Seperti kata Hatta pada bagian-bagian akhir pidatonya. Semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.

 

-----

Sumber tulisan:

  • Meuthia Farida Swasono (penyunting). Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan dan Penerbit Universitas Indonesia, 1980.
  • Padmo Wahyono, Doktor Kehormatan dalam Ilmu Hukum untuk DR Muhammad Hatta, disampaikan 30 Agustus. 1975
  • Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum. Pidato Penganugerahan Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, 30 Agustus 1975.

Meskipun sudah lama wafat, Bung Hatta tetap dikenang. Pemikiran-pemikirannya di bidang ekonomi terus dikutip dan didiskusikan. Terakhir, pemikiran Hatta coba dikaitkan dengan booming ekonomi Islam. Selasa (12/8) lalu, sekaligus memperingati 106 tahun kelahiran mantan Wakil Presiden itu, terbit buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Pergulatan Menangkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan.

 

Jelas, itu bukan buku pertama mengenai Hatta. Tetapi sebagian besar karya mengenai tokoh proklamator itu berbicara tentang ekonomi. Hatta sering dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya mengenai gerakan koperasi sebagai sokoguru perekonomian. Walhasil, Bung Hatta dianggap sebagai ekonom ketimbang ahli hukum.

 

Anggapan tersebut tentu tidak salah. Cuma, semasa hidupnya, Bung Hatta pernah berbicara tentang hukum. Malah, pada tahun 1975, Universitas Indonesia menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) bidang hukum kepada Bung Hatta. Pemberian gelar itu bertepatan dengan HUT ke-30 Republik Indonesia, sekaligus sebagai ‘hadiah' ulang tahun ke-73 buat Bung Hatta.

 

Dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan (1980), Sri-Edi Swasono menceritakan sekilas pemberian gelar DR HC tersebut. Sri-Edi tak lain adalah menantu Bung Hatta, suami Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia F. Hatta. Pada 1951, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada sebenarnya sudah menyampaikan niat memberikan gelar DR HC kepada Bung Hatta. Tetapi Bung Hatta belum bersedia dan menolak secara halus. Nanti saja, kalau saya telah berusia 60 tahun, Hatta memberi alasan.

Tags: