Revisi UUMA, Bukan Semata Persoalan Usia Pensiun
Fokus

Revisi UUMA, Bukan Semata Persoalan Usia Pensiun

Keputusan Presiden yang memberhentikan Bagir Manan secara hormat akhirnya turun juga. Berdasarkan Keppres No. 87/P Tahun 2008 itu, hak pensiun Bagir diberikan terhitung mulai 01 November mendatang.

Oleh:
Mys/Ali
Bacaan 2 Menit
Revisi UUMA, Bukan Semata Persoalan Usia Pensiun
Hukumonline

 

Kami tegas menolak skenario itu, tegas Febri Diansyah, peneliti ICW. Bagi ICW, ide memperpanjang batas usia pensiun hakim agung adalah usulan yang sangat tidak berdasar dan cenderung hanya membela kepentingan sekelompok hakim agung.

 

Hakim agung yang menjadi sasaran tak lain adalah Ketua MA Bagir Manan, dan wakilnya Mariana Sutadi. Keduanya sama-sama lahir pada Oktober 1941, sehingga pada Oktober 2008 sudah memasuki usia 67 tahun –batas usia pensiun maksimal setelah diperpanjang. Mereka dituding berada di balik gagasan perpanjangan batas usia pensiun. Tudingan yang juga dibantah tegas.

 

Bagir Manan terus terang mengakui pernah mengusulkan batas usia pensiun 70 tahun. Usulan itu malah sudah disampaikan sejak 2007 silam. Cuma, kalaupun disetujui, usulan itu tidak akan berlaku kepada mereka yang sudah berusia 65 tahun, usia pensiun hakim agung (minus perpanjangan). Contohnya, tidak berlaku kepada saya, ujarnya.

 

Bagir mengatakan tidak ada keinginan apalagi sampai membuat skenario seperti yang dituduhkan sejumlah LSM. Ia malah sengaja mengundang wartawan ke ruangannya beberapa hari sebelum ulang tahunnya 6 Oktober lalu. Kepada para juru warta, Bagir memperlihatkan ruangannya yang sudah minim barang-barang. Rak bukunya sudah dikosongkan. Malah ia sempat berujar kepada wartawan: hari ini adalah hari terakhir saudara menemui saya di MA. Pernyataan itu dikeluarkan Bagir usai shalat Jum'at, 26 September lalu.

 

Bisa jadi pernyataan itu sebagai ungkapan kegundahan hati Bagir karena dituding berada di balik gagasan batas usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Apalagi yang bersuara keras bukan hanya kalangan LSM. Sejumlah mantan hakim agung pun ikut bersuara menentang. Mereka adalah Bismar Siregar, Busthanul Arifin, Adi Andojo Sutjipto, Benyamin Mangkoedilaga, Arbijoto, dan HM Laica Marzuki. Sebelumnya, sebanyak 13 orang pengamat hukum tata negara –seperti Amzulian Rifai dari Unsri, Yohannes Usfunan dari Udayana dan Zainal Arifin Mochtar dari UGM-- juga mengeluarkan kritik senada.

 

Kritik demi kritik yang seolah tertuju langsung kepada dirinya membuat Bagir angkat suara. Saya telah didzalimi, tegasnya.

 

Tudingan miring bahwa Bagir hendak bertahan di Mahkamah Agung untuk sementara harus ditepis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meneken Keppres pensiun Bagir. Malah, Keppres yang sama berlaku kepada tujuh orang hakim agung lain. Mereka adalah Susanti Adi Nugroho, Titi Nurmala Siagian, M. Bahaudin Qoudry, Parman Suparman, Kaimuddin Sale, German Hoediarto, dan Mariana Sutadi.

 

Mencari pengganti

Seorang sumber hukumonline menduga sikap ngotot sejumlah anggota DPR mengesahkan revisi UU MA tidak terlepas dari rebutan pengaruh dalam mengisi posisi Ketua dan Wakil Ketua MA. Turunnya Keppres pensiun Bagir dan Mariana Sutadi membuat kursi Ketua MA dan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial lowong per 01 November nanti. Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang saat ini dijabat Harifin Tumpa pun bakal kosong tahun depan kalau Harifin pensiun.

 

Nah, kekuatan politik di DPR diduga ingin memasukkan kandidat pilihannya. Bagaimanapun, posisi Ketua MA dan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial teramat sayang untuk dilewatkan. Hakim agung yang menempati kedua posisi itu bukan saja mengendalikan administrasi MA, tetapi juga memegang banyak perkara. Posisi Ketua dan Wakil Ketua MA jelas sangat strategis.

 

Keppres No. 87/P Tahun 2008 jelas menyiratkan Bagir dan Mariana pensiun terhitung mulai 01 November 2008. Jika keduanya pensiun sudah pasti harus disiapkan pengganti. Pasal 8 ayat (4) UU No. 5 Tahun 2004 menegaskan ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. MA semestinya segera memilih Ketua baru, ujar Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen.

 

Namun, dua minggu menjelang batas pensiun Bagir dan Mariana, rapat pimpinan MA untuk menentukan pengganti keduanya belum digelar. Belum direncanakan. Siapa tahu ada perpanjangan. Semua kemungkinan ada, ujar Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Harifin Tumpa, Jum'at (17/10).

 

Pernyataan Harifin bisa ditafsirkan bahwa segala kemungkinan masih bisa terjadi, termasuk kemungkinan memperpanjang masa kerja mereka yang sudah pensiun. Dengan asumsi bahwa sebelum batas waktu mereka pensiun, yaitu 01 November 2008, DPR mengesahkan revisi UU MA, dan tidak aturan peralihan yang menyebut kebijakan itu tak berlaku bagi mereka yang sudah berusia 67 tahun sekarang.

 

Kalau melihat rencana Komisi III dua minggu ke depan, asumsi itu tampaknya tak bakal jadi kenyataan. Wakil Ketua Komisi III, Soeripto menegaskan bahwa Komisi Hukum itu sudah memutuskan bahwa pada 24 Oktober mendatang, hasil pembahasan Komisi III baru diserahkan pada pengambilan putusan tingkat kedua. Tanggal 24 Oktober adalah hari  terakhir DPR sebelum reses. Terserah akan disahkan kapan, ujarnya kepada wartawan, Senin (13/10) lalu.

 

Rekan sefraksi Soeripto, Nasir Jamil, juga percaya revisi UU MA tak bakal disahkan pada masa sidang kali ini. Apalagi ada gagasan agar revisi UU MA disahkan berbarengan dengan revisi UU Komisi Yudisial dan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Kalau opsi terakhir yang dipilih, sudah pasti pengesahan revisi UU MA molor. Menurut anggota Komisi III Eva Kusuma Sundari, sampai sekarang revisi UU Komisi Yudisial dan revisi UU Mahkamah Konstitusi belum dibahas.

 

Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung, gabungan sejumlah LSM, juga sudah mengirimkan surat secara resmi ke Pimpinan DPR agar ketiga revisi UU tadi disahkan bersamaan. Aliansi malah mengancam akan menempuh langkah judicial review jika DPR tetap ngotot mendahulukan pengesahan revisi UU MA dibanding revisi UU Komisi Yudisial dan UU Mahkamah Konstitusi.

 

Bukan hanya usia pensiun

Anehnya, dalam sebulan terakhir, hampir semua sumber daya berkutat pada perdebatan batas usia pensiun hakim agung. Padahal, sebenarnya ada beberapa poin penting lain dalam revisi UU MA. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) berisi 130 poin. Dari jumlah itu, lebih dari 50 poin mendapat tanggapan dari pemerintah, mulai dari persoalan ‘sepele' seperti tanda titik atau huruf kapital, hingga yang serius seperti mengubah rumusan awal.

 

Tengok misalnya, usulan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Dalam diskusi publik yang digelar Komisi Hukum Nasional (KHN) 15 September lalu, Wakil Ketua IKAHI, Habiburrahman menyampaikan tambahan usulan agar sistem rekrutmen hakim agung dilakukan secara tertutup.

 

Tidak seperti sekarang yang relatif terbuka. Nama-nama calon diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan. Lalu, Komisi Yudisial melakukan serangkaian seleksi seperti tanya jawab, tes kesehatan dan tes psikologi. Kemudian, selah masuk ke DPR, calon hakim agung harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan secara terbuka.

 

Menurut Habiburrahman, kalaupun ada pengecualian, hanya apabila diperlukan keahlian khusus. Dalam konteks ini, bisa dibuka calon dari jalur non-karir sesuai kebutuhan. Itu pun dengan syarat, calon hakim agung dari non-karir kudu berkualifikasi doktor (S-3) dalam bidang ilmu hukum.

 

Selain soal non-karir, muncul pula gagasan menghapuskan rumusan tentang hakim ad hoc. Alasannya, keberadaan hakim ad hoc sudah diatur dalam masing-masing peraturan-undangan terkait. Misalnya, dalam pasal 60 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial, sudah diatur keberadaan hakim ad hoc pada tingkat Mahkamah Agung, yang bertugas menangani perselisihan hubungan industrial.

 

Meskipun demikian, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) diketahui sudah melayangkan surat ke Mahkamah Agung yang meminta agar rumusan hakim ad hoc dalam UU MA tetap dipertahankan. Rumusan dimaksud adalah pasal 7 ayat (3): Pada Mahkamah Agung dapat diangkat hakim ad hoc yang diatur dengan undang-undang.

 

Masalah lain yang tak kalah penting dan sudah lama menjadi benang kusut dalam hubungan lembaga MA dan BPK adalah audit biaya perkara. Gara-gara masalah ini pula, Ketua BPK Anwar Nasution dan Ketua MA Bagir Manan adu argumen lewat media massa sampai akhirnya Presiden SBY turun tangan dengan memanggil keduanya.

 

Ada keinginan agar audit biaya perkara dimuat secara eksplisit dalam revisi UU MA. Namun mayoritas anggota Dewan kurang setuju, dan akhirnya tidak disinggung eksplisit.

 

Jangan lupakan pula korelasi Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Rumusan tentang pengawasan ekternal mau tidak mau harus diperbarui seiring dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘membatalkan' sejumlah pasal dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Bisa jadi, masalah ini akan krusial bagi hubungan antar lembaga negara seperti MA dan KY. Jika tidak dari sekarang, hubungan kedua lembaga akan tetap bagai api dalam sekam.

 

Apalagi pada saat yang bersamaan, Komisi Yudisial juga mengajukan beberapa usul berkaitan dengan hakim agung. Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas misalnya mencatat ide perubahan pasal 22 ayat (6a) UU KY: Dalam hal pimpinan MA tidak memenuhi permintaan KY....Pimpinan MA dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

 

Apapun rumusan yang hendak dimuat DPR dan Pemerintah dalam revisi UU MA, dan kapanpun revisi itu disahkan, satu hal yang patut dinanti adalah (mestinya) perubahan dilakukan murni untuk perbaikan lembaga peradilan ke depan. Sebab, Mahkamah Agung bukan milik hakim agung, bukan pula milik anggota DPR yang merevisi UU MA. Ia adalah rumah bagi seluruh rakyat untuk mencari keadilan.

 

Reformasi Mahkamah Agung bukanlah pekerjaan mudah. Seperti diakui Bagir Manan dalam pidato penyampaian Laporan Tahunan MA 2007. Setiap orang yang berpikir jernih semestinya mengakui, pekerjaan ini sangat tidak mudah. Begitu panjang masa bagi pengadilan tidak mendapat perhatian sebagaimana mestinya 

 

Keputusan Presiden itu seolah menjawab perdebatan yang selama sebulan terakhir menyeruak ke publik. Perdebatan dimaksud tak lain adalah usia pensiun hakim 70 tahun. Mayoritas fraksi di DPR setuju dengan usul perpanjangan usia pensiun hakim agung tersebut. Hanya Fraksi PDI Perjuangan dan belakangan Fraksi PPP yang bersuara kritis. Soal usia pensiun 70 tahun tersebut menggelinding bak bola salju. Beberapa lembaga swadaya masyarakat pemerhati dunia peradilan mengecam keras gagasan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.

 

Tetapi, sebenarnya kegeraman aktivis pemerhati peradilan bukan hanya soal perpanjangan batas usia pensiun. Hal itu juga tidak terlepas dari hasrat sejumlah anggota Komisi III DPR untuk segera mempercepat penyelesaian revisi Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA). Sebagian anggota Dewan ngotot untuk mengesahkan hasil revisi itu pada 6 Oktober. Padahal, mekanisme pembahasan dinilai berjalan tidak sebagaimana biasanya. Ada upaya untuk terus mengebut pembahasan. Agenda rapat sering mendadak, kata Ketua Fraksi PPP, Lukman Hakim Saefuddin.

 

Karena itu, tidak mengherankan, aroma tak sedap bertiup kencang. Isu suap pun berhembus menyusul mundurnya anggota Komisi III Gayus Lumbuun dari Panitia Kerja Revisi UU MA pada pertengahan September lalu. Tudingan tak sedap itu langsung dibantah. Toh, bantahan itu tak menghambat tiupan isu.

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sejumlah LSM dalam Aliansi Penyelamat MA menengarai ada skenario anggota DPR untuk mempertahankan petinggi Mahkamah Agung yang pensiun pada Oktober 2008. Skenarionya kira-kita begini. DPR dan Pemerintah mengesahkan revisi UU MA pada awal Oktober. Dalam revisi itu batas usia pensiun hakim agung sudah dinaikkan menjadi 70. Jika kebijakan itu berjalan mulus, maka petinggi MA yang telah berusia 67 tahun pada Oktober 2008 tetap bisa melanjutkan tugas hingga tiga tahun ke depan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: