RKUHAP Harus Mampu Tangkal Terjadinya Salah Tangkap
Berita

RKUHAP Harus Mampu Tangkal Terjadinya Salah Tangkap

Munculnya ketentuan tentang hakim komisaris, keterlibatan jaksa penuntut sejak awal proses penyidikan, pembatasan masa penahanan, dan diperluasnya lingkup alat bukti diyakini akan mampu mengeliminir kesalahan serupa.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
RKUHAP Harus Mampu Tangkal Terjadinya Salah Tangkap
Hukumonline

 

Berdasarkan fungsinya masing-masing, kekeliruan dari tahap penyelidikan oleh polisi seharusnya dapat segera diidentifikasi oleh penyidikan. Begitu pula ketika kasus telah masuk persidangan. Hakim, lanjut Hasril, seharusnya memainkan peran aktif menggali kebenaran materiil. Dalam kasus salah tangkap, penyebabnya adalah prosedur serta mekanisme check and balances itu tidak jalan, tambahnya.

 

Senada, Taufik Basari juga berpendapat penyimpangan dalam hukum acara pidana seperti salah tangkap bersumber pada lemahnya substansi serta implementasi KUHAP. Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat ini diantaranya menyoroti ketentuan KUHAP tentang hak tersangka perkara pidana tertentu untuk didampingi penasehat hukum. Ketentuan ini dipandang masih lemah implementasi. Aparat penegak hukum seringkali tidak memberikan informasi yang cukup seputar hak-hak seorang tersangka. Akibatnya, para tersangka pun tidak menyadari adanya hak untuk didampingi penasehat hukum.

 

Ironisnya lagi, menurut Taufik, para korban penyelewengan KUHAP berasal dari masyarakat kecil. Dengan keterbatasan pengetahuannya, mereka sangat awam atas hak-hak yang diberikan oleh hukum. Belum lagi, karena tidak memiliki cukup uang, mereka tentunya tidak mampu membayar seorang penasehat hukum. Posisi lemah ini, menurut Taufik, kerap kali dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum.

 

Karena tidak didampingi, aparat jadi leluasa memaksa tersangka untuk mengakui tindak pidana yang belum tentu benar ia lakukan, kata Taufik. Konon, aparat cenderung memilih untuk mengejar pengakuan tersangka dengan cara apapun, sehingga kasusnya cepat selesai. Semakin cepat selesai maka semakin sedikit energi yang terbuang, dan bahkan kecepatan menangani kasus bisa menuai penghargaan.

 

Dengan harapan kesalahan yang sama tidak terulang lagi, maka Taufik memandang Rancangan KUHAP (RKUHAP) harus didesain untuk menangkal potensi itu. Ini tantangan besar buat RKUHAP, momen tepat bagi perumus RKUHAP untuk belajat dari pengalaman, ujarnya. Sejauh ini, Taufik melihat naskah RKUHAP sudah cukup menunjukkan itikad ke arah perbaikan. Munculnya ketentuan tentang hakim komisaris, keterlibatan jaksa penuntut sejak awal proses penyidikan, pembatasan masa penahanan, dan diperluasnya lingkup alat bukti diyakini akan mampu mengeliminir kesalahan serupa.

 

Sementara, Hasril berharap RKUHAP mencermati hak-hak tersangka atau terdakwa yang menjadi korban penyimpangan hukum acara pidana. Tidak seperti yang berlaku sekarang, menurut Hasril, RKUHAP harus merancang prosedur pemenuhan kompensasi dan ganti kerugian yang tidak rumit. Hak mereka bahkan tidak berhenti hanya pada persoalan materi. Para tersangka atau terdakwa korban penyimpangan KUHAP, lanjutnya, juga berhak atas keadilan.

 

Mereka (para korban, red.) berhak untuk mengetahui bahwa aparat yang melakukan penyimpangan juga dikenai sanksi atas kesalahannya, ujar Hasril. Makanya, ia berharap RKUHAP juga memuat ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap aparat yang menyimpang dari KUHAP.

Korps kepolisian tengah menjadi sorotan masyarakat. Peristiwa salah identifikasi identitas korban pembunuhan yang diduga dilakukan Very Idham Henyansyah alias Ryan menjadi pangkal masalahnya. Korban yang diidentifikasi bernama Asrori itu ternyata terlebih dahulu diidentifikasi untuk kasus pembunuhan lain, dimana dua dari tiga tersangkanya sudah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jombang.

 

Rabu kemarin (17/9), Mabes Polri telah mengklarifikasi bahwa berdasarkan tes DNA, Asrori sebenarnya adalah korban pembunuhan Ryan. Sementara, untuk kasus pembunuhan yang satu lagi, korbannya ternyata bernama Fauzin. Klarifikasi yang disampaikan Kadiv Humas Mabes Polri Abubakar Nataprawira bukan berarti masalahnya selesai. Masalah utamanya justru baru dimulai, yakni bagaimana nasib David Eko Priyanto dan Imam Hambali alias Kemat yang divonis penjara atas kasus yang salah.

 

Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto mengatakan korban salah tangkap seperti Kemat cs sepatutnya berhak atas ganti kerugian dan rehabilitasi. Dua hal ini, sebenarnya bukan hal baru dalam ranah hukum acara pidana. UU No. 8 Tahun 1981 yang lazimnya disebut KUHAP, memuat aturan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi, baik itu dalam bab khusus maupun dalam sub bab pemeriksaan pra peradilan.

 

Namun, pengaturan dalam KUHAP dirasa belum cukup. KUHAP memang mengatur tetapi tata cara dan prosedurnya rumit dan lama, tukas Hasril. Ia tidak hanya menyoroti prosedur yang rumit, tetapi juga nilai ganti kerugiannya yang minim. Untuk perkara yang dihentikan penyidikan atau penuntutan, ganti kerugiannya hanya Rp5 ribu hingga Rp1 juta. Mirisnya lagi, jika seseorang ditahan atau ditangkap secara tidak sah, hanya diberi ganti kerugian maksimal Rp3 juta.

 

Lemah dalam hal ganti rugi, tetapi Hasril mengakui bahwa KUHAP sebenarnya bisa menangkal terjadinya salah tangkap seperti dalam kasus Asrori. Syaratnya, cukup dengan patuh pada prosedur serta tahapan acara pidana yang diatur dalam KUHAP. Menurut Hasril, KUHAP menganut sistem diferensiasi fungsional, dimana masing-masing instansi penegak hukum sudah dipertegas fungsinya masing-masing. Sistem inilah yang pada akhirnya menciptakan sistem check and balances.

Tags: