Krisis Keuangan Sulit Dijadikan Dalih Force Majeur
Utama

Krisis Keuangan Sulit Dijadikan Dalih Force Majeur

Kebijakan Pemerintah mengeluarkan Perppu memperkuat alasan keadaan kahar. Tetapi pakar menilai lebih tepat dipakai alasan hardship.

Oleh:
CRU/M-5
Bacaan 2 Menit
Krisis Keuangan Sulit Dijadikan Dalih <i>Force Majeur</i>
Hukumonline

 

Lebih jauh, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengingatkan bahwa krisis keuangan global bisa merembet ke Indonesia dan menimbulkan persoalan hukum. Korporasi tentu saja menjadi sasaran tembak utama. Perusahaan perbankan dan pembiayaan bisa mengalami kesulitan pembayaran. Demikian pula perusahaan multinasional yang dalam operasionalnya banyak tergantung pada kontrak internasional.

 

Jika hubungan hubungan hukum itu berupa pembayaran, krisis keuangan global bisa menyebabkan salah satu pihak melakukan wanprestasi.  Periode seperti sekarang ini kan banyak yang tidak normal. Sangat mungkin muncul permasalahan korporasi seperti cedera janji karena tidak dapat melaksanakan kewajiban. Perusahaan gagal bayar, ujar Prof Hikmanto.

 

Tuduhan wanprestasi muncul apabila si berutang tidak dapat melakukan kewajibannya karena lalai atau ingkar janji. Dalam KUH Perdata wanprestasi bisa timbul dalam empat bentuk: (i) tidak melakukan apa yang disanggupi atau dilakukan; (ii) melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; (iii) melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

 

Tuduhan wanprestasi tentu harus dibuktikan lewat pengadilan. Di pengadilan pula, perusahaan tertuduh bisa melakukan pembelaan diri (pasal 1244-1245 KUH Perdata). Dalam pembelaan itu, perusahaan yang ingkar janji bisa mengajukan dalil adanya keadaan memaksa sehingga ia tak bisa memenuhi kewajiban. Keadaan memaksa (overmacht) itulah yang lazim disebut force majeur. Force majeur itu adalah peristiwa tidak pasti yang terjadi setelah suatu perjanjian ditutup, yang menghalangi pelaksanaan perjanjian dan sebelumnya tidak bisa diduga, ujar Y. Sogar Simamora, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

 

Doktor hukum kontrak ini berpendapat dalih force majeur tidak segampang membalik telapak tangan digunakan bila terjadi sengketa. Bisa saja dipakai asalkan dalam kontrak yang disepakati sebelumnya krisis keuangan disebutkan jelas sebagai force majeur. Ia menilai kondisi krisis keuangan global seperti sekarang belum bisa dijadikan secara langsung sebagai alasan force majeur alias keadaan kahar, melainkan sebatas keadaan-keadaan sulit (hardship). Tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai force majeur, ujarnya kepada hukumonline via sambungan telepon.

 

Menurut Sogar, kalaupun terjadi krisis seperti sekarang, bukan berarti langsung menimbulkan sengketa yang bermuara pada tuduhan wanprestasi. Kedua belah pihak dapat melakukan renegosiasi atau menjadwal ulang utang yang harus dibayar. Ia berpendapat dalih ‘keadaan sulit' lebih tepat dipakai untuk menggambarkan kondisi dampak krisis keuangan global sekarang ketimbang force majeur bila akhirnya terjadi sengketa. Dalih ‘keadaan sulit' sudah lazim dipakai dalam praktik kontrak dagang internasional, seperti dalam prinsip-prinsip UNIDROIT.

 

Senada, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Ningrum Natasya Sirait menegaskan bahwa krisis finansial seperti sekarang, termasuk krisis 1998, belum kuat dijadikan dasar force majeur. Apalagi Pemerintah tidak menyatakan secara tegas keadaan sekarang dalam keadaan kahar. Kalaupun telah menerbitkan tiga Perppu, Pemerintah tak pernah menyatakan tegas keadaan begitu gawat. Sampai saat ini belum ada pernyataan Pemerintah tentang peristiwa yang extra-ordinary yang bisa dijadikan dasar Perppu. Perppu harus ada legalitas yang kuat.

 

Pemerintah terus berusaha meredam dampak krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia. Antara lain menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), masing-masing Perppu No. 2 mengenai Bank Indonesia, No. 3 mengenai lembaga penjaminan simpanan, dan No. 4 mengenai jaring pengaman sistem keuangan. Semua dikeluarkan pada 2008, ketika krisis kredit perumahan di Amerika Serikat berimbas pada kebangkrutan yang lebih luas.

 

Selain menerbitkan Perppu, Pemerintah juga mengalokasikan 10 triliun rupiah dana APBN untuk membeli kembali saham-saham BUMN (buy back). Langkah Pemerintah menggelontorkan duit sebesar itu dinilai menabrak peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 23 UUD 1945 tegas menyatakan APBN adalah wujud dari pengelolaan  keuangan negara dilaksanakan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksankan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Prof. Hikmahanto Juwana termasuk yang menyesalkan kebijakan pemerintah yang disebut terakhir. Penggunaan dana APBN untuk membeli kembali saham BUMN dinilai tidak tepat sasaran. Sebab, sektor riil relatif tidak begitu besar menyentuh kepentingan rakyat banyak.  Pemerintah Indonesia seperti mendapat persetujuan penggunaan uang rakyat. Nah, itu perlu ketepatan Pemerintah didalam mengambil kebijakan. Kebijakan itu harus dibungkus dengan peraturan perundang-undangan yang tepat, dengan tidak menabrak peraturan perundang-undangan yang lain, ujarnya kepada hukumonline, Kamis (16/10).

Halaman Selanjutnya:
Tags: