Mengurai Tumpang Tindih Wewenang Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri
Berita

Mengurai Tumpang Tindih Wewenang Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri

Kalau ada orang yang tertangkap polisi karena main judi atau diadukan karena melakukan perzinahan, pengadilan mana yang berwenang mengadili? Mayoritas mahasiswa fakultas hukum mungkin akan menjawab: Pengadilan Negeri.

Oleh:
M-4/Mys
Bacaan 2 Menit
Mengurai Tumpang Tindih Wewenang Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri
Hukumonline

 

Ketua Mahkamah Syar'iyah Provinsi NAD itu mencoba memberi bukti. Pembinaan Mahkamah Syar'iyah tetap berada di tangan Mahkamah Agung (MA) sebagai peradilan negara tertinggi baik dalam bidang teknis yudisial maupun non-yudisial. Cuma, Puteh mengakui, orang masih sering bingung membedakan kedudukan Mahkamah Syar'iyah: apakah di bawah peradilan agama atau di lingkungan peradilan umum. Kebingungan itu muncul lantaran Mahkamah Syar'iyah berwenang mengadili perkara pidana (jinayah). Sekilas muncul kesan tumpang tindih kewenangan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syar'iyah dalam menangani perkara pidana.

 

Kebingungan itu sebenarnya coba dijawab pembuat undang-undang. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menempatkan peradilan syariat Islam di NAD sebagai peradilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang wewenangnya menyangkut kewenangan Pengadilan Agama. Tetapi, ia juga menjadi peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut wewenang peradilan umum.

 

Menyangkut perkara hukum keluarga dan keperdataan (mu'amalah) yang selama ini menjadi wewenang Peradilan Agama, otomatis dijalankan sepenuhnya Mahkamah Syar'iyah. Termasuk pertambahan wewenang peradilan agama di bidang ekonomi syariah setelah terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 

 

Sebaliknya, untuk perkara pidana, pelaksanaan wewenang itu dilaksanakan secara bertahap. Ada beberapa upaya dilakukan untuk menyamakan persepsi mengenai wewenang Mahkamah menangani perkara jinayah. Pada 9 Agustus 2004 seluruh pemangku kepentingan bidang hukum di Aceh –kejaksaan, kepolisian, pengadilan tinggi, Kanwil Hukum dan HAM, dan Mahkamah Syar'iyah—membuat Surat Keputusan Bersama. Inti SKB ini adalah masing-masing pihak bertekad melaksanakan tugas dan fungsi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap qanun jinayah. Dua bulan setelah SKB itu, terbit Surat Keputusan Ketua MA No. 070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar'iyah di Provinsi NAD. Ketua MA (kala itu) Bagir Manan turut hadir menyaksikan langsung serah terima kewenangan mengadili sebagian perkara keperdataan dan pidana dari peradilan umum.

 

Tanggal acara serah terima itu dijadikan batas penanganan perkara. Perkara perdata (mu'amalah) dan pidana (jinayah) yang sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) sebelum 11 Oktober 2005 tetap diputuskan oleh PN. Sejak saat itu, perkara perjudian, perbuatan mesum, dan minum-minuman keras tak lagi dilimpahkan ke PN. Hingga kini, ketiga perkara jinayah itu ditangani dan diputus Mahkamah Syar'iyah.

 

Pelimpahan ketiga jenis perbuatan pidana itu ke Mahkamah Syar'iyah juga didasari terbitnya peraturan daerah terkait: Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar (Minuman Keras), Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum).

 

Sejak 2006, kewenangan Mahkamah Syar'iyah menangani perkara pidana semakin dipertegas. Pasal 128 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh 2006 merumuskan bahwa Mahkamah Syar'iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), mu'amalah (perdata), dan jinayah (pidana) yang didasarkan atas syariat Islam. Ayat (4) mensyaratkan bidang-bidang tersebut diatur dalam Qanun.

 

Tetapi coba tanyakan pertanyaan yang sama dengan locus delictie di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Jawabannya bisa berbeda. Kini, Pengadilan Agama di Aceh –disebut Mahkamah Syar'iyah-- juga berwenang mengadili perkara pidana seperti judi dan zinah tadi. Data hingga pertengahan November 2008 membuktikan, sudah 279 perkara pidana yang ditangani Mahkamah Syar'iyah di seluruh Aceh. Perjudian menempati peringkat pertama dengan 158 kasus, disusul perkara yang menyangkut perbuatan mesum atau khalwat 62 kasus, dan minum-minuman keras 59 kasus.

 

Catat bahwa perkara-perkara tadi bukan disidangkan si peradilan umum, meskipun terdakwanya adalah sipil dan perbuatan pidananya masuk lingkup wewenang Pengadilan Negeri. Ke-279 kasus tadi ditangani Mahkamah Syar'iyah. Kalau di provinsi lain, Mahkamah ini disebut Pengadilan Agama. Lho, bagaimana mungkin Pengadilan Agama menangani perkara pidana?

 

Jawaban-jawaban atas pertanyaan itulah yang coba dijelaskan para pemangku kepentingan kepada puluhan mahasiswa hukum se-Indonesia yang berkumpul di Aceh selama dua hari, 19-20 November lalu. Mereka adalah peserta pertemuan Asian Law Student Association (ALSA). Mahkamah Syar'iyah bisa menjadi model tersendiri penyelesaian perkara, ujar Iskandar A. Gani, Pudek III Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, saat membuka acara.

 

Tetapi, jangan membayangkan Mahkamah Syar'iyah sebagai peradilan tersendiri, terpisah dari sistem peradilan nasional. Menurut A. Hamid Sarong, dosen Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, kehadiran Mahkamah Syar'iyah merupakan wujud akomodasi hukum nasional terhadap hukum Islam. Hukum Islam diakomodir secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi bagian dari sistem peradilan nasional.

 

Pasal 128 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merumuskan bahwa peradilan syariat Islam  adalah bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam yang berada di Aceh. Mahkamah Syar'iyah di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan bagian dari sistem peradilan nasional, tegas HM Saleh Puteh.

Tags: