David Tobing Ajukan Aanmaning atas Perkara Delay Pesawat
Berita

David Tobing Ajukan Aanmaning atas Perkara Delay Pesawat

Permohonan aanmaning diajukan sekaligus dengan permohonan eksekusi.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
David Tobing Ajukan Aanmaning atas Perkara <i>Delay</i> Pesawat
Hukumonline

 

Sosiolog hukum Prof. Soetandyo Wignyosoebroto mengakui feomena seseorang tidak menghormati putusan pengadilan memang sering terjadi. Itu bagian dari mengulur waktu, ujarnya beberapa waktu lalu.

 

Pada 22 September lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum PT Lion Mentari Airlines membayar ganti rugi Rp718.500 kepada David M.L. Tobing. Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Soeparno itu kini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sejak putusan diberitahukan secara resmi kepada David akhir Oktober dan Lion Air pada 3 November lalu, kedua pihak yang berperkara tidak mengajukan kasasi.

 

Dalam pertimbangannya, majelis mengakui bahwa tergugat Lion Air sudah menyatakan banding dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta syarat yang ditentukan undang-undang. Permohonan banding diajukan pada 6 Februari 2008. Panitera PN Jakarta Pusat juga sudah memberitahukan adanya permohonan banding itu kepada penggugat pada 2 Mei 2008. Namun, hingga perkara ini diputus ternyata tergugat tidak mengajukan memori banding.

 

Lantaran tergugat tidak mengajukan memori banding, majelis hakim merasa kesulitan mengetahui dalil permohonan banding. Majelis tingkat banding tidak bisa mengetahui alasan hukum apa yang menjadi dasar pembanding semula tergugat menyatakan banding atas putusan perkara aquo dan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama manakah yang dianggap keliru. Majelis akhirnya mengambil alih pertimbangan hakim tingkat pertama.

 

Sekedar informasi, David mengajukan gugatan terhadap Lion Air pada September 2007 lalu. Gugatan berawal ketika 16 Agustus 2007 silam, David hendak menggunakan jasa Lion Air untuk perjalanannya ke Surabaya. Namun setelah menunggu lebih dari 90 menit dan tak ada kejelasan waktu keberangkatan, maka David memutuskan untuk membeli tiket pesawat lain. Lucunya, tidak ada penjelasan resmi atas delay atau keterlambatan yang dilakukan Lion Air, kata David saat mengajukan gugatan.

 

Merasa dirugikan, David menggugat Lion Air. Dalam gugatannya, David menuntut agar Lion Air dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak memberikan informasi atas delay keberangkatan. David juga menuntut agar Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp718.500. Angka itu adalah biaya tiket pesawat Garuda sebesar Rp688.500 ditambah airport tax sebesar Rp30 ribu, jelasnya.

 

Selain itu, David juga menuntut agar klausula baku yang di dalam tiket Lion Air bertuliskan Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi batal demi hukum.

 

Terbukti Melawan Hukum

Upaya David dalam memperjuangkan haknya sebagai konsumen akhirnya membuahkan hasil. Dalam sidang yang digelar pada Senin (28/1), majelis hakim yang diketuai Moerdiyono mengabulkan seluruh gugatan David.

 

Pada bagian pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan bahwa Lion Air terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Yakni, melaksanakan penerbangan tepat waktu sesuai jadwalnya. Tergugat juga tidak memberikan informasi yang jelas mengenai alasan keterlambatan, kepastian keberangkatan dan pesawat pengganti.

 

Hakim juga tidak sependapat dengan sanggahan Lion Air. Saat itu, Lion Air berdalih keterlambatan terjadi karena alasan teknis sehingga pesawat terpaksa di-grounded pada 15 Januari 2007. Lion Air juga berlindung di balik faktor cuaca dan kondisi bandara yang tidak kondusif untuk keselamatan penerbangan.

 

Jika pesawat tergugat di-grounded pada 15 Januari 2007, tergugat seharusnya bisa memprediksi apakah pesawat yang sedang diperbaiki itu bisa digunakan pada 16 Januari 2007 atau tidak. Jika tidak dapat digunakan, tergugat seharusnya menyiapkan pesawat pengganti. Tapi ini tidak dilakukan, kata hakim Moerdiyono.

 

 Lebih jauh hakim menunjuk ketentuan Pasal 43 Ayat (1) huruf c UU No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang menyebutkan bahwa perusahaan pengangkut harus bertanggung jawab atas keterlambatan pengangkutan. Ketentuan itu dipertegas lagi di dalam Pasal 42 huruf c Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1995. Sementara Pasal 43 Ayat (4) dari PP itu menjelaskan bahwa perusahaan pengangkut harus membayar ganti rugi maksimal Rp1 juta atas keterlambatan pengangkutan.

 

Susahnya mengeksekusi putusan pengadilan membuat David L. Tobing gerah. Untuk mengeksekusi ganti rugi seribu rupiah alias seceng saja, misalnya, ia harus menunggu 1,5 tahun lebih sejak putusan Mahkamah Agung dibacakan 26 Januari 2006. Ketika itu, David memenangkan gugatan parkir melawan PT Securindo Packatama Indonesia (pengelola Secure Parking).

 

Bertepatan dengan hari ulang tahun David, 12 September 2007 lalu, Secure Parking membayar ganti rugi tersebut. Jumlah total uang yang dibayarkan Secure Parking lebih dari Rp1 juta. Ini sudah termasuk membayarkan denda dan biaya perkara yang dibebankan. Kini, David berhadapan dengan perkara lain.

 

Tak mau kecolongan lagi, sehari setelah memenangkan gugatan melawan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), David langsung mengajukan aanmaning (teguran). Surat permohonan aanmaning itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11) kemarin. Ini sebagai bentuk antisipasi susahnya eksekusi putusan, ujar David saat dihubungi melalui telepon.

 

David menerangkan aanmaning sengaja dilayangkan untuk mengingatkan lawan agar menjalani putusan secara sukarela. Berdasarkan informasi yang diperoleh David, Lion juga sudah menerima pemberitahuan resmi putusan tersebut pada 3 November lalu. Kalau niat menjalani putusan, dia pasti menghubungi saya, tapi hingga kini belum ada, ujarnya.

Tags: