Dari Salah Tangkap Sampai SKB Empat Menteri
Catatan Akhir Tahun Komnas HAM:

Dari Salah Tangkap Sampai SKB Empat Menteri

Sepanjang 2008, secara substansial pemerintah dianggap gagal memenuhi kewajibannya sebagai pemangku pertama dalam memenuhi HAM sesuai yang dimandatkan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Oleh:
Nov/IHW
Bacaan 2 Menit
Dari Salah Tangkap Sampai SKB Empat Menteri
Hukumonline

Komnas HAM, dalam kurun setahun belakangan mencatat beberapa kegagalan pemerintah dalam pemenuhan HAM. Walau dalam tataran normatif dan institusional menunjukkan kemajuan dalam perlindungan HAM, tetapi implementasinya, pemerintah masih dianggap kurang responsif. Terutama dalam pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan bagi korban, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.  

 

Dari 28 kategori hak yang dilanggar, hak untuk memperoleh keadilan yang paling besar presentasinya. Komnas HAM mencatat dari 4253 pengaduan yang masuk, periode September 2007-September 2008, 1396 pengadu telah dilanggar hak atas memperoleh keadilannya. Itu setara dengan 33%.

 

Empat Besar Hak yang Dilanggar

Kategori*

Jumlah Pengaduan

Presentase

Hak untuk memperoleh keadilan

1396

33%

Hak untuk bertempat tinggal

693

16%

Hak pekerja

601

14%

Hak untuk memperoleh rasa aman

428

10%

Sumber: Rekapitulasi Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM

 

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menjelaskan, hak untuk memperoleh keadilan ini maksudnya mereka yang mencoba mencari penyelesaian terhadap kasus-kasus mereka melalui instrumen hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan keadilan. Salah satunya, seperti yang dialami oleh korban-korban salah tangkap, seperti Kemat Cs –Imam Hambali, David Eko Priyanto, dan Maman Sugiyanto.

 

Memang, Kemat Cs sudah dibebaskan beberapa hari lalu melalui putusan Mahkamah Agung (MA). Namun, mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang ditempuh Kemat Cs dianggap Supriyadi, peneliti Elsam, bukanlah langkah proaktif dari pemerintah. Bahkan dari institusi yang ternyata telah melakukan kesalahan, yakni Kepolisian.

 

Menurut Supriyadi, pemerintah memberikan kompensasi dan rehabilitasi tanpa korban yang meminta lebih dulu. Kemudian, dalam konteks legal formal Mabes Polri dan Kejaksaan meminta MA untuk mengecek  lagi, oh ini ternyata peradilan sesat karena mereka dipaksa, atau salah tangkap, sehingga tolong dong diberikan amnesti atau PK.

 

Faktanya, lanjut Supriyadi, malah pihak korban itu sendiri yang seakan-akan harus mengadvokasi dirinya. Tapi, hal ini juga tidak terlepas dari mekanisme yang ada dalam KUHAP. Untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan mekanisme yang mengharuskan korban untuk menuntut. Belum lagi proses yang berbelit dan lama karena juga jarang juga ditanggapi, kecuali media blow up besar-besaran, ujarnya.

 

Selain menyoroti kasus salah tangkap, kasus berlarut-larut lumpur Lapindo juga menjadi salah satu catatan Komnas HAM. Pembayaran ganti kerugian rugi dalam bentuk cicilan itu dianggap Komnas HAM melanggar ketentuan Perpres No. 14 Tahun 2007. Walau sebagian korban menentang pembayaran ganti rugi secara menyicil, harusnya, kata Ifdhal, ada mekanisme tertulis tentang ganti kerugian secara cicilan. Harus ada dasar hukumnya mereka memberikan ganti rugi dengan cicilan. Perpres itu harus diamandemen. Kalau tidak, berarti ada pelanggaran terhadap Perpres.

 

Kemudian, masalah pelaksaanaan hukuman mati yang akhir-akhir ini meningkat. Enam orang terpidana mati dieksekusi pada periode Januari-Juli 2008. Pada November 2008 lalu, tiga terpidana mati bom bali I –Amrozi Cs- juga dieksekusi. Yang lebih memprihatinkan, menurut Ifdhal, adalah putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hukuman mati. Ini menjadi catatan yang memprihatinkan terkait dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan dan memperhatikan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

 

Padahal, Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional mengenai hak sipil dan politik, sehingga mau tidak mau pemerintah harus melakukan moratorium. Sebagaimana dinyatakan dalam berbagai deklarasi yang berkaitan dengan hukuman mati ini, bagi negara-negara yang sistem hukumnya masih memberlakukan hukuman mati, negara itu diberikan kesempatan untuk melakukan moratorium. Sambil suatu ketika nanti akan menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya, imbuh Ifdhal.

 

Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah untuk melakukan moratorium. Ini sebagai konsekuensi dari keterikatan Indonesia terhadap konvensi internasional mengenai hak sipil dan politik. Karena nanti pada tahun 2009, kita akan memberikan laporan kepada Komite HAM (internasional) dalam rangka implementasi kewajiban kita ini, papar Ifdhal.

 

Setali tiga uang dengan Ifdhal, Supriyadi menganggap dengan sudah ditandatanganinya konvensi hak sipil dan politik, pemerintah harus melakukan langkah sistematis untuk berangsur-angsur menghapus mekanisme hukuman mati. Moratorium itu juga dapat digunakan sebagai parameter untuk menguji efektif atau tidaknya jenis hukuman ini. Selama ini hukuman mati kan dikatakan ‘untuk keadilan korban'. Padahal, dalam konteks tertentu korban kan juga jenazah. Korban bom Bali tidak pernah mendapat kompensasi. Jadi, hanya alat untuk legitimasi saja, tukasnya.

 

Dan revisi KUHP, menurut Supriyadi, harus disegerakan. Walau tidak dapat langsung menghapus hukuman mati, sifatnya alternatif saja. Jadi, ada keadilan untuk para terdakwa hukuman mati itu supaya dia tidak dihukum mati.

 

Tujuh berkas macet

Catatan lain mengenai tujuh berkas kasus pelanggaran HAM yang masih macet di penyidik Kejaksaan Agung juga menjadi poin penting dalam laporan akhir tahun Komnas HAM. Ifdhal mengatakan sampai akhir tahun 2008 ini, setidaknya tujuh hasil penyelidikan Komnas HAM masih mandeg di Kejaksaan Agung. Kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Mei 1998, Semanggi I, Semanggi II, Wamena, Wasior, dan penculikan aktivis 1997-1998.

 

Memang sampai sekarang, untuk rekomendasi-rekomendasi, Komnas HAM tidak punya mekanisme yang kuat dari segi hukum untuk bisa memaksakan rekomendasi kita agar ditindaklanjuti oleh institusi tertuju, aku Ifdhal.

 

Menurut Ifdhal, kelihatannya diperlukan keputusan politik dari pemerintah. Karena kalau dibiarkan melulu seperti ini, maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM akan berputar di situ-situ saja. Seperti diketahui, pengadilan HAM Ad Hoc ini kan dibentuk melalui persetujuan DPR. Untuk itu, sambung Ifdhal, diperlukan komitmen pemerintah dalam memberikan keadilan bagi warga negara yang dirugikan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM.

 

Saya lihat pemerintah tidak begitu punya komitmen untuk mempertimbangkan keadilan untuk para korban. Justru keadilan bagi para pelaku yang dipertimbangkan, ujarnya.

 

Sementara, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung M Jasman Panjaitan yang dicoba dikonfirmasi mengenai masalah ini malah terkesan tidak peduli. Saya belum mau menanggapi masalah itu karena ada kasus korupsi yang lebih penting.

 

SKB empat menteri

Selain kategori pelanggaran HAM di atas. Komnas HAM juga menyoroti hak pekerja. Ternyata dalam kurun waktu September 2007-September 2008, 601 pengaduan masuk terkait pelanggaran hak pekerja. Salah satunya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor PER.16/MEN/IX/2008, 49/2008, 932.1/M-IND/10/2008, 39/M-DAG/PER/10/2008 tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang dikeluarkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan.   

 

Dengan SKB empat menteri ini, pemerintah dianggap Komnas HAM tidak melakukan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Kelompok rentan seperti pekerja atau buruh ini dinilai tidak memiliki kedudukan yang sama dengan pengusaha. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak boleh membiarkan mereka berhadapan langsung dengan pengusaha dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing, salah satunya upah.    

 

Sekjen DPN Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Indra Munaswar mengatakan SKB itu sudah selayaknya dicabut karena jelas-jelas merupakan pelanggaran konstitusional, yakni Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 huruf d ayat 2, dan Pasal 28 huruf I ayat 4 UUD 1945. Selain itu, kapasitas SKB tersebut sudah melebihi Undang-undang Ketenagakerjaan. Sudah jelas UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai penetapan upah minimum itu. Bahkan UU Ketenagakerjaan sudah menyebutkan mekanisme penangguhan upah minimum jika pengusaha tak mampu menerapkannya, tuturnya.

 

Lebih dari itu, lanjut Indra, jika SKB ini tetap dipertahankan, akan dapat memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Hal ini diamini Ifdhal, membiarkan pekerja berhadapan langsung dengan pengusaha merupakan pengabaian hak-hak buruh yang merupakan bagian dari hak asasi yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Dan hal itu akan berimplikasi langsung pada meluasnya pengangguran.

Tags: