Menggugat Eksistensi Koperasi sebagai Agen Outsourcing
Utama

Menggugat Eksistensi Koperasi sebagai Agen Outsourcing

UU Perkoperasian jelas menyebutkan koperasi berperan dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan anggota dan masyarakat pada umumnya. Bisakah outsourcing mewujudkannya?

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Menggugat Eksistensi Koperasi sebagai Agen <i>Outsourcing</i>
Hukumonline

 

Atau misalnya Koperasi Pegawai Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) yang juga pernah terikat perjanjian outsourcing dengan RSPP. Yang teranyar adalah Koperasi Pegawai PT Jalantol Lingkarluar Jakarta yang menyediakan tenaga kerja outsourcing untuk posisi penjaga loket tol. Boleh jadi, koperasi serupa masih bertebaran di luar sana.

 

Banyaknya koperasi yang bergerak di bidang pengerahan tenaga kerja itu memang bukan tanpa dasar. Pasal 65 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menandaskan bahwa perusahaan yang boleh menyelenggarakan outsourcing adalah perusahaan yang berbadan hukum. Di Indonesia, badan hukum terdiri dari Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi. Karena itu, secara normatif sah-sah saja koperasi menyelenggarakan outsourcing.

 

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, merinci lebih jauh mengenai badan hukum apa saja yang berhak menjadi agen outsourcing, yaitu Perseroan Terbatas dan Koperasi saja. Yayasan tidak disebut dalam Kepmenaker ini karena mungkin yayasan tidak diberi ruang untuk mencari keuntungan.

 

Filosofis Koperasi

Adanya landasan hukum UU Ketenagakerjaan dan Kepmenaker itu, bisa jadi salah satu penyebab maraknya koperasi yang bergerak di bidang penyedia jasa tenaga kerja. Artinya, di satu sisi Koperasi memang mempunyai landasan hukum. Pertanyaannya, apakah secara filosofis koperasi memang pantas untuk menjadi agen outsourcing itu?

 

Koalisi Ornop untuk Gerakan Koperasi dalam Position Paper RUU Koperasi menandaskan bahwa pada dasarnya Koperasi tidak ditujukan untuk mencari laba sebesar-besarnya. Melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku usaha ekonomi skala kecil.

 

Herni Sri Nurbayanti, pemerhati koperasi dari  Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menuturkan ada garis tegas yang membedakan koperasi dengan perusahaan. Kalau perusahaan umumnya hanya menekankan pada penumpukan modal saja (capital based), sementara Koperasi lebih pada community based. Sehingga, koperasi akhirnya memang lebih bertujuan untuk melayani anggotanya. tuturnya, Rabu (27/8).

 

Pada praktiknya, lanjut Herni, banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan beberapa koperasi. Mulai dari pembentukannya yang tidak sesuai dengan konsep dasar koperasi hingga bergesernya orientasi pelayanan dan tujuan koperasi itu sendiri.

 

Koperasi harusnya didirikan anggotanya atas dasar adanya kesamaan kepentingan dan tujuan, bukan yang lain-lain seperti kesamaan profesi. Misalnya Koperasi TNI. Intinya, pembentukan koperasi itu bottom up. Bukan top down, cetus Herni yang juga terlibat dalam Koalisi Ornop untuk Gerakan Koperasi.

 

Pernyataan Herni diamini Arif Witjaksana. Pengajar Hukum Perusahaan Universitas Trisakti ini mengungkapkan bahwa koperasi adalah badan usaha berbadan hukum yang dibentuk oleh anggotanya. Koperasi, lanjutnya, diselenggarakan dengan asas kekeluargaan. Dilihat dari tujuannya, Koperasi dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

 

Relevan dengan outsourcing?

Secara normatif, fungsi dan peran Koperasi cukup mulia. Pasal 4 UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa koperasi berfungsi dan berperan dalam membangun potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Selain itu, masih di dalam pasal yang sama, Koperasi juga berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.

 

Dalam tataran implementatif, fungsi dan peran yang cukup luhur itu tampaknya tidak bisa diwujudkan oleh koperasi yang bergerak di bidang outsourcing. Betapa tidak. Praktik menunjukkan bahwa outsourcing ternyata makin menyengsarakan buruh.

 

Di tengah himpitan minimnya pengupahan dan ancaman PHK sepihak, nasib buruh menjadi semakin tidak menentu dengan sistem outsourcing ini. Buruh outsourcing akhirnya hanya menggantungkan hidup pada kemurah-hatian perusahaan pemakai jasa tenaga kerja. Belum lagi terbelenggunya hak-hak buruh outsourcing untuk berserikat.

 

Odie Hudiyanto, Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) menyimpulkan,  outsourcing tidak akan pernah bisa memberikan jaminan pekerjaan dan terpenuhinya hak-hak  normatif buruh. Kalau begitu, apakah koperasi yang menjadi agen outsourcing sudah melaksanakan perannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia seperti diatur dalam UU Koperasi itu? gugat Odie, Rabu (27/8).

 

Arif Witjaksana sependapat dengan Odie. Menurutnya, jika benar praktik outsourcing malah membuat kualitas kehidupan manusia menurun, maka Koperasi tidak pantas bergerak di bidang usaha itu. Tapi harus benar dibuktikan secara empiris bahwa outsourcing adalah suatu sistem yang tidak mendukung peningkatan kualitas kehidupan manusia, tukasnya, Sabtu (23/8).

 

Sedemikian menakutkannya 'hantu' outsourcing -ditambah sistem kerja kontrak- membuat para buruh di seantero nusantara tidak lupa menyisipkan isu dua sistem kerja itu di tiap aksi unjuk rasa. Mereka mati-matian menuntut pemerintah menghapuskan kedua sistem kerja itu. Tidak hanya melalui unjuk rasa, tuntutan untuk menghapuskan outsourcing dan sistem kerja kontrak juga pernah bergulir ke Mahkamah Konstitusi. Sayang, saat itu hanya dua hakim konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar dan Laica Marzuki, yang menyatakan bahwa outsourcing dan kerja kontrak melanggar konstitusi. Alhasil, permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan hanya dikabulkan sebagian.

 

Odie Hudiyanto berencana akan menempuh upaya hukum. Kalau analisanya matang dan datanya kuat, kenapa tidak kita judicial review saja Kepmenaker 101 itu. Jadi sambil menolak outsourcing, kita juga tempuh upaya lain untuk mempersempit ruang gerak outsourcing dimana koperasi tidak bisa lagi bertindak sebagai agen outsourcing.

 

Upaya menggugat regulasi badan hukum yang boleh menyelenggarakan outsourcing tersebut didukung Arif Witjaksana. Kalau benar outsourcing ini tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar seperti tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, maka menurut saya bukan hanya badan hukum  koperasi saja yang digugat, tapi juga badan hukum PT.

 

Yogo Pamungkas, pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti mempunyai pendapat berbeda. Menurutnya, sistem outsourcing untuk saat ini tidak bisa dihindari. Untuk mengantisipasi jaminan perlindungan pekerjaan bagi pekerja, ia berharap agar semua agen outsourcing menerapkan PKWTT alias pegawai tetap kepada para pekerjanya yang akan di-outsourcing-kan. Selain itu mungkin bisa juga diterapkan upah minimal bagi pekerja outsourcing yang jumlahnya jauh lebih tinggi dari pekerja biasa. Sehingga masalah kesejahteraan pekerja outsourcing bisa teratasi, cetus Yogo via telepon, Sabtu (23/8).

 

Terlepas dari itu semua, Odie tetap menghimbau para serikat buruh untuk kembali pada 'khittah-nya', yaitu kekuatan solidaritas. Saat serikat buruh kuat, kata Odie, maka keberadaan outsourcing bisa dengan mudah dipatahkan melalui framework agreement. Kekuatan serikat buruh ini sudah terbukti di beberapa hotel dimana akhirnya di dalam PKB disepakati tidak ada pekerja outsourcing, pungkasnya.

 

...Roboh Koperasi, Roboh pula sendi kemakmuran rakyat, demikian penggalan penutup pidato Muhammad Hatta.

 

Muhammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, pada saat pidato Hari Koperasi Ketiga pada 11 Juli 1954 pernah berujar, Yang akan beruntung dengan perpecahan Koperasi ialah lawannya, perusahaan-perusahaan kapitalis... Dengan kata lain, sejak awal Hatta seolah memposisikan koperasi vis a vis dengan perusahaan kapitalis.

 

Jika saja Hatta masih hidup saat ini, bisa jadi ia miris melihat praktik dan perkembangan koperasi. Bagaimana tidak. Saat ini, koperasi cenderung bergandeng tangan dengan perusahaan-perusahaan kapitalis yang dimaksud Hatta.

 

Koperasi, yang menurut Hatta dilandasi pada asas kekeluargaan, dibentuk sebagai pencerminan dari prinsip kolektivitas dalam sistem ekonomi kerakyatan. Inilah yang membedakan koperasi dengan perusahaan kapitalis. Perusahaan kapitalis lebih menekankan prinsip individualisme dan tentunya penumpukan modal sebesar-besarnya.

 

Faktanya, saat ini sejumlah koperasi sudah tercerabut dari konsep dasar yang digagas Hatta. Prinsip kolektivitas dinomorduakan, penumpukan modal sebesar-besarnya dikedepankan. Paling tidak itulah potret koperasi yang bergerak di bidang jasa outsourcing yang marak berkembang saat ini.

 

Sekadar contoh, hukumonline mencatat beberapa koperasi yang bergerak di bidang penyedia jasa tenaga kerja. Sebut misalnya Koperasi Wahana Usaha Jabodetabek -koperasi yang dibentuk oleh pegawai PT Kereta Api Indonesia Jabodetabek- yang pernah menjadi agen outsourcing di PT Kereta Api Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: