Bukan Sekedar Soal Baju Khusus Koruptor
Oleh: Bobby R. Manalu

Bukan Sekedar Soal Baju Khusus Koruptor

Usul pemberian baju khusus terhadap para Koruptor yang digagas oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), mendapat respon yang sangat luas dan beragam dari publik.

Bacaan 2 Menit
Bukan Sekedar Soal Baju Khusus Koruptor
Hukumonline

 

Mendukung Hak Asasi Manusia

Kita bersyukur bahwa spirit reformasi yakni pemberantasan korupsi masih terekam jelas dalam Konstitusi (pasca amandemen). Dalam konteks Negara hukum Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, konstitusi kita berpihak pada perlindungan HAM yang mementingkan nilai-nilai kepentingan umum, sangat berbeda dengan konsep HAM negara liberal yang lebih berpihak pada perlindungan individu. Maka tak heran dalam ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

 

Lagipula argumen perlindungan HAM yang dilontarkan mereka yang kontra bukanlah hak asasi yang tidak dapat dikurangi sebagaimana yang dijabarkan dalam konstitusi. Sebagai dasar hukum yang tertinggi di Negara Hukum Republik Indonesia, Konstitusi telah menyatakan pendapatnya, oleh karena itu sudah sangat jelas dengan sendirinya argument pemberian baju koruptor adalah melanggar HAM telah runtuh dengan sendirinya.

 

Mendukung Due Process of Law

Khusus mengenai asas praduga bersalah dan asas praduga tidak bersalah, dalam perspektif criminal procedure (Hukum Acara Pidana) perlu dipahami. Kedua asas itu tidaklah bertentangan satu sama lain. Bahkan, Eddy O. S Hiariej, salah seorang pakar pidana UGM yang menyitir pendapat Hebert L. Packer dengan tegas menyatakan, sangat keliru jika memikirkan asas praduga bersalah sebagaimana yang dilaksanakan dalam crime control model sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah yang menempati posisi penting dalam due process model. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, dua konsep itu berbeda, tetapi tidak bertentangan.  

 

Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi para aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.

 

Dalam hal ini, jika usul baju pemberian baju ini diterapkan oleh KPK apalagi kalau kita hubungkan dengan tidak adanya moral deficit bagi pelaku korupsi karena rata-rata pelakunya adalah pelbagai pejabat negara di lembaga-lembaga tinggi, tidak ada motif yang masuk akal untuk membela diri dari tindakan korupsi. Bukan saja karena penghasilannya yang berlimpah, tetapi juga dari merekalah justru hukum mengalir. Maka, tidak ada prinsip atau asas praduga tidak bersalah yang dilanggar. Masalah status mereka masih dalam tahapan proses persidangan, itu cuma persoalan teknis saja, tinggal mengganti kata-kata yang tertera dalam baju khusus tersebut, misalnya: TERSANGKA KASUS KORUPSI. Toh dalam proses persidangan, dakwaan yang diajukan adalah pasal-pasal yang diatur dalam Undang-undangan Pemberantasan tindak pidana korupsi.  

 

Budayakan Kembali Rasa Malu

Hasrul Halili (Kompas, 12/8)  menjelaskan bahwa efek jera korupsi saat ini harus kembali ditegakkan. Bahwa tidak adanya lagi efek jera yang ditimbulkan dari upaya pemberantasan korupsi tersebut harus dimaknai karena budaya malu di Indonesia atas perbuatan salah sudah mengalami penurunan kualitas. Itu yang menyebabkan dalam banyak pemberitaan mengenai para koruptor seolah-olah para tersangka atau terdakwa sangat bangga dengan statusnya.

 

Lihat saja, ketika ditangkap dan ditahan sekalipun mereka masih mampu berdiri tegak, dengan wajah sumringah, berpakaian necis terkadang sambil bercanda dengan didampingi oleh penasihat hukum papan atas, memberikan keterangan kepada pers, seolah-olah tidak ada persoalan yang cukup berarti yang dilakukannya.

 

Sanksi sosial yakni adanya rasa malu bagi koruptor harus mulai secara terus menerus dibangun kembali. Perlakukan khusus dengan pemberian baju khusus bagi koruptor adalah bagian dari upaya tersebut. Permasalahan efektif atau tidak efektif tidak pada tempatnya dibicarakan saat ini, yang terutama saat ini adalah melakukan langkah-langkah nyata-nyata yang berguna, dan pemberian baju khusus koruptor adalah wujud konkirtnya, dan usul ICW tersebut menjelaskan kepada kita bahwa ide tersebut bukan sekedar soal baju.

 

 

--------

*) Penulis adalah praktisi hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices.

 

Di luar perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra, ada hal yang sangat positif, yakni tetap terjaganya cercah harapan dalam usaha pemberantasan korupsi yang berakar di negeri ini. Meluasnya opini dari semua lapisan masyarakat menanggapi ide tersebut bagi penulis merupakan suatu momentum berharga yang menjelaskan dua hal penting.

 

Pertama, bahwa hampir seluruh masyarakat sebenarnya sangat sadar, bahwa korupsi merupakan jenis penyakit sosial berbahaya yang menghambat kemajuan bangsa ini, dan adalah perlu untuk menyembuhkannya. Adanya kesadaran masyarakat terhadap hal ini merupakan hal yang sangat signifikan, karena usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan sangat gencar oleh penegak hukum (red. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanpa didukung oleh setidak-tidaknya mental/kesadaran bersama bahwa korupsi itu adalah perbuatan keji yang tidak pantas, maka tindakan tersebut hanya sekedar jalan ditempat. Benar bahwa terhadap usul pemberian baju tersebut menimbulkan pro dan kontra, namun semuanya berada pada pijakan yang sama, yakni korupsi itu jahat. Perbedaan pendapat hanya pada skala tingkat kejahatannya. Kalangan pro berada pada skala korupsi itu adalah Kejahatan luar biasa, sebanding dengan terorisme. Sedangkan pada kalangan kontra, Korupsi dianggap hanya sebatas Kejahatan biasa, kurang lebih sama dengan pencurian ayam.  

 

Kedua, bahwa penegak hukum, dalam hal ini KPK, ternyata tidak berjalan sendirian. Ada banyak masyarakat yang sangat peduli dan mendukung setiap aksi-aksi pemberantasan yang dilakukan oleh Komisi ini. Kenapa penulis seakan-akan menganggap penegak hukum atas kasus korupsi hanya KPK? Jawabnya jelas, karena hanya KPK-lah, institusi yang sependapat dengan sebagian besar masyarakat yang menggangap bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga cara-cara yang dilakukan dalam pemberantasan pun harus luar biasa. Kejaksaan Agung, Wapres Jusuf Kalla, Menkumham dalam tanggapannya terhadap usul ICW tersebut, terlihat jelas, bagi mereka korupsi hanya kejahatan tak lebih dari sekedar mencuri ayam.

 

Penulis sendiri berada pada posisi pro terhadap usul ICW tersebut. Penulis beranggapan bahwa usul tersebut merupakan bagian dari cara-cara yang luar biasa yang harus dilakukan untuk memberantas kejahatan luar biasa. Tulisan ini mencoba untuk setidaknya menggugat pandangan pihak kontra yang menganggap bahwa korupsi adalah kejahatan biasa, sehingga usul ICW dalam pandangan mereka berubah menjadi ide yang patut didukung sepenuhnya.  

 

Dari beragam opini pihak yang kontra terhadap usul pemberian baju koruptor, penulis mencatat setidaknya ada 3 (tiga) argumen yang sering dijadikan tembok untuk membenarkan pendapatnya, yakni: pemberian baju koruptor adalah melanggar HAM, melanggar asas praduga tidak bersalah, dan tidak efektif. Benarkah?

Halaman Selanjutnya:
Tags: