Menggugat Angka Kemiskinan versi Pemerintah
Berita

Menggugat Angka Kemiskinan versi Pemerintah

Kriteria yang dipakai BPS dalam mensurvey angka kemiskinan dinilai tidak valid dan penuh rekayasa. Jika hasil survey BPS tetap dipertahankan, dikhawatirkan kebijakan pemerintah terkait dengan pengentasan kemiskinan tidak akan tepat sasaran.

Oleh:
IHW/M-5
Bacaan 2 Menit
Menggugat Angka Kemiskinan versi Pemerintah
Hukumonline

 

"Sesat pikir" BPS dalam mensurvey jumlah rakyat miskin di Indonesia, lanjut Habiburakhman, berasal dari kriteria yang digunakan. BPS menggunakan 14 kriteria untuk menentukan miskin atau tidaknya rakyat.

 

Kriteria Keluarga Miskin versi BPS

  1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
  2. Jenis lantai tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu murahan
  3. Jenis dinding terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester
  4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain
  5. Sumber penerangan rumah tidak menggunakan listrik
  6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan
  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah
  8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu
  9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam setahun
  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesma/poliklinik
  12. sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600 ribu per bulan
  13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
  14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp500 ribu, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

 

Dengan mengacu pada data BPS ini, maka Presiden SBY berani sesumbar di DPR dengan menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia hanya 15,4 persen. Sepertinya, BPS hanya ingin sekedar menyenangkan tuannya, yaitu pemerintahan Presiden SBY-Wapres JK, timpal Marlo Sitompul.

 

Lebih jauh Marlo menilai parameter yang digunakan BPS terkesan tidak valid dan mengada-ada. Ia mencontohkan mengenai minyak tanah sebagai bahan bakar. Dalam kondisi seperti saat ini, mana ada yang memakai minyak tanah? Rakyat dipaksa untuk memakai gas. Belum lagi masalah kelangkaan minyak tanah.

 

Angka kemiskinan yang dirilis BPS ini, lanjut Habiburakhman, amat jauh selisihnya jika dibandingkan data yang dimiliki Bank Dunia. Dengan kriteria kemiskinan dimana pendapatan perharinya paling banyak hanya AS$2, Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5 persen. Hampir separuh dari seluruh rakyat Indonesia.

 

Melanggar hukum

Bagi Habiburakhman, tindakan BPS yang telah ‘memanipulasi' data jumlah rakyat miskin, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Salah satu bentuk perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar norma kepatutan. Dalam ilmu statistik, norma kejujuran tetap harus dipatuhi. Kami melihat kalau tergugat telah melanggar norma ini sebagai suatu kepatutan. Sehingga menurut kami tergugat sudah terbukti melanggar hukum.

 

Tindakan BPS yang itu, bukannya tidak beresiko. Menurut Habiburakhman, angka statistik kependudukan sangat penting artinya bagi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan berbagai kegiatan pembangunan. Penentuan kriteria dan data jumlah rakyat yang miskin juga penting bagi pemenuhan hak rakyat miskin dan keberhasilan program pengentasan kemiskinan.

 

Jika pemerintah tetap bergeming dan lebih memilih mengacu pada data BPS, Habiburakhman khawatir puluhan juta rakyat miskin akan semakin nelangsa. Betapa tidak. Selisih jumlah rakyat miskin yang tidak terhitung BPS, hampir dipastikan tidak akan mendapat program pengaman sosial. Seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), PNPM Mandiri, Program Bantuan dan Perlindungan Sosial meliputi Raskin, BOS, Jamkesmas dan BLT.

 

Menilai telah terjadi perbuatan melawan hukum dan mengakibatkan kerugian kepada rakyat miskin, Marlo Sitompul menuntut pemerintah. Tuntutannya tidak macam-macam. Tidak ada ganti rugi di dalam gugatan. Juga tidak ada sita-menyita. Ia hanya meminta agar BPS mengubah kriteria keluarga miskin.

 

Kami hanya menuntut agar kriteria keluarga miskin diubah menjadi lima hal, yaitu keluarga yang: Tidak bisa memenuhi kebutuhan makanan yang sehat, pakaian yang layak, tempat tinggal yang sehat, pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan hingga setidak-tidaknya sampai jenjang SMA, papar Habiburakhman.

 

Selintas, tuntutan penggugat tentang kriteria keluarga miskin terlihat lebih abstrak ketimbang kriteria BPS. Namun Habiburakhman buru-buru menepisnya. Kriteria milik tergugat memang lebih detil. Tapi tidak disusun berdasarkan kebutuhan dasar rakyat. Kalau tergugat mau membuat yang lebih detil dari kriteria yang kami sodorkan, tidak akan menjadi masalah.

 

Hingga berita ini diturunkan, hukumonline tidak berhasil mendapat tanggapan dari BPS. Hanya saja berdasarkan dokumen berita resmi statistik, BPS menekankan kalau sensusnya dibuat sebelum terjadi kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.

 

BPS menandaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan penduduk miskin. Salah satunya adalah karena stabilnya angka inflasi umum yang ditunjang dengan menurunnya harga beras sejak Maret 2007 hingga Maret 2008. Selain itu, meningkatnya rata-rata upah riil harian buruh tani dan berkurangnya jumlah pengangguran disebut menjadi pemicu turunnya angka kemiskinan.

 

Benarkah angka kemiskinan berkurang? Validkah kriteria yang dibuat BPS? Kita lihat saja pembuktiannya di Pengadilan. Yang pasti beberapa waktu lalu, banyak joke yang beredar. Kemiskinan di Indonesia sudah menurun. Maksudnya, menurun ke anak-cucu.

Pidato resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Agustus lalu yang menyatakan tingkat kemiskinan di Indonesia telah menurun, berbuntut. Sebagian besar elemen masyarakat bereaksi dengan pernyataan Presiden. Ada yang melakukan unjuk rasa, ada juga yang memilih menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan.

 

Adalah Marlo Sitompul, Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) yang mengambil pilihan menggugat. Melalui advokat dari Serikat Pengacara Rakyat (SPR), Marlo menggugat Presiden RI c.q Kepala Badan Pusat Statitik (BPS). Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (8/9).

 

Dalam gugatannya, Marlo memang berkutat pada pidato Presiden yang menyatakan menurunnya angka kemiskinan. Seperti diketahui, di hadapan DPR pada Sidang Paripurna medio Agustus lalu, Presiden menunjukkan tingkat kemiskinan menurun dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada Maret 2008.

 

Pidato Presiden SBY itu seolah menggambarkan keberhasilan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, jelas Habiburakhman, salah seoarang kuasa hukum Marlo.

 

Menurut Habiburakhman, belakangan diketahui kalau pidato Presiden terkait dengan penurunan angka kemiskinan itu bersumber dari data BPS yang dirilis pada Juli 2008 lalu. Saat itu BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2008, turun 2,21 juta jiwa. Dari semula 34,96 juta jiwa menjadi 37,17 juta jiwa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: