Menghormati Mobil Ambulance di Jalan Raya
Budaya Berlalu Lintas:

Menghormati Mobil Ambulance di Jalan Raya

Insiden tabrakan mobil ambulance dengan mobil pribadi berbuntut ke meja hijau. Pelajaran penting demi kepatuhan masyarakat berlalu lintas

Oleh:
Mys/M-4
Bacaan 2 Menit
Menghormati Mobil Ambulance di Jalan Raya
Hukumonline

 

Jalur kiri pada ruas tol yang dipergunakan sebagai jalur darurat mestinya steril. Jalur tersebut terutama dipergunakan untuk mobil bantuan darurat seperti pemadam kebakaran dan ambulance. Tubagus meminta polisi menindak pengendara yang seenaknya menggunakan jalur darurat, apalagi kalau sampai menghalangi kendaraan yang menurut hukum harus diprioritaskan.

 

Kepala Subdirektorat Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa Lalu Lintas (Subdit Dikyasa) Polda Metro Jaya AKBP Chrisnanda DL sependapat dengan Tubagus tentang pentingnya membangun kesadaran pengendara. Kesadaran akan melahirkan pengertian dan kepatuhan hukum berlalu lintas. Cuma, acapkali pelanggaran terjadi di jalanan karena pengendara menganggap itu sudah biasa. Pelanggaran seringkali dilakukan karena dianggap lumrah oleh pelanggar, ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon.

 

Sekarang, kata Chrisnanda, dengan punya uang untuk membeli kendaraan banyak pengendara menuntut hak di jalanan, tetapi acapkali melupakan kewajiban. Seolah-olah kewajiban itu hanya untuk kepentingan polisi. Helm, misalnya. Pengendara motor memakai helm karena takut ditilang polisi, bukan karena memikirkan keselamatan diri sendiri dan orang lain di jalanan. Sebagian besar pengendara dinilai Chrisnanda masih berada pada tahap takut, belum mencapai tahap sadar berlalu lintas.

 

Kasus tabrakan ke meja hijau

Sudah beberapa pekan, puluhan orang berkemeja putih memakai logo Emergency Ambulance Service di bagian tangan menyesaki salah satu ruang sidang PN Jakarta Selatan. Seperti pada sidang Senin (15/9) pekan lalu. Lantaran ruang sidang sempit, sebagian duduk-duduk di luar.  Kehadiran mereka bukan untuk melihat rekan kerja mereka duduk di kursi pesakitan, bukan pula tengah melayat petugas pengadilan.

 

Di dalam ruang sidang, di sebelah kiri majelis hakim, duduk Putri Rizki Indrasari. Berkemaja putih dan memakai celana jeans, Putri sesekali mencatatkan apa yang ia anggap penting di atas selembar kertas. Beberapa kali ia berbisik kepada penasihat hukumnya. Seminggu kemudian, Putri juga duduk di kursi yang sama. Perempuan cantik itu memang tengah menjadi terdakwa. Jaksa M. Nirwan mendakwa Putri melanggar pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

 

Kasus yang menyeret Putri ke pengadilan sempat menghiasi layar kaca, khususnya acara infoteinmen. Maklum, saat mengendarai mobil Putri tengah bersama Nuri Shaden, seorang penyanyi. Honda Jazz yang ditumpangi Putri dan Nuri bertabrakan dengan mobil ambulance di perempatan Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, tak jauh dari kompleks masjid Al Azhar. Peristiwa nahas itu terjadi pada 1 Juni silam, minggu pagi sekitar pukul 02.45 WIB.

 

Kalau saja kedua belah pihak saling memaafkan, urusannya mungkin tidak akan panjang. Sehari setelah kejadian, Nuri Shaden menggelar jumpa pers. Dari jumpa pers itu, keluarga pasien yang dibawa ambulance merasa si artis memojokkan pengendara ambulance. Melalui pengacara LBH Masyarakat, keluarga korban dan pengendara ambulance (Perkumpulan Pekerja Ambulance Gawat Darurat 118) mengadakan perlawanan. Walhasil, kasus tabrakan tersebut berlanjut ke jalur hukum. Kami meminta Nuri mencabut pernyataan pada konperensi pers karena banyak fakta yang tidak benar, ujar Taufik Basari, pengacara LBH Masyarakat, yang ikut mendampingi keluarga korban.

 

Keluarga korban? Ya. Tabrakan antara ambulance dengan Honda Jazz B 8631 MQ itu ternyata menimbulkan korban. Janu Utomo, pasien yang tengah berada di dalam ambulance ikut menjadi korban. Beberapa jam setelah tabrakan, pria 75 tahun itu meninggal dunia.

 

Krisanti Indriyani, anak perempuan korban, bercerita di depan majelis. Kala itu ayahnya mengeluh sesak nafas dan gangguan ginjal. Begitu sang ayah mengeluh, keluarga menghubungi ambulance gawat darurat untuk membawa pasien ke RS Pusat Pertamina. Di bagian belakang mobil ambulance Janu Utomo dibaringkan. Ia didampingi isterinya Nyonya Retno dan seorang perawat. Krisanti duduk di depan di samping pengemudi.

 

Dalam kesaksiannya, Krisanti mengakui bahwa pada saat di perempatan Al Azhar, ambulance menerobos lampu merah. Pengakuan itu juga diperkuat Yanuar, sopir ambulance, pada persidangan Senin lalu. Tetapi mobil ambulance sudah menyalakan sirene dan lampu darurat.

 

Mobil Honda Jazz yang dikemudikan Putri datang dari arah kanan. Karena lampu hijau, Honda Jazz terus bergerak. Sementara pada saat bersamaan, di jalur cepat Jalan Sisimangaraja mengarah ke RS Pusat Pertamina mobil ambulance tengah melaju. Akibatnya, tabrakan tak dapat dihindarkan. Beberapa jam setelah insiden itu, Janu Utomo meninggal dunia. Visum dokter menyatakan korban meninggal karena memar, tulang leher patah dan mulut mengeluarkan darah akibat benturan benda tumpul. Isterinya, nyonya Retno pun masih dirawat hingga pekan lalu.

 

Pengacara Putri sempat mencecar Krisanti dengan fasilitas safety riding di dalam ambulance. Apakah Krisanti memakai safetybelt? Apakah ‘usungan' Janu Utomo diikat kencang sehingga tidak bergerak bebas kalau terjadi benturan? Berapa kecepatan ambulance saat itu? Krisanti mengaku tidak memakai sabuk keselamatan. Untuk pertanyaan kedua dan ketiga, Krisanti tak tahu pasti. 

 

Dalam perspektif aturan berlalu lintas, menurut Tubagus Haryo K, ambulance yang mengangkut orang sakit mestinya mendapat prioritas. Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 sudah memberikan sinyal aturan tersendiri bagi mobil pengantar jenazah, ambulance pengangkut orang sakit, konvoi atau pawai orang cacat, atau pemadam kebakaran. UU Lalu Lintas ini mendesak aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

 

Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah menerbitkan PP No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Pasal 65 PP ini mengatur secara khusus hak utama penggunaan jalan untuk kelancaran lalu lintas. Disusun berdasarkan urutan prioritas, ambulance pengangkut orang sakit berada di nomor dua, setelah kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas. Prioritas ketiga dan seterusnya diikuti kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan kepala negara dan pemerintahan asing yang menjadi tamu negara, iring-iringan pengantar jenazah, konvoi atau kendaraan orang cacat, serta kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.

 

Kendaraan ambulance mendapat prioritas kedua dengan syarat harus dilengkapi isyarat dan tanda-tanda tertentu. Dalam kesaksiannya di depan persidangan, sopir ambulance yang mengangkut korban Januar Utomo, Yanuar, memastikan kondisi ambulance dalam keadaan laik jalan. Tanda-tanda ambulance juga masih berfungsi. Sesuai standar operasi, ambulance dibenarkan melewati lampu merah. Apalagi pada malam kejadian, pukul 02.45 itu jalanan di sekitar tempat kejadian perkara dalam kondisi lengang. Yanuar malah tak sempat melihat ada Honda Jazz datang dari sebelah kanan. Dalam hal ini, keterangan Yanuar berbeda dari kesaksian Krisanti, yang mengaku sempat melihat kedatangan mobil yang dibawa Putri.

 

Sidang atas perkara tabrakan ambulance dan Honda Jazz ini masih terus berlanjut. Hingga tahap kesaksian belum jelas benar siapa yang salah, siapa yang benar. Tentu saja, keputusan akhir ada di tangan majelis hakim pimpinan Edy Risdianto. Apapun hasilnya nanti, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi siapa saja yang sehari-hari menggunakan jalan raya. Jangan pernah menganggap bahwa jalanan adalah milik kita sendiri. Kita menggunakan jalan raya berbagi dengan orang lain.

 

Esensi itu pula yang dirisaukan oleh AKBP Chrisnanda DL. Kalau sudah di jalanan, apalagi ngutak-atik HP atau asyik ngobrol, pengendara acapkali mengabaikan keselamatan. Bahkan cuek terhadap pengendara lain di belakangnya. Kepekaan terhadap orang lain itu yang tidak ada pada masyarakat, tandas Kasubdit Dikyasa Polda Metro Jaya itu.

 

Sirene ambulance Citra Bhayangkara membelah kemacetan jalan tol Wiyoto Wiyono dari arah Tanjungpriok. Di kilometer 02, tak jauh dari kampus Trisakti, gerak ambulance terhenti. Mobil kijang yang berada di depan tak membei jalan. Sopir mobil kijang terlihat acuh dan lebih asyik memainkan jemarinya di atas telepon genggam. Ia ber-sms ria, seolah tak ada mobil ambulance yang harus diberi ruang.

 

Pemandangan Kamis (18/9) malam pekan lalu itu seperti menggambarkan prilaku sebagian pengendara di jalanan. Lantaran asyik memainkan hape, pengendara cuek bebek atau tak peduli pada kendaraan di belakangnya. Tidak peduli apakah kendaraan di belakangnya layak didahulukan karena pertimbangan darurat.  Kalau sudah macet, jalur kiri jalan tol yang mestinya untuk darurat pun acapkali diserobot.

 

Kasus semacam itu sebenarnya sungguh memprihatinkan. Anggota Dewan Transportasi Jakarta Tubagus Haryo K melihat pelanggaran terhadap aturan berlalu lintas –seperti memainkan HP selagi menyetir, atau menghalangi jalur ambulance-- banyak dipengaruhi kesadaran pengendara. Kita kembalikan kepada kesadaran, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: