Anotasi Perkara HKI Terkendala Aksesibilitas Putusan
Berita

Anotasi Perkara HKI Terkendala Aksesibilitas Putusan

Kalangan perguruan tinggi menyambut baik tawaran Mahkamah Agung untuk melakukan anotasi atas putusan-putusan perkara HKI.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Anotasi Perkara HKI Terkendala Aksesibilitas Putusan
Hukumonline

 

Menurut Nurhadi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, laman yang memuat putusan ini sejalan dengan langkah MA dalam menjalankan keterbukaan agar MA bisa lebih akuntabel terhadap publik. Ke depan, kata Nurhadi, situs putusan.net bisa menjadi rujukan dan sumber acuan, termasuk oleh kalangan akademisi dan peneliti bidang hukum.

 

Rujukan lain yang memuat salinan putusan HKI adalah beberapa buku terbitan PT Tata Nusa. Tetapi, jumlah putusan yang dimuat masih sedikit, dan bukan perkara yang benar-benar baru. Demikian halnya pada buku yuridprudensi yang diterbitkan Mahkamah Agung. Pada buku Yurisprudensi MA Tahun 2006 –yang terbit setahun kemudian—hanya memuat dua putusan perkara HKI, yaitu pembatalan hak cipta (tentang logo sejahtera) dan pembatalan merek Boncafe.

 

Dukungan kerjasama membuat anotasi putusan datang dari sejumlah akademisi perguruan tinggi dan praktisi HKI. Anotasi penting mengingat putusan hakim tisak seratus persen benar. Selain karena persoalan hukum berbagai jenis HKI relatif baru di Pengadilan Niaga, penanganan perkara ini juga tak bisa semata-mata mengandalkan aspek hukum. Menurut Rizki Adiwilaga, dosen desain produk industri Institut Teknologi Bandung (ITB), hakim juga perlu memahami teori, filosofi dasar dan praktik hak kekayaan intelektual. Dengan memahami praktik di berbagai negara misalnya, sang hakim bisa mengetahui apakah suatu merek yang dimohonkan pembatalan merupakan merek terkenal atau bukan.

Tawaran Mahkamah Agung kepada kalangan perguruan tinggi untuk membuat anotasi putusan HKI dimaksudkan untuk mendorong semakin berkualitasnya putusan-putusan pengadilan, khususnya di bidang hak kekayaan intelektual. Maklum, masih banyak hakim yang kurang menguasai perkara HKI. Tidak terkecuali hakim-hakim di level Mahkamah Agung, yang tak pernah mengikuti pelatihan khusus bidang HKI. Saya khawatir apakah mereka nanti mampu menangani perkara-perkara HKI dengan benar, pengamat dan dosen bidang HKI, Insan Budi Maulana.

 

Namun, Brian A. Prastyo mengkhawatirkan aksesibilitas putusan akan menjadi hambatan dalam melakukan anotasi. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu masih merasa kesulitan untuk mendapatkan putusan-putusan terbaru dari pengadilan yang menangani HKI, bukan saja perkara perdata di Pengadilan Niaga, tetapi juga aspek pidana HKI di peradilan umum. Untuk bisa melakukan anotasi, setiap orang perlu putusannya dulu. Dan saat ini, sulit sekali untuk bisa memperoleh putusan pengadilan yang terbaru, ujarnya.

 

Perkara perdata HKI memang terbatas di lima pengadilan niaga, yaitu di Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Sebaliknya, perkara pidana tersebar di semua peradilan umum atau Pengadilan Negeri. Bisa jadi kebanyakan perkara bermuara ke Mahkamah Agung. Tetapi bagaimana dengan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap di level Pengadilan Negeri? Tidak ada jaminan putusan tersebut bisa diakses dengan cepat.

 

Kalau aksesibilitas terhadap putusan terhambat, kalangan kampus akan kesulitan melakukan anotasi. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memasukkan putusan-putusan ke dalam laman peradilan atau Mahkamah Agung. Dengan kata lain, putusan bisa dimuat secara online. Cara ini sebenarnya sudah mulai dilaksanakan Mahkamah Agung. Beberapa laman pengadilan sudah memuat informasi putusan meskipun belum lengkap. Yang memuat materi putusan adalah laman putusan.net. Tetapi di sini, putusan perkara perdata HKI yang sudah di-upload baru 21 putusan, terdiri dari desain industri 11 perkara dan hak cipta 10 perkara.

Tags: