Agar Mereka Tak Mati Dua Kali
Oleh: Aditya Suryatin Sarwono S.H., LL.M.*)

Agar Mereka Tak Mati Dua Kali

Sekitar pertengahan Juli 2008, saya terkejut ketika membuka portal berita di internet dan mendapati berita dengan tema besar ‘Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timor Leste (KKP) telah menyelesaikan Laporan Akhir' dan telah disampaikan kepada Kepala Negara dan Pemerintahan baik Indonesia maupun Timor Leste.

Bacaan 2 Menit
Agar Mereka Tak Mati Dua Kali
Hukumonline

 

Terms of Reference KKP

Kembali kepada KKP, Terms of Reference KKP menjelaskan bahwa objectives dari KKP adalah untuk: menyimpulkan keadaan yang sebenar-benarnya terjadi pada saat sebelum dan sesaat setelah jajak pendapat tahun 1999, mempromosikan rekonsiliasi dan persahabatan antara kedua negara, dan memastikan bahwa kejadian semacam itu tidak akan terulang kembali. Mandat KKP juga menjelaskan bahwa KKP hanya akan mengungkapkan fakta yang sebenarnya, mengeluarkan laporan, dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada kedua negara. Pada akhirnya Laporan Akhir KKP akan diserahkan kepada masing-masing Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, yang selanjutnya akan meneruskan laporan tersebut kepada parlemen dan mempublikasikannya kepada masyarakat. Adapun Laporan Akhir tersebut akan mengandung temuan-temuan KKP dan rekomendasi-rekomendasi yang akan terfokus kepada pengungkapan kebenaran, memastikan bahwa kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang, pengembangan rekonsiliasi dan mempromosikan persahabatan. Dari namanya saja seharusnya masyarakat sudah dapat membayangkan apa yang akan dihasilkan oleh KKP nantinya melalui Laporan Akhir mereka. Saat ini Laporan Akhir KKP tersebut telah sampai ditangan Presiden SBY (Indonesia), dan Presiden Ramos Horta beserta Perdana Menteri Xanana Gusmao (Timor Leste).

 

Yang bisa masyarakat tunggu adalah publikasi atas konten Laporan Akhir tersebut, sebelum semua pihak dapat menilai apakah Laporan itu akan dapat memuaskan rasa ingin tahu masyarakat, dan yang paling utama adalah memberikan titik terang bagi keluarga para korban tentang apa yang sebenarnya terjadi. Penting untuk dicatat bahwa dibalik setiap upaya rekonsiliasi, esensinya adalah untuk pengungkapan kebenaran sejarah, bukan semata mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Ada 2 pertanyaan yang penting untuk diperhatikan menyangkut publikasi Laporan Akhir KKP; 1.) apakah Laporan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste akan memiliki substansi yang seragam? 2.) apakah masing-masing Negara nantinya akan menjalankan rekomendasi-rekomendasi KKP dengan baik?

 

Setelah publikasi, apa yang bisa dilakukan oleh para korban?

Meskipun mungkin tidak menyenangkan bagi beberapa pihak, namun masyarakat mesti menyadari bahwa Laporan Akhir KKP tidak pernah dimaksudkan untuk menyeret pelaku kejahatan HAM di Timor Leste ke muka pengadilan nasional maupun internasional. Berdasarkan berita-berita di media massa, tampaknya keduabelah pihak tidak akan memperpanjang masalah ini dan lebih memilih untuk menguburnya dalam-dalam alias menutup buku sejarah kelam hubungan kedua negara dimasa yang lalu dan menatap hubungan baik di masa yang akan datang.

 

Saya pribadi berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah salah untuk dilakukan karena memang dalam sejarah perkembangan dunia, diperlukan jiwa yang besar untuk bisa terus melangkah maju (dalam hal ini, sejarah Afrika Selatan bisa menjadi sebuah contoh). Tetapi, apakah itu adil untuk semua pihak? Jawabannya tentu tidak karena, secara filosofis, keadilan tidak akan pernah bersifat absolut dan, seperti apa yang dikatakan oleh Andrew Clapham di dalam bukunya Human Rights a Very Short Introduction, bagi beberapa orang menegakkan HAM haruslah sepenuh hati; memberi kekuatan moral untuk ‘meluruskan' segala sesuatu yang tidak adil.

 

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil karena adanya pelanggaran HAM yang telah disebutkan diatas? Secara nasional, walaupun masih ada asa (dan menjadi keharusan apabila ingin mengajukan komplain ke hadapan Komite HAM di level internasional) untuk dilakukan, namun secara pribadi saya skeptis apabila hal tersebut dapat terealisasi, apalagi sampai mendapatkan keputusan pengadilan yang inkracht atau berkekuatan hukum tetap (BHT). Secara internasional, perlindungan terhadap HAM khususnya bagi warga negara Indonesia, juga masih sangat minim terutama bagi para korban kejahatan HAM yang terjadi di waktu yang lampau. Indonesia memang sudah menjadi anggota International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR - perjanjian internasional mengenai masalah HAM yang khususnya berkaitan dengan masalah hak hidup dan politik yang mendasar bagi masyarakat, merupakan kelanjutan dari Universal Declaration of Human Rights) tetapi Indonesia baru saja menjadi anggotanya pada tahun 2006 sedangkan kasus yang diselidiki oleh KKP adalah kasus yang terjadi pada tahun 1999 (tepatnya adalah sebelum dan segera setelah jajak pendapat tahun 1999 tapi tidak sampai ke tahun 2006).

 

Secara logika hukum, pengaduan atau komplain atau komunikasi yang dilakukan oleh para korban kejahatan HAM tahun 1999 tidak akan diterima oleh Komite HAM dari ICCPR karena akan bertentangan dengan prinsip hukum tidak berlaku surut, artinya pada tahun 1999, ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalam ICCPR belum mengikat Indonesia. Begitu juga dengan ketentuan yang ada di dalam Convention Against Torture (CAT) yang sebetulnya pada pasal 22 terdapat ketentuan yang mengatur tentang prosedur komunikasi atau komplain kepada Komite CAT (CAT Committee) tetapi dengan jelas tertulis di pasal tersebut bahwa Komite CAT tidak akan merespon komunikasi atau komplain yang diajukan terhadap Negara yang tidak atau belum secara khusus menyatakan pengakuan atas legitimasi Komite CAT (diistilahkan dengan declaration).

 

Dalam hal ini, pengakuan yang diberikan kepada Komite CAT baru datang dari 57 negara dan Indonesia bukan termasuk salah satu diantaranya. Kalau kita lihat keadaan di atas memang sangat sulit bagi para korban kejahatan HAM tahun 1999 untuk mengajukan komplain atau komunikasi kepada badan HAM internasional secara pribadi. CAT sebenarnya juga memiliki prosedur tentang komplain yang dilakukan oleh Negara lain (dalam hal ini misalnya Timor Leste yang mengajukan komplain kepada Indonesia), tetapi Indonesia telah dengan tegas menolak di dalam reservation (penolakan) terhadap pasal 30 CAT, dan menyatakan bahwa jika ada sengketa dari negara lain maka akan diselesaikan melalui lembaga Mahkamah Internasional (International Court of Justice), dan untuk itupun harus ada persetujuan dari semua pihak yang bersengketa (termasuk Indonesia tentunya).

 

Merujuk kepada fakta di atas, tampaknya pengadilan nasional masih menjadi satu-satunya tempat untuk mencari keadilan bagi para korban, kecuali apabila PBB memutuskan untuk membentuk suatu mahkamah internasional khusus untuk kasus HAM tahun 1999 ini seperti yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia dimana hukum yang berlaku adalah hukum khusus dan juga berlaku surut sampai ke tahun tertentu.

 

Akhir kata, publikasi Laporan Akhir KKP memang sangat ditunggu baik oleh masyarakat Indonesia maupun oleh dunia internasional karena laporan tersebut akan menentukan langkah apa yang akan diambil oleh masing-masing negara dan juga oleh dunia internasional. Tetapi apapun hasilnya, sudah saatnya bagi masing-masing pihak untuk saling introspeksi dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Betul memang bahwa salah satu tujuan dibentuknya KKP adalah untuk mempererat tali persahabatan diantara kedua negara karena memang hubungan kedua negara ini memiliki latar belakang sejarah yang kelam. Tetapi, itu dulu. Kini kita semua harus fokus kepada masa depan dan berharap semua pihak dapat memetik hikmah dan pelajaran yang sangat berharga dari adanya kasus ini.

 

Sesuai dengan judul artikel ini, publikasi Laporan Akhir KKP sangat diharapkan agar tidak membuat para korban dan keluarganya tidak mati dua kali. Selain itu, kita berharap agar masyarakat Indonesia dan Timor Leste dapat meniru saudara-saudara mereka yang berada di Afrika Selatan yang pada saat ini telah melangkah maju. Last but not least, kita juga harus memberkan apresiasi yang tinggi kepada KKP yang telah bekerja dengan sekuat tenaga dengan tenggat waktu yang bisa dibilang tidaklah banyak.

-----

*) Penulis adalah pemerhati hukum dan sosial, dan saat ini sedang berada di Belanda setelah menyelesaikan studinya untuk program Master of Globalization and Law di University of Maastricht, Belanda.

Yang paling mengejutkan bagi saya adalah fakta bahwa laporan ini tidak akan menyeret para pelaku kejahatan HAM di Timor Leste, dalam kurun waktu sebelum maupun sesudah jajak pendapat tahun 1999, ke muka pengadilan. Sungguh sebelumnya saya menduga bahwa KKP ini akan bisa menjadi seperti Truth and Reconciliation Commission (TRC) di Afrika Selatan ketika Negara tersebut baru saja terbebas dari kungkungan rezim apartheid selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

 

TRC dibentuk setelah rezim apartheid di Afrika Selatan berhasil digulingkan oleh golongan pro-demokrasi yang dipimpin oleh Nelson Mandela. Pembentukan komisi ini sejatinya adalah untuk kebersamaan dan kemajuan Afrika Selatan yang selama bertahun-tahun hidup dibawah rezim yang rasis dan berada di bawah tekanan dunia internasional. Afrika Selatan pada saat itu merasa perlu membuat suatu gebrakan untuk bisa menyatukan rakyat mereka dengan cara membuka luka lamanya sendiri agar kedepannya tidak ada dendam yang hidup diantara mereka.

 

TRC dibentuk dengan mandat untuk melakukan investigasi atas kejahatan HAM yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1960 – 1994, mendatangkan dan mendengarkan saksi-saksi atas kejahatan HAM tersebut, sekaligus memberikan amnesti, rehabilitasi dan ganti-rugi atas kejahatan-kejahatan HAM yang terjadi pada saat itu. Amnesti diberikan kepada para saksi atau pelaku kejahatan yang dengan sukarela dan sejujur-jujurnya mengungkapkan fakta yang terjadi pada masa itu.

 

Mereka juga meneruskan temuan-temuan yang didapat kepada jaksa atau pengadilan yang sedang atau akan memproses secara hukum para pelaku kejahatan HAM. Pada akhirnya, walaupun masih terdapat kekurangan dan kelemahan (dan menuai banyak kritik meskipun lebih banyak lagi menerima pujian), komisi ini dipandang berhasil secara keseluruhan dalam melaksanakan tugasnya.

 

Yang terpenting, TRC telah berhasil mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Afrika Selatan menjadi lebih maju dan bermartabat (untuk hal ini tentunya ada banyak faktor namun diyakini bahwa TRC memegang peranan yang sangat penting). Kemajuan yang signifikan ini contoh konkretnya bisa dilihat pada dinamika dunia perdagangan internasional dalam forum World Trade Organization (WTO) dimana Afrika Selatan adalah salah satu dari empat negara berkembang (selain Brazil, China dan India) yang mempunyai suara paling vokal dalam mewakili kepentingan negara berkembang lain dalam menghadapi dominasi negara-negara maju di era globalisasi ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: