Menanti Putusan ‘Serta-Merta' di Pengadilan Hubungan Industrial
Fokus

Menanti Putusan ‘Serta-Merta' di Pengadilan Hubungan Industrial

Secara normatif, hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat menjatuhkan putusan serta-merta. Faktanya, hampir tak ada hakim yang melaksanakannya. Butuh hakim yang berhati nurani untuk menerapkannya.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Menanti Putusan ‘Serta-Merta' di Pengadilan Hubungan Industrial
Hukumonline

 

Selain itu, penjatuhan putusan sela pada persidangan pertama di PHI memang bukan hal yang lazim di pengadilan negeri. Dalam peradilan perdata, sidang pertama biasanya dilakukan untuk memeriksa dokumen dan kelengkapan administrasi para pihak yang bersengketa.

 

Masih mau bukti lain? Simak Pasal 91 Ayat (1) UU PPHI. Berdasarkan pasal ini, hakim dapat lebih ‘aktif' dalam proses pembuktian di persidangan. Melabrak asas ‘siapa mendalilkan dia harus membuktikan', hakim bisa memerintahkan siapa pun untuk menyingkap dokumen, seperti buku dan surat-surat yang diperlukan.

 

Putusan Serta-Merta

‘Terobosan' dalam UU PPHI masih ada di bagian lain. Lihat saja Pasal 108 UU PPHI yang menyebutkan, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.

 

Dalam hukum acara perdata dikenal uitvoerbaar bij voorraad yang diterjemahkan secara bebas sebagai putusan serta-merta, alias putusan yang dapat langsung dieksekusi walau belum berkekuatan hukum tetap. Jika dicermati, Pasal 108 UU PPHI memiliki makna yang sama dengan putusan serta-merta.

 

Dalam peradilan perdata, hakim tak boleh sembarangan mengeluarkan putusan serta merta. Di dalam HIR dan Rbg –hukum acara peninggalan Belanda- dan Surat Edaran Mahkamah Agung disebutkan beberapa syarat atau keadaan yang membolehkan hakim menjatuhkan putusan serta-merta. Syarat itu antara lain, gugatan harus didasarkan atas alas hak yang berbentuk akta otentik, atau oleh akta bawah tangan yang diakui, maupun didasarkan atas putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Berbeda dengan mekanisme yang berlaku di peradilan perdata. Pasal 108 UU PPHI maupun penjelasannya sama sekali tidak menyebutkan secara jelas mengenai syarat apa saja yang harus dipenuhi supaya hakim dapat mengeluarkan putusan serta-merta itu.

 

Praktiknya?

Sayang, ‘terobosan-terobosan' yang tertuang dalam UU PPHI tak bisa dilaksanakan di persidangan. Setidaknya, demikian pengamatan hukumonline atas praktik persidangan di PHI Jakarta.

 

Tak pernah ada putusan sela di persidangan pertama yang menghukum pengusaha  membayar upah selama proses. Apalagi sampai keluarnya penetapan majelis hakim untuk melakukan sita jaminan terhadap perusahaan. Tak pernah ada pula ‘keaktifan' hakim untuk memerintahkan para pihak menyingkap dokumen saat proses pembuktian berlangsung.

 

Begitu juga dengan putusan serta-merta ala Pasal 108 UU PPHI. Sejauh pengamatan hukumonline belum pernah ada hakim yang dalam amar putusannya menyatakan, Putusan ini dapat dijatuhkan terlebih dahulu, meskipun ada perlawanan atau kasasi.

 

Hakim karir PHI Jakarta Sir Johan mengakui belum pernah menjatuhkan putusan serta-merta selama menjadi hakim PHI. Resikonya terlalu besar. Bagaimana kalau ternyata putusan hakim PHI dibatalkan di tingkat kasasi. Sebagai contoh, kalau di tingkat PHI perusahaan dihukum membayar pesangon dan dilaksanakan secara serta-merta. Tapi dibatalkan di Mahkamah Agung. Bagaimana menjamin buruh bisa mengembalikan pesangon itu? kata Sir Johan, Kamis (27/11).

 

Butuh Hakim Bernurani

Gunawan Oetomo, salah seorang yang terlibat dalam perumusan UU PPHI, menuturkan latar belakang lahirnya pasal-pasal ‘terobosan' dalam UU PPHI. Berkaca pada pengalaman terdahulu, kata Gunawan, buruh lebih sering menang di atas kertas. Biasanya putusan yang memenangkan buruh selalu ditangguhkan oleh pengusaha, kata pria yang juga pakar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti ini.

 

Kondisi di mana kemenangan buruh selalu menjadi ‘sia-sia' ini lah yang kemudian mendorong tim penyusun UU PPHI memasukkan pasal-pasal ‘terobosan', termasuk Pasal 108 UU PPHI. Pokoknya supaya ada kepastian hukum bagi pekerja, katanya.

 

Gunawan menjelaskan, Tim Penyusun UU PPHI bukannya tidak mengerti hukum sehingga merumuskan pasal 108 UU PPHI yang tidak sesuai dengan hukum acara perdata. Berangkat dari visi untuk melindungi kepastian hukum bagi pekerja, maka Pasal 108 UU PPHI adalah lex specialis (peraturan yang lebih khusus, red) dari hukum acara perdata.

 

Mengenai tak pernahnya pasal-pasal ‘terobosan' ini dijalankan hakim PHI, Gunawan menanggapi, hanya hakim yang mengadili berdasarkan keadilan dan hati nurani saja yang mau menerapkan pasal itu.

 

Pengajar Hukum Acara Perdata Universitas Indonesia, Yoni A. Setyono turut berpendapat terhadap pasal-pasal ‘terobosan' ini. Menurut dia, seharusnya hakim lebih mengedepankan pasal-pasal itu ketimbang hukum acara perdata umum. Karena jelas dalam salah satu pasal dari UU PPHI itu disebutkan bahwa yang berlaku dalam PHI adalah hukum acara perdata biasa kecuali diatur lain. Nah ketika ada pengaturan lain, itu lah yang digunakan hakim. Bukan hukum acara perdata biasa lagi, pungkasnya melalui telepon, Kamis (27/11).

 

Kita tunggu saja hakim-hakim PHI yang berhati nurani mau menerapkan Pasal 108 UU PPHI dan pasal terobosan lainnya.

Pada satu kesempatan, hukumonline pernah berbincang dengan seorang aktivis serikat pekerja. Intinya ia mengakui, secara normatif, ada beberapa ketentuan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang sebenarnya merupakan ‘terobosan' bagi kekakuan hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Maklum, sesuai Pasal 57 UU PPHI, hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain.

 

Tak percaya? Silakan tengok Pasal 96 Ayat (1) UU PPHI. Pasal ini merumuskan, majelis hakim harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Putusan sela ini dijatuhkan pada persidangan pertama jika nyata-nyata pengusaha tidak membayar upah dan hak lainnya selama proses PHK.

 

Jika pengusaha tetap ‘membangkang' atas putusan sela, hakim dapat memerintahkan sita jaminan atas aset perusahaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 96 Ayat (3) UU PPHI.

 

Tidak seperti di hukum acara perdata di pengadilan negeri, putusan sela biasanya dijatuhkan hakim untuk menentukan berwenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili perkara tertentu.

Tags: