Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang ‘Pailit'
Fokus

Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang ‘Pailit'

Penerapan hukumnya amburadul. Materi muatan hukumnya banyak yang bertabrakan. Berujung pada rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan instrumen kepailitan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Hukum Kepailitan Indonesia di Ambang ‘Pailit'
Hukumonline

 

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan kedua orang konsumen. Modernland dinyatakan pailit. Namun di tingkat Mahkamah Agung, putusan itu dibatalkan. Mahkamah Agung saat itu beralasan, utang Modernland kepada dua konsumennya, bukan utang yang timbul dari perjanjian pinjam-meminjam uang sehingga tidak termasuk dalam ruang lingkup kepailitan.

 

Di sini Ricardo mengkritik hakim niaga yang terkesan mengabaikan UU Kepailitan. Ia menjelaskan, UU Kepailitan meluaskan pengertian utang tidak hanya terbatas pada perjanjian utang-piutang. Tapi juga kewajiban hukum yang timbul dari perjanjian lain maupun putusan pengadilan, jelasnya.

 

Dalam perkara Modernland, masih menurut Ricardo, terlihat tidak ada kepastian hukum. Saat undang-undang sudah memberi rambu yang tegas mengenai definisi utang, penafsiran hakim malah berbeda. Apakah para penegak hukum itu tidak peduli dengan UU Kepailitan atau bagaimana, saya tidak tahu?

 

Lebih jauh Ricardo menyebutkan contoh perkara teranyar yang menunjukkan tidak konsistennya hakim niaga dalam menegakkan hukum kepailitan adalah perkara pailitnya PT Dirgantara Indonesia (PT. DI). Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menyatakan PT DI pailit dengan segala akibat hukumnya.

 

Sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, PT DI sejatinya hanya bisa dimohonkan pailit atas izin Menteri Keuangan. Hal itu diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan. Namun penjelasan dari Pasal itu mengatur hal yang lebih detil lagi, yaitu hanya pada BUMN yang tidak terbagi atas saham yang membutuhkan izin Menteri Keuangan. Dengan kata lain, dalam konteks ini adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara.

 

Pengaturan tentang BUMN yang terbagi atau tidak terbagi atas saham ini terdapat dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam undang-undang itu, BUMN yang terbagi atas saham berbentuk Persero. Sementara yang tidak terbagi atas saham berbentuk Perum. PT DI berbentuk Persero, artinya terbagi atas saham dan tidak membutuhkan izin Menteri Keuangan untuk dipailitkan. Namun faktanya hakim niaga Mahkamah Agung punya pendapat sendiri dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

 

Menurut Mahkamah Agung, izin Menteri Keuangan mutlak dibutuhkan untuk memailitkan PT DI. Artinya, Mahkamah Agung hanya melihat bunyi Pasal 2 Ayat (5) UU Kepailitan tanpa memperhatikan bagian penjelasannya. Sekali lagi, ini membuat para pencari keadilan kebingungan. Ketentuan yang sudah diatur jelas dalam undang-undang, masih ditafsirkan berbeda, tegas Ricardo.

 

Contoh lain

‘Amburadulnya' penegakan hukum kepailitan tidak hanya disuarakan Ricardo. Seorang mantan hakim kepailitan di era 1960-an juga mengeluhkan masalah serupa. Ia adalah Kartini Muljadi, senior partner pada kantor hukum Kartini Muljadi dan rekan.

 

Dengan menyamarkan identitas para pihak yang bersengketa, Kartini menceritakan suatu perkara dimana Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang menyatakan suatu perusahaan pailit dengan segala hukumnya. Selain itu, amar yang lain menghukum debitur pailit untuk membayar utang kepada pemohon (kreditur) sebesar AS$25 ribu.

 

Menurut Kartini, ada beberapa asas dan ketentuan hukum kepailitan dilanggar dalam perkara itu. Salah satunya adalah tidak adanya amar putusan untuk mengangkat hakim pengawas. Padahal Pasal 15 Ayat (1) UU Kepailitan mengharuskan pengadilan mengangkat hakim pengawas jika mengabulkan permohonan pailit terhadap seorang debitur.

 

Kartini menilai Mahkamah Agung dalam perkara itu juga melanggar asas umum UU Kepailitan, salah satunya asas keadilan. Menurut Kartini, UU kepailitan sangat mengedepankan prinsip perlakuan seimbang dan bukan perlombaan di mana kretidur yang pertama menagih dibayar didahulukan dan dibayar seluruh tagihannya. Faktanya dalam perkara ini, Mahkamah Agung menghukum termohon (debitur) membayar utangnya kepada pemohon. Bahkan utangnya dalam mata uang asing.

 

UU Kepailitan sudah jelas mengatur alur dan mekanisme kepailitan. Kurator tidak langsung membagikan harta pailit kepada kreditur setelah putusan dibacakan. Kurator memulainya dengan pencocokan piutang para kreditur. Sementara Pasal 139 UU Kepailitan jelas menyebutkan bahwa piutang yang berbentuk mata uang asing, harus lebih dulu diubah ke dalam rupiah.

 

Substansinya Tidak Sinkron

‘Bangkrutnya' Hukum Kepailitan di Indonesia tidak cuma dari sisi penegakkan hukum. Dari sisi materi muatan atau substansi hukum pun bermasalah. Paling tidak, demikian pandangan Elijana yang dilontarkan di dalam Seminar Nasional Hukum Kepailitan.

 

Elijana, Ketua Tim Revisi UU Kepailitan menandaskan banyaknya aturan dalam rezim kepailitan yang saling bertentangan. Lebih ironis karena ternyata pertentangan juga ada di dalam UU Kepailitan itu sendiri.

 

Setidaknya, mantan hakim tinggi itu mencatat adanya pertentangan antara Pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan dengan Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan. Di satu sisi, pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan mewajibkan kreditur separatis untuk membagi hasil penjualan barang jaminan kepada kreditur istimewa, seperti tagihan pajak. Di sisi lain Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan merumuskan, dalam batas waktu tertentu, kreditur separatis dapat melelang jaminan kebendaannya. Hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi piutang dan bunganya. Jika ada sisa hasil penjualan, baru lah kreditur separatis menyerahkannya kepada kurator.

 

Seharusnya Pasal 60 Ayat (2) UU Kepailitan ini diabaikan saja. Karena jika hakim menggunakannya, tidak akan ada lagi bank atau investor lain yang mau meminjamkan uangnya tanpa ada kepastian atas jaminannya, saran Elijana.

 

Bertentangan dengan UU lain

Ketidakharmonisan juga terjadi antara UU Kepailitan dengan undang-undang lain. Sebut misalnya dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( UU Pajak). Pasal 21 UU Pajak misalnya menyebutkan, negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.

 

Aturan lain yang Elijana nilai bertentangan dengan UU Kepailitan adalah UU Ketenagakerjaan. Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan itu merumuskan, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang  yang didahulukan pembayarannya.

 

Untuk pasal 21 UU Pajak, Elijana tidak banyak bermasalah. Ia sepakat tagihan pajak lebih tinggi dari pada kreditur lain, jika kreditur separatis tidak melelang jaminannya sesuai dengan Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan. Lagi pula Pasal 1137 KUH Perdata sudah menentukan bahwa hak dari kas negara, kantor lelang dan badan umum pemerintah harus didahulukan dari kreditur yang lain, tegasnya.

 

Namun untuk konteks tagihan buruh, Elijana berpikir berpuluh kali untuk mengatrolnya menjadi tagihan yang lebih diutamakan ketimbang utang lainnya. Itu pun tidak ditemukan jawabannya. Untuk upah buruh, menurut saya tidak bisa didahulukan karena upah buruh bukan bagian kas negara.

 

Bukan primadona

Entah ada kaitannya dengan pendapat Ricardo dan Elijana atau tidak, yang pasti Kartini Mulyadi menduga bahwa instrumen kepailitan bukan pilihan utama untuk menyelesaikan kasus ‘mangkirnya' seorang debitur.

 

Maraknya putusan hakim yang berada di luar jalur hukum kepailitan, kata Kartini, membuat para pencari keadilan enggan memilih pengadilan niaga. Di luar itu, ada beberapa masalah teknis yang mengganjal. Sebut misalnya masalah biaya yang relatif besar dikeluarkan, proses yang bertele-tele, tidak konsistennya hakim pengawas, sampai masalah kerap terlambatnya persidangan.

 

Elijana bahkan mengungkapkan jarangnya kreditur separatis menggunakan jalur kepailitan lantaran tidak adanya perlindungan hukum untuk memakai Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan.

 

Hal yang sama juga terjadi pada buruh. Ketika menuntut upah atau hak lain dari perusahaan yang sudah tidak ‘sehat', buruh lebih senang mengeksekusi barang milik perusahaan ketimbang mengajukan permohonan pailit. Maklum. Jika memakai mekanisme kepailitan, buruh acap kali gigit jari karena tak mendapat apapun. Upaya buruh mengajukan permohonan judicial review terhadap UU Kepailitan pun ternyata kandas di tangan Mahkamah Konstitusi.

 

Ricardo Simanjuntak, praktisi hukum kepailitan berapi-api memaparkan pendapatnya mengenai penerapan hukum kepailitan di Indonesia. Menurut Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) ini, pelaksanaan hukum kepailitan masih jauh panggang dari api.

 

Ia menyoroti perilaku aparatur pengadilan yang menurutnya malah tidak menegakkan hukum kepailitan. UU Kepailitan sudah memberikan beberapa definisi yang jelas, tapi dalam beberapa perkara, pengadilan masih sering membuat penafsiran yang berbeda kata dia dalam Seminar Nasional Hukum Kepailitan di Jakarta, Rabu (29/10). Seminar ini diselenggarakan AKPI bekerjasama dengan In-ACCE, dengan bantuan dana dari USAID, untuk memperingati sepuluh tahun berdirinya Pengadilan Niaga.

 

Seperti diketahui, pengadilan yang berwenang mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998 yang diteken Presiden BJ Habibie pada 9 September 1998, Pengadilan Niaga untuk pertama kalinya dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah itu, Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999 menambah pengadilan niaga di Makassar, Surabaya, Semarang, dan Medan. Tidak puas dengan putusan pengadilan niaga, pihak yang bersengketa bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Bisa jadi Ricardo tidak asal ngoceh. Ia membeberkan beberapa contoh perkara untuk menguatkan dalil. Sebut saja perkara PT. Modernland Realty pada 1998. Saat itu PT Modernland dimohonkan pailit oleh dua orang konsumen yang mengaku tak kunjung dibuatkan apartemen oleh Modernland. Padahal dua orang itu sudah mengeluarkan uang sebanyak Rp97 juta.

Tags: