Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1)
Berita

Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1)

Perma No. 1 Tahun 2008 mengecualikan perkara hubungan industrial yang dapat dimediasi terlebih dahulu. Tetapi, sebelum berlabuh ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), para pihak tetap harus menempuh upaya perdamaian terlebih dulu.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1)
Hukumonline

 

Seperti diketahui, rezim hukum perburuhan membagi jenis perselisihan hubungan industrial ke dalam empat kategori, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.

 

Perselisihan hak diartikan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja (PK), perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perusahaan (PP).

 

Sementara perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang muncul dalam hubungan kerja akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam PK, PKB atau PP.

 

Perselisihan PHK timbul manakala terjadi silang pendapat antara pekerja maupun pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

 

Jenis perselisihan lain adalah perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Perselisihan ini muncul manakala terjadi kesalahpahaman mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

 

Mediasi

Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 16 UU PPHI. Mediasi dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Kadang menggunakan nomenklatur sukudinas ketenagakerjaan (sudinaker).

 

Mengenai ruang lingkup perselisihan, mediasi tergolong sebagai lembaga alternatif yang lebih istimewa ketimbang konsiliasi dan arbitrase. Betapa tidak. Dari empat jenis perselisihan hubungan industrial, tidak ada satu pun yang lepas dari jangkauan ruang lingkup mediasi.

 

Keistimewaan lain mediasi terlihat dari bunyi Pasal 4 Ayat (4). Pasal itu merumuskan, dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu tujuh hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.  Artinya, tanpa susah payah, mediator pasti akan kebagian mengurusi kasus perselisihan hubungan industrial.

 

Dalam menjalankan tugasnya, mediator harus mengupayakan agar tercapai kesepakatan di antara pihak yang bertikai. Jika terwujud, maka kesepakatan perdamaian itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Si mediator tentunya ikut menandatangani perjanjian itu dalam kapasitasnya sebagai saksi. Lebih lanjut perjanjian itu kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

 

Namun dalam praktik, upaya mediator mendamaikan para pihak lebih sering menemui kegagalan. Jika demikian, maka mediator akan mengeluarkan sebuah anjuran tertulis yang isinya meminta agar salah satu pihak melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu.

 

Apabila tidak ada keberatan dari para pihak atas anjuran tertulis, maka para pihak harus menuangkan kesepakatannya kedalam perjanjian bersama. Lagi-lagi perjanjian bersama itu harus didaftarkan ke PHI. Tapi jika para pihak merasa tidak puas dengan anjuran tertulis, para pihak menyelesaikan perselisihannya ke PHI.

 

Konsiliasi

Jika lembaga mediasi boleh menangani semua jenis perselisihan hubungan industrial, tidak demikian dengan konsiliasi. Sesuai dengan Pasal 1 angka 13 UU PPHI, konsiliasi hanya berwenang menangani perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja. Artinya, konsiliasi tidak berwenang atas perselisihan hak.

 

Seorang konsiliator baru bisa bertindak untuk menangani perkara ketika ada permintaan tertulis dari para pihak. Tentu saja permintaan tertulis itu baru ada setelah kedua belah pihak menyepakati siapa konsiliator yang dipilih. Dalam menjalankan tugasnya, konsiliator yang nota bene adalah pihak swasta yang independen, dapat memanggil saksi atau ahli dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.

 

Sama halnya dengan mediator, konsiliator bisa mengeluarkan anjuran tertulis jika tidak tercapai perdamaian di antara kedua belah pihak. Sebaliknya, jika perdamaian tercapai, maka konsiliator bersama dengan para pihak dapat menandatangani perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan ke PHI.

 

Arbitrase

Ruang lingkup arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial lebih sempit ketimbang yang lain. Arbitrase hanya berwenang menangani perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.

 

Sama halnya dengan konsiliasi, arbitrase baru bisa ditempuh ketika para yang pihak berselisih sudah menuangkan kesepakatan tertulis. Kesepakatan itu tercantum dalam perjanjian arbitrase yang berisikan nama lengkap dan alamat para pihak yang berselisih, pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan, jumlah arbiter yang disepakati, pernyataan tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase serta tanggal, tempat dan tanda tangan para pihak.

 

Prosedur untuk berperkara lewat arbitrase tidak cukup berhenti di situ. Para pihak masih harus membuat sebuah perjanjian tertulis lain, yaitu perjanjian penunjukan arbiter. Di sini para pihak diberi opsi antara menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter. Dalam perjanjian penunjukan arbiter ini, salah satu yang dibahas adalah biaya arbitrase dan honorarium arbiter.

 

Sebelum memulai persidangan arbitrase, biasanya arbiter berupaya mendamaikan para pihak. Jika berhasil, maka akan dibuatkan perjanjian bersama yang didaftarkan ke PHI. Sebaliknya, jika upaya mendamaikan gagal, persidangan arbitrase dilanjutkan dengan pemanggilan para saksi. Produk dari persidangan arbitrase ini adalah putusan arbitrase yang sifatnya final dan mengikat. Bahkan putusan arbitrase ini juga dilengkapi dengan irah-irah lazimnya putusan pengadilan yang berbunyi ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa'. 

 

Selintas, terlihat bahwa ternyata banyak jalan menuju perdamaian yang bisa ditempuh oleh para pelaku hubungan industrial. Tapi, bagaimana praktiknya?

 

Sebenarnya, istilah mediasi, konsiliasi maupun arbitrase bukan hanya ‘milik' perkara perdata bisnis atau komersil. Ketiga istilah itu juga dapat dijumpai dalam perkara ketenagakerjaan atau lazim dikenal sebagai perkara perselisihan hubungan industrial.

 

Adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang menjadi dasar hukum keberadaan tiga lembaga alternatif penyelesaian sengketa itu. Ketiga lembaga ini baru bisa dipakai jika perundingan langsung antara pekerja dan pengusaha alias perundingan secara bipartit menemui jalan buntu.

 

Meski sama-sama diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara secara damai, UU PPHI mengatur sedemikian rupa sehingga tidak semua jenis perselisihan hubungan industrial bisa diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.

Tags: