Guratan Pena untuk Melepas The Crusading Justice
Resensi

Guratan Pena untuk Melepas The Crusading Justice

Di tengah minimnya karya tulis hakim di lingkungan Mahkamah Agung yang dibukukan, kehadiran 18 tulisan dalam buku ini menarik untuk disimak. Sayang, masih ada clerical error dan kesalahan tatabahasa yang dapat mengganggu pembaca.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Guratan Pena untuk Melepas <i>The Crusading Justice</i>
Hukumonline

 

Sang teman, kata Laica, adalah orang yang sangat serius. Kalau sedang belajar di perpustakaan universitas, nyaris tidak bisa diganggu. Dia amat tekun, bagai pertapa yang tengah bersemedi. Di tempatnya menginap pun tak kalah tekun. Pernah, gara-gara keseriusan belajar, kompor temannya Laica  tadi nyaris meledak.

 

Meskipun tekun belajar, sang karib digambarkan Laica sebagai orang yang penuh canda, dan bukan tipikal pribadi yang kaku. Dia bukan een droge man. Dalam keseharian, teman tadi sering mengajak orang lain berprilaku jujur.

 

Beberapa tahun kemudian, ketika berkunjung ke Belanda, Laica menyempatkan diri ke warung kopi tempat ia bersama sahabat dari Indonesia menjadi tamu. Kepada si ibu tua penjaga warung kopi Laica berujar dalam bahasa Belanda: uw gast is flu de voorzitter van onze Hoge Raad. Tamu Anda yang biasa datang ke sini, kini sudah menjadi Ketua Mahkamah Agung, begitu kira-kira makna ucapan Laica. Si ibu terharu mendengar pernyataan pria asal Sulawesi Selatan itu, dan berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengan sang Ketua Mahkamah Agung.

 

Harapan si ibu tampaknya tidak akan kesampaian. Kalau bisa bertemu, posisi si tamu bukan lagi Ketua Mahkamah Agung. Sebab, pria yang digambarkan Prof. Laica tadi tidak lain adalah Bagir Manan. Terhitung per 1 November lalu, Bagir Manan memasuki usia pensiun. Di usia 67 tahun, kini Bagir bisa menghabiskan waktu bersama isteri, anak dan cucunya, seraya kembali ke lingkungan akademis.   

 

Sebelum secara resmi meninggalkan Medan Merdeka Utara, Bagir masih mendapat kado istimewa dari teman, kerabat dan koleganya selama memimpin Mahkamah Agung, 2001-2008. Kado itu berupa buku setebal 528 halaman, yang disusun oleh hakim agung H. Abdurrahman. Seperti dipaparkan penyusun, buku Bagir Manan: Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pegabdian) sengaja dibuat dalam rangka ulang tahun BM –begitu inisial Bagir sering disebut—ke-67 sekaligus melepasnya memasuki masa purna tugas sebagai hakim agung.

 

Penulisan buku semacam ini sudah sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang yang oleh koleganya dinilai berjasa. Sebelum menduduki kursi hakim agung, BM dikenal sebagai seorang guru besar hukum tata negara. Setelah menjabat Ketua Mahkamah Agung, ia dinilai berhasil meletakkan dasar-dasar keterbukaan dunia peradilan. Bagir Manan, kata hakim agung Dirwoto, telah menorehkan namanya dengan tinta emas pada catatan sejarah sebagai Ketua Mahkamah Agung yang arif lagi bijaksana (hal. 32).

 

Pak Bagir adalah sosok pribadi yang lembut, pekerja keras, dan tegas, akan tetapi sekaligus sangat santun dalam kesehariannya termasuk pada karyawan, puji hakim agung Kaimuddin Salle (hal. 83). Seorang karyawan, Hasbi Hasan, meneguhkan pendapat sebelumnya. Tidak banyak pejabat tinggi yang rendah hati, santun tetapi seteguh hati beliau, tulis Kabag Sespim D Mahkamah Agung itu (hal. 55).

 

BAGIR MANAN: ILMUWAN DAN PENEGAK HUKUM (KENANGAN SEBUAH PENGABDIAN)

 

Penyusun: Drs. H. Abdurrahman SH. MH

Penerbit: Mahkamah Agung RI, Jakarta

Tahun: 2008

Halaman: 528, termasuk lampiran foto

 

Pujian dan pandangan kolega terhadap Bagir Manan merupakan bagian awal buku ini. Ada 10 tulisan yang berisi kenangan khusus dan pengalaman sahabat dan kolega dalam bagian pertama buku terbitan Mahkamah Agung ini. Sebagian besar penulisnya adalah hakim agung atau mantan hakim agung, mulai dari H. Ahmad Kamil (Ketua Muda Pembinaan MA) hingga Prof. Kaimuddin Salle.

 

Bagian kedua buku sama sekali tak ada kaitannya dengan testimoni pengalaman pribadi terhadap Bagir Manan, melainkan kumpulan tulisan ilmiah. Ada 18 penulis yang menyumbangkan karya tulisnya. Seperti pada bagian pertama, hampir seluruh tulisan disumbangkan oleh para hakim agung. Kalaupun bukan tulisan hakim agung, penulis berlatar belakang hakim. Misalnya, Politik Hukum Kebijakan Legislasi Pembalikan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi yang ditulis Lilik Mulyadi (Wakil Ketua PN Kepanjen, Malang), atau tulisan hakim tinggi PT TUN Jakarta, Supandi (hal. 467).

 

Di tengah minimnya karya tulis hakim di lingkungan Mahkamah Agung yang dibukukan, kehadiran 18 tulisan dalam buku ini menarik untuk disimak. Minimal, pembaca bisa memahami arah pemikiran hakim bersangkutan mengenai suatu masalah hukum. Apalagi, materi yang ditulis cukup beragam, mulai dari arbitrase dan hukum adat hingga problem yang dihadapi peradilan syariah di Nanggroe Aceh Darussalam. Mulai dari peradilan anak hingga studi komparasi sistem peradilan di Sudan.

 

Tulisan-tulisan beragam itu dikompilasi menjadi sebuah buku menarik. Apalagi ada bagian yang menyinggung penggeledahan ruang Bagir Manan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini dianggap jarang terjadi di dunia, dimana ruangan seorang ketua MA digeledah penyidik. Tetapi Bagir mengizinkan. Ia ingin menunjukkan kepada publik bahwa dirinya bersih dari tuduhan korupsi. Ia berusaha pasang badan untuk melindungi Mahkamah Agung sebagai institusi terhormat. Dalam kasus ini, Laica menggambarkan Bagir Manan sebagai the crusading justice. Ia berada di garis terdepan.

 

Begitulah pandangan kolega yang dipaparkan dalam buku ini. Bisa jadi, pandangan akan lain jika ditanyakan kepada para aktivis yang selama ini mengkritik Mahkamah Agung di bawah kepemimpinan Bagir. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, kehadiran buku ini patut diapresiasi.

 

Sayang, meskipun sudah mengerahkan 15 nama dalam penulisan, termasuk sejumlah hakim agung, pembaca masih gampang menemukan kesalahan-kesalahan yang tak seharusnya terjadi. Clerical error dan ketatabahasaan terasa mengganggu khususnya di bagian pertama yang memuat kenangan dan testimoni sejumlah kolega. Bayangkan, untuk menulis nama Indonesia pun bisa salah, ditulis menjadi Indoensia (hal. 37), dan nama hakim agung Kaimuddin Salle, ditulis berbeda menjadi Kaimuddin Saleh pada daftar isi.

Profesor HM Laica Marzuki punya pengalaman tak terlupakan sewaktu berkunjung ke Rijkuniversiteit Utrecht, Belanda. Kunjungan tahun 1989 silam itu adalah dalam rangka penulisan buku hukum administrasi. Bersama teman yang ikut proyek penulisan buku itu, mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu sering mengunjungi sebuah kedai kopi yang terletak di tempat agak berbukit, tak jauh dari gedung afdeling administratiefrecht Rijkuniversiteit. Penjaga warung itu adalah seorang ibu tua yang ramah.

 

‘Ngopi' adalah salah satu cara Profesor Laica dan rekan-rekannya menikmati waktu istirahat. Di sana mereka berbincang mengenai banyak hal, mulai dari isu hukum administrasi dan tata negara hingga rasa rindu ke Tanah Air. Setelah itu mereka kembali kepada rutinitas dan kesibukan. Kalau sudah menyibukkan diri, alamat sulit untuk diganggu. Laica menceritakan gambaran tentang seorang teman kerja sewaktu berada di Negeri Kincir Angin itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: