Masalah Eksekusi Putusan Terhadap Perkara-Perkara P4P
Berita

Masalah Eksekusi Putusan Terhadap Perkara-Perkara P4P

Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung menerbitkan pendapat hukum yang menyatakan putusan MA terhadap perkara P4P tidak bisa dieksekusi. Bubarnya P4P menjadi alasan.

Oleh:
IHW/CR1
Bacaan 2 Menit
Masalah Eksekusi Putusan Terhadap Perkara-Perkara P4P
Hukumonline

 

Dalam surat itu Paulus menyebutkan, pada prinsipnya pelaksanaan terhadap putusan yang sudah inkracht dilaksanakan berdasarkan yurisdiksi lingkungan peradilan tingkat pertama yang mengadili perkara tersebut. Eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan oleh Pengadilan Negeri, tulis Paulus dalam salinan suratnya.

 

Masih dalam surat itu, Paulus membeberkan, berlakunya UU No 2 Tahun 2004 tentang PPHI mengakibatkan bubarnya lembaga P4D dan P4P. Sementara UU itu tidak menunjuk lembaga lain sebagai pengganti P4D dan P4P itu. Nah, jika ada perintah putusan terhadap lembaga P4D atau P4P itu, Paulus memiliki dua pendapat. Untuk putusan yang merupakan pernyataan (deklatoir) dan tidak mengandung sifat eksekutorial, tidak dieksekusi tapi wajib ditaati.

 

Sedangkan terhadap putusan yang mengandung suatu perintah atau kewajiban (condemnatoir) untuk menerbitkan surat keputusan pencabutan atas obyek sengketa suatu lembaga yang telah dibubarkan, secara hukum tidak dapat dilaksanakan lagi.

 

Seandainya pendapat hukum Paulus ini mengikat secara umum, maka semua putusan, baik putusan MA atau putusan PT TUN yang menghukum P4P untuk mencabut keputusannya, tidak dapat dilaksanakan lagi. Demikian pula bisa terjadi dalam perkara Alex dkk melawan Pertamina.

 

Berbagai Respon

Dikeluarkannya pendapat hukum oleh Paulus ini, menuai berbagai macam reaksi. Timboel Siregar, Wakil Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, adalah salah seorang yang mengecam. Menurutnya, pendapat hukum Paulus tidak memecahkan masalah sulitnya mengeksekusi suatu putusan. Sebaliknya, justru menimbulkan  persoalan baru.

 

Ambil contoh perkara Alex dkk. Sebelum Paulus mengeluarkan pendapat hukum, pihak Pertamina saja sudah enggan menjalankan putusan. Apalagi jika Pertamina mengetahui pendapat hukum Paulus itu. Apa artinya kita mengantongi putusan Mahkamah Agung atau putusan PT TUN, kalau tidak bisa dieksekusi? gugat Timboel.

 

Pendapat senada diungkapkan Arsyad. Hakim adhoc PHI pada Mahkamah Agung ini khawatir para pihak, baik pekerja maupun pengusaha, tak lagi percaya pada hukum. Kasihan para pihak yang dimenangkan dalam putusan. Hanya menang di atas kertas, kata Arsyad kepada hukumonline lewat telepon, Sabtu (22/11).

 

Meski demikian, Arsyad juga tidak menyalahkan pendapat Paulus. Menurutnya, dalam konteks hukum administrasi negara, pendapat Paulus sudah tepat. Sayangnya, pendapat Paulus tidak disertai dengan usulan pemecahan masalah.

 

Revisi UU atau Perma?

Bagi Arsyad, masalah ini timbul akibat tidak lengkapnya aturan peralihan UU PPHI. Hal ini kurang diantisipasi oleh penyusun UU PPHI saat membuat aturan peralihan, kata Arsyad.

 

Lebih jauh Arsyad berharap agar pimpinan MA segera mengeluarkan peraturan untuk mengatasi masalah kekosongan hukum ini. Salah satu alternatifnya adalah MA boleh membuat putusan yang amarnya langsung menghukum. Tidak lagi memerintahkan P4D atau P4P.

 

Dihubungi terpisah, Dirjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans, Myra M. Hanartani, mengaku sudah sering menerima aduan mengenai hal ini. Kami sudah membahasnya secara internal di Depnakertrans, kata Myra, Sabtu (22/11) di gagang telepon.

 

Setelah pembahasan secara internal, lanjut Myra, Depnakertrans sudah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. Bulan lalu kami sudah membicarakan hal ini dengan Mahkamah Agung. Awal bulan depan kita akan membahas lagi masalah ini.

 

Myra enggan membicarakan lebih jauh mengenai rencana apa yang akan disepakati dengan Mahkamah Agung untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi yang jelas Myra mengakui bahwa UU PPHI memang kecolongan. Sepanjang mengacu pada UU PPHI, hasilnya akan begini, katanya. Namun Myra juga enggan menjawab ketika ditanya apakah akan merevisi UU PPHI atau tidak.

 

Mahkamah Agung hingga berita ini diturunkan belum bisa dimintai konfirmasi. Juru bicara MA, Djoko Sarwoko mengaku sedang di luar kota untuk mengikuti sebuah acara. Sementara Nurhadi, Kepala Biro Humas MA tak bisa dihubungi melalui telepon.

 

Apapun yang dipilih, nampaknya Mahkamah Agung dan Depnakertrans harus cepat-cepat mengeluarkan solusi terhadap masalah ini. Karena seperti diungkapkan Arsyad, MA masih menunggak beberapa sisa perkara-perkara P4P.

 

Maret 2008, puluhan orang menggeruduk gedung DPR di Jakarta. Mereka menuju ke ruangan Komisi III yang membidangi masalah hukum. Mereka tidak datang untuk berunjuk rasa. Hanya bermaksud mengadukan nasib mereka yang terkatung-katung. Mereka yang datang ke Senayan adalah mantan pekerja Pertamina, yang diwakili Alex dan kawan-kawan (dkk).

 

Alex dkk merasa bingung dengan sikap Pertamina yang tak mengindahkan putusan Mahkamah Agung. Lembaga kehakiman tertinggi di Indonesia ini menjatuhkan putusan yang menetapkan Alex dkk sebagai pegawai tetap Pertamina. Namun hingga Alex dkk berangkat ke DPR, Pertamina tak kunjung mengangkat mereka.

 

Jauh sebelum Mahkamah Agung memutus perkara ini, Alex dkk sudah saling berhadapan dengan perusahaan negara yang 'mengurusi' minyak bumi ini di tingkat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), kemudian di tingkat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Pihak yang tak puas dengan putusan P4P, bisa mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Masih tak puas, bisa kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Proses persidangan akhirnya berpihak kepada Alex dkk, ketika mereka menang pada tingkat terakhir. Namun kemenangan itu tak membuahkan hasil karena sampai sekarang mereka tak kunjung dipekerjakan kembali. Faktanya, teramat sulit bagi Alex dkk untuk merealisasikan kemenangan.

 

Tak Dapat Dilaksanakan Lagi

Akhir Mei 2008, di gedung Mahkamah Agung, Paulus Effendie Lotulung, Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara MA meneken sebuah surat tertanggal 30 Mei 2008. Isinya adalah pendapat hukum terhadap suatu putusan perkara PT TUN Jakarta yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Tags: