Kebebasan Berserikat Jalan di Tempat
Berita

Kebebasan Berserikat Jalan di Tempat

Meski sudah meratifikasi Konvensi ILO, kebebasan berserikat bagi buruh di Indonesia hampir tidak pernah terjadi. Yang ada cuma kebebasan untuk membentuk serikat. Masih banyak kasus yang menunjukkan pembungkaman terhadap serikat pekerja.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Kebebasan Berserikat Jalan di Tempat
Hukumonline

 

Bukan Sekadar Membentuk

Lebih jauh Dela khawatir jika kebebasan berserikat hanya dipandang sebagai kebebasan untuk membentuk sebuah serikat pekerja. Karena jika pandangan itu yang digunakan, tentu saja kondisi ''kebebasan berserikat" saat ini sudah jauh lebih baik dari jaman terdahulu.

 

Fauzi Abdullah dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Bogor pernah mencatat, sejak reformasi bergulir hingga saat ini, ratusan serikat pekerja dan puluhan federasi serikat pekerja telah berdiri. Menurut dia, setidaknya hingga 2007, jumlah federasi serikat pekerja sudah terbentuk hingga mencapai 87. Suatu jumlah yang fenomenal jika dibanding dengan keberadaan serikat pekerja di era kepemimpinan presiden Soeharto.

 

Meski secara kuantitas mengalami peningkatan, keberadaan serikat pekerja secara kualitas ternyata tidak terlalu signifikan. Bisa jadi, ada beberapa alasan yang mempengaruhi terjadinya hal itu, antara lain tidak adanya peningkatan kualitas serikat pekerja untuk menjadi kelompok penekan (pressure group).

 

Untuk menjadi grup penekan, solidaritas dan kebersamaan di antara maupun antar serikat pekerja adalah prasyarat mutlak. Faktanya, banyak serikat pekerja yang kedodoran dan tidak mampu melaksanakan fungsi pengorganisasian lantaran terlalu disibukkan dengan aktifitas lain. Salah satunya misalnya adalah kesibukan serikat pekerja menjadi kuasa hukum di Pengadilan Hubungan Industrial.

 

Pada satu kesempatan, Jamalludin, Sekretaris Wilayah KASBI Jawa Timur sempat mengakui hal ini. Ia menuturkan bagaimana waktunya banyak tersita untuk tetek-bengek berurusan di pengadilan yang acap kali tidak berpihak pada buruh. Sehingga akhirnya sering seorang aktivis serikat buruh lupa pada fungsi dan peran utamanya, yaitu mengorganisir buruh, demikian Jamalludin.

 

Anti Union

Selain dikondisikan untuk tidak mengorganisir basis massanya, aktivis serikat buruh juga kerap mendapat hambatan lain. Salah satunya tentu datang dari pihak pengusaha. Dengan berbagai dalih, pengusaha bisa saja menjatuhkan sanksi -bahkan hingga PHK- untuk menghilangkan kerikil penghadang.

 

Terkait dengan hal ini, TURC pernah menangani beberapa kasus yang ditengarai sarat dengan kepentingan untuk menyingkirkan kebebasan berserikat. Hampir sebagian besar kasus yang ditangani TURC memiliki pola yang sama, yakni PHK atau mutasi terhadap "pentolan" serikat pekerja.

 

Sebut saja misalnya kasus PHK PT. Bridgestone Tyre Indonesia terhadap Machmud Permana dkk. Machmud dan ketiga rekannya adalah pengurus serikat pekerja di perusahaan itu. Mereka dipecat setalah mempertanyakan kenaikan upah pada tahun 2002 seperti yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama.

 

Atau perkara Bambang Wisudo, wartawan harian Kompas yang dipecat karena dianggap melakukan tindakan indisipliner lantaran tidak bersedia dimutasi ke Ambon. Bambang adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang sempat mempertanyakan kepemilikan saham kolektif karyawan sebesar 20 persen.

 

Masih dengan kedok mutasi, simak juga pengalaman TURC yang pernah mendampingi SP Safari Garden Hotel. Saat para pengurus SP Safari Garden Hotel ini mengenalkan diri ke manajemen, tak lama kemudian muncul surat dari manajemen yang memutasi para pengurus itu ke Taman Safari Bogor.

 

Kasus anti union teranyar yang tercatat oleh hukumonline adalah kasus PHK terhadap Mirisnu Viddiana. Ia adalah Ketua Serikat Pegawai Bank Mandiri. Ia dipecat karena dianggap bertanggung jawab atas aksi unjuk rasa ribuan pegawai bank pelat merah di hari libur. Tragisnya, PHI Jakarta melegalkan PHK ini.

 

Kriminalisasi terhadap Buruh

Rangkaian tindakan untuk membungkam kebebasan berserikat tidak melulu lewat mutasi atau PHK. Tak jarang juga upaya mengkriminalisasi buruh -terutama pengurus SP- dilakukan perusahaan untuk meredam kekritisan pekerja.

 

Dalam perkara kriminalisasi terhadap buruh ini, TURC mencatat adanya kriminalisasi terhadap Ketua SP KAHUTINDO -SP yang menaungi para pekerja perkayuan dan perhutanan- Robin Kimbi. Robin dianggap melakukan pidana pengrusakan pagar perusahaan pada saat mereka melakukan mogok kerja.

 

Upaya perusahaan untuk mengkriminalisasi para pengurus serikat buruh pun tampaknya dilakukan dengan segala cara. Bahkan termasuk dengan menggunakan pasal karet di KUHP seperti penghinaan, pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Pengalaman ini pernah menimpa pengurus serikat buruh PT Busana Prima Global. Mereka dituduh melakukan penghinaan terhadap perusahaan karena telah berkirim surat kepada buyer tentang keluhan mereka.

 

Karen Curtis dari Komite Kebebasan Berserikat ILO mengakui kalau dalam 10 tahun terakhir, keluhan yang paling banyak muncul adalah dari kriminalisasi atau penangkapan dan penahanan terhadap aktivis buruh. Ini terjadi hampir di seluruh dunia, kata Karen di sebuah diskusi yang diselenggarakan ILO Jakarta, akhir pekan lalu.

 

Mengenai penggunaan pasal karet dalam mengkriminalisasi buruh, sambung Karen, tidak hanya terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, di Korea juga banyak buruh yang ditangkap karena melanggar pasal "menghalang-halangi" bisnis. Terhadap penggunaan pasal-pasal karet itu, ILO sendiri tidak punya komentar. Karena ini adalah persoalan hukum dan polisi berwenang menegakkan hukum. Kalau masalahnya ada di hukum itu, silakan dibenahi lewat proses legislasi.

 

Meski begitu, menurut Karen, ILO memiliki beberapa prinsip dasar mengenai keterlibatan polisi ddalam perkarra perburuhann. Menurutnya, penangkapan terhadap serikat buruh dapat berdampak serius terhadap kebebasan berserikat.

Pandangan bahwa kebebasan berserikat bagi buruh masih memprihatinkan datang dari Dela Feby. Koordinator Divisi Advokasi Trade Union Right Centre (TURC, Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Serikat Buruh) ini mengungkapkan fakta dimana kebebasan berserikat bagi buruh tidak pernah terjadi di Indonesia. Kalau kebebasan untuk membentuk serikat memang ada. Tapi kalau kebebasan berserikat, tidak ada tuh, ucap Dela kepada hukumonline, Senin (1/9).

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, tidak ada satu pun ketentuan nasional maupun internasional yang menjelaskan secara definitif tentang pengertian dari kebebasan berserikat. Konvensi ILO No 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998, juga tidak mengatur hal itu.

 

Pada bagian mukadimah ratifikasi Konvensi ILO itu hanya disebutkan mengenai "pengakuan atas prinsip kebebasan berserikat" sebagai alat untuk meningkatkan kondisi pekerja dan menciptakan ketenangan.

 

Demikian pula dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Peraturan ini juga tidak mendefinisikan secara tegas mengenai apa itu kebebasan berserikat. Alhasil, jangan heran jika pengusaha -dan bahkan akademisi sekalipun- mengartikan kebebasan berserikat hanya sebagai kebebasan untuk membentuk sebuah serikat pekerja.

Tags: