Masalah Gangguan Lingkungan Sebagai Ekses Pembangunan Proyek
Oleh: Wyndra Yustham, SH., MH.

Masalah Gangguan Lingkungan Sebagai Ekses Pembangunan Proyek

Masyarakat harus sadar dan berinisiatif mengawasi pembangunan proyek karena Undang-Undang memberikan hak gugat kepada masyarat atas pembangunan konstruksi.

Bacaan 2 Menit
Masalah Gangguan Lingkungan Sebagai Ekses Pembangunan Proyek
Hukumonline

 

 

III.      Pembahasan.

1.  Hak Masyarakat dan Pekerjaan Pembangunan.

Menikmati suasana lingkungan yang layak, teratur, baik, aman dan tenang merupakan hak setiap orang. Dari aspek legalitas-formal hal tersebut merupakan amanat Pasal 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman serta Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada sisi yang lain, setiap orang/badan yang berkepentingan juga diberi wewenang membangun rumah/perumahan di lingkungan tertentu sekalipun bisa berdampak pada masalah kenyamanan/ketenangan lingkungan, sesuai syarat-syarat yang ditentukan, demikian ditegaskan Pasal 6 ayat (1) dan 7 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992.

 

Kedua kepentingan di atas memunculkan satu kekhawatiran: friksi atau pertentangan antara hak untuk hidup di lingkungan yang aman, tenteram dan aman di satu pihak, dengan hak untuk  mendirikan dan membangun rumah/perumahan di pihak lain, yang menimbulkan ekses kebisingan/kegaduhan. Memang, Pasal 29 dan Pasal 38 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah memberi peluang bagi masyarakat yang dirugikan atas kegiatan pekerjaan konstruksi untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Namun regulasi tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah. Kebutuhan dan tuntutan untuk hidup aman dan tentram bagi masyarakat adalah hal yang mendesak karena sehari-hari mereka tinggal di lingkungan dimana lokasi proyek tersebut menimbulkan kebisingan/kegaduhan, padahal untuk mendapatkan hak melalui gugatan memerlukan waktu yang panjang, setidaknya 6 bulan untuk tingkat pengadilan negeri (tingkat pertama). Itu pun masih harus menunggu putusan pengadilan yang lebih tinggi bahkan hingga Mahkamah Agung, apabila putusan tingkat pertama kontraktor tidak mengajukan upaya hukum apabila dituntut menghentikan atau membatasi pekerjaan pembangunan. Bisa dibayangkan, putusan belum keluar, pekerjaan proyek sudah selesai sehingga masyarakat benar-benar terganggu menjalani kehidupannya sehari-hari.

 

2.  Undang-Undang Gangguan.

Kita ketahui bersama bahwa salah satu syarat sebelum dimulainya pekerjaan pembangunan adalah izin gangguan (hinder ordonanntie) sesuai peraturan Staatsblad 1926 No. 226. Inilah dasar hukum kewenangan pemerintah daerah setempat memberikan izin gangguan bagi pihak-pihak yang akan melakukan usaha dan pekerjaan, demikian intisari Pasal 1 ayat (3). Apakah pemerintah dapat menolak pengajuan izin tersebut? Pasal 6 ayat (1) memberi wewenang pemerintah untuk menolak pengajuan dimaksud. Apakah penerbitan izin gangguan melibatkan persetujuan masyarakat lingkungan? Adalah hak masyarakat untuk mengetahui, menilai bahkan menyatakan keberatan atas diterbitkannya izin gangguan, demikian ditegaskan Pasal 5 ayat (2), (3) dan (4).

 

3.  Celah-celah Izin Gangguan Dalam Praktek

a.  Persetujuan Masyarakat.

Bagaimana berlakunya undang-undang gangguan saat ini dan relevansinya dengan eksistensi hak masyarakat, dapat kita tinjau dengan merujuk pada situs resmi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (http://www.jakarta.go.id) dan Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan (http://selatan.jakarta.go.id). Salah satu syarat untuk bisa mendapatkan izin gangguan adalah adanya surat persetujuan tetangga/masyarakat yang berdekatan, dan diketahui oleh RT/RW, berikut bagan alir proses produksi dilengkapi dengan daftar buku, bagan penolong dan bagan alir, pengolahan limbah. Terlihat bahwa informasi diperlukannya persetujuan ini konsisten dengan instruksi UU Gangguan di atas.

 

Namun fakta empiris sering menunjukkan bahwa masyarakat di lingkungan proyek tidak mengetahui secara resmi peruntukkan proyek sebelum berjalan, apalagi haknya dalam memberikan persetujuan/pendapat. Di sini menunjukkan bahwa sosialisasi dari RT/RW bersama wakil pelaksana kontraktor dengan masyarakat mengenai peruntukkan proyek serta syarat adanya persetujuan dari masyarakat tersebut tidak optimal atau bahkan tidak dilaksanakan. Siasat lain dapat terjadi oknum kontraktor bermain mata dengan oknum RT/RW dengan membuat persetujuan hanya dari 1-2 orang yang dipilih untuk sekedar formalitas agar jadwal pelaksanaan proyek segera berlangsung.

 

b.  Jam Kerja.

Diabaikannya persetujuan masyarakat tersebut bukan satu-satunya cara oknum terkait mengakali hak masyarakat. Oknum tersebut secara sepihak dapat melaksanakan pekerjaan hingga malam bahkan berlangsung 24 jam, padahal jam kerja yang diizinkan terbatas pada jam-jam tertentu. Motif terbesar adalah sistem kejar tayang, dengan coba-coba melanjutkan pekerjaan melampaui batas waktu kerja. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan keawaman dan ketidaktauan masyarakat mengenai adanya pembatasan jam kerja yang tertuang didalam peraturan terkait.  

 

Secara legal-formal, pekerjaan pembangunan yang telah memperoleh izin gangguan tadi diberikan Izin Mendirikan Bangunan/IMB. Diantara peraturan yang menyangkut IMB, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta pernah menerbitkan Keputusan Gubernur DKI No. 1068 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Kegiatan Membangun dan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 76 Tahun 2000 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan, Izin Penggunaan Bangunan, dan Kelayakan Menggunakan Bangunan Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 72 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan Membangun Di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

 

Dari ketiga regulasi di atas, ketentuan terakhir secara jelas mengatur pembatasan jam kerja yang diizinkan. Pasal 6 ayat (1) Keputusan Gubernur DKI No. 72 Tahun 2002 berbunyi:

 

Waktu pelaksanaan kegiatan membangun hanya diperkenankan mulai pukul 6.00 hingga 18.00.

 

Sedangkan apabila pekerjaan melampaui jadwal tersebut diwajibkan melapor kepada Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan, demikian bunyi ayat (2) Pasal tersebut.

 

Adanya pembatasan jam kerja inilah yang harus dicermati secara seksama oleh masyarakat sehingga terhadap pekerjaan pembangunan rumah/perumahan yang berlangsung malam hari seharusnya dipertanyakan izin dan urgensinya, baik kepada Ketua RT/RW, pelaksana pekerjaan (kontraktor) maupun pejabat pemerintah setempat (Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan).

 

 

IV. Kesimpulan.

Masyarakat dan pihak pelaksana proyek pembangunan memiliki kewajiban untuk saling menghormati haknya. Beragam celah dapat dilakukan oleh oknum di lapangan dengan memanfaatkan keawaman dan ketidaktahuan masyarakat atas hak-haknya untuk menikmati lingkungan yang nyaman dan tenang demi terlaksananya pekerjaan pembangunan secepat dan seefisien mungkin. Untuk menghindari ongkos sosial yang mungkin timbul sebagai ekses pekerjaan pembangunan, setiap pelaksana pembangunan harus melaksanakan pekerjaan sesuai izin yang diterbitkan pemerintah setempat. Diperlukan kesadaran dan inisiatif masyarakat secara kolektif untuk mencermati proses pekerjaan pembangunan dengan memberdayakan peran RT/RW sehingga hak masyarakat dapat dinikmati bersama.

 

 

---------------------

*) Penulis adalah pengamat dan praktisi hukum, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini berusaha menguraikan beberapa aspek hukum pembangunan proyek dikaitkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya.

 

I.   Pendahuluan.

Satu hal yang patut disyukuri bersama adalah bahwa sekalipun negara ini didera krisis energi listrik, kita masih bisa menyaksikan begitu banyaknya proyek properti bermunculan dan tengah dibangun, baik swasta maupun pemerintah. Baik berupa mal, perkantoran, apartemen, rusunami/ rusunawa, maupun perumahan individu. Bersyukur karena realitas tersebut di satu sisi merupakan salah satu indikasi pergerakan aktivitas ekonomi dan distribusi kekayaan yang terus berlangsung: kuatnya daya beli masyarakat, tersedianya lapangan kerja bagi pekerja/buruh musiman, tingginya ekspansi kredit perbankan serta perdagangan bahan-bahan bangunan.

 

Pada sisi lain, patut kita cermati pula bahwa pembangunan proyek properti tidak jarang menimbulkan ongkos sosial, yaitu konflik dan perselisihan antara masyarakat di lingkungan proyek dengan kontraktor pelaksana/pimpinan proyek. Masyarakat merasa pembangunan proyek telah meresahkan dan mengganggu kenyamanan atau ketenangan lingkungan karena berlangsung hingga malam hari alias 24 jam terus-menerus. Bahkan menyebabkan kerusakan rumah/bangunan akibat kerasnya getaran tiang/fondasi proyek. Sementara pihak kontraktor bersikukuh melanjutkan pembangunan karena sudah mengantongi izin-izin dari instansi terkait.

 

Ambil beberapa contoh permasalahan tersebut. Tentunya kita masih ingat konflik antara warga RW 14 Kelapa Gading dengan PT Budi Griya Permai dan PT Sunter Agung atas pembangunan apartemen Gading Mediterania Residences, dan antara warga RW 06 Kelapa Gading dengan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI dan Gubernur Sutiyoso atas alih fungsi fasilitas sosial menjadi lahan komersial sportmal (Warta Kota, 9 Juli 2002 : Apartemen Gading Mediterania Salahi Peruntukkan, & Warta Kota, 6 September 2002 : Warga Kelapa Gading Somasi BPLHD DKI). Atau musibah yang menimpa Ramses Pasaribu, pengacara yang meninggal beberapa saat setelah tertimpa reruntuhan dinding pilar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 24 Juli 2008. Beberapa kalangan menduga runtuhnya dinding pilar tersebut merupakan akibat tidak langsung kerasnya getaran pemasangan tiang-tiang atau fondasi bangunan yang tengah dibangun disebelah gedung Pengadlan Negeri tersebut. Satu pengalaman diceritakan kerabat Penulis mengenai perseteruan antara penghuni rumah sewa miliknya di seputar Kebayoran Baru, Jakarta, dengan kontraktor proyek yang membangun rumah tinggal di sebelahnya, sekitar 2 bulan silam, karena gangguan akibat kegiatan proyek yang berlangsung hingga pukul 22.00, padahal lokasi proyek berada didalam kawasan hunian. Pada akhirnya penghuni meminta bantuan satuan polisi khusus. Beruntung, penghuni adalah seorang ekspatriat dan menjadi atase militer kedutaan asing sehingga mempunyai akses darurat dengan pihak kepolisian. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila penghuni dan kontraktor sama-sama ngotot, kemungkinan yang teradi adalah keributan bahkan tindak kekerasan.

 

 

 

 

II.  Permasalahan.

Lalu bagaimana perangkat hukum mengatur kegiatan pembangunan proyek yang berdampak pada gangguan terhadap lingkungan dan bagaimana agar jaminan kenyamanan masyarakat dapat senantiasa berlangsung dengan tetap mendukung kegiatan pembangunan proyek?  

Halaman Selanjutnya:
Tags: