Perppu JPSK Gagal Jadi UU
Utama

Perppu JPSK Gagal Jadi UU

Dari tiga RUU mengenai antisipasi krisis yang diajukan pemerintah untuk menjadi UU, hanya RUU JPSK yang ditolak DPR. Pemerintah pun diminta merevisi dan menyerahkan kembali draf RUU tersebut pada 19 Januari 2009.

Oleh:
CR2
Bacaan 2 Menit
Perppu JPSK Gagal Jadi UU
Hukumonline

 

Dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU.

 

Saat membacakan tanggapan Fraksi, FPDIP yang diwakili oleh Yulianto Sumarli mengatakan, RUU JPSK mengandung beberapa kelemahan. Seperti skema dana talangan (bail out) yang terlalu luas mencakup bank dan lembaga keuangan non bank. Kemudian, mekanisme pertanggungjawaban publik yang longgar karena tidak melibatkan DPR. Di sini, tidak ada kejelasan secara eksplisit dan rinci mengenai peranan DPR dalam melakukan pengawasan uang negara yang digunakan dalam bail out bank dan lembaga keuangan non bank, kata Yulianto.

 

Begitu juga tentang mekanisme pengambilan keputusan internal yang dinilai terlalu sempit. Alasannya keputusan hanya melibatkan Gubernur BI dan Menkeu. Pada prinsipnya, kata Yulianto, kewenangan yang besar tersebut harus disertai dengan pengembalian keputusan yang lebih hati-hati dan melibatkan berbagai unsur pemerintahan.

 

Perlu Perbaikan

Disamping itu FPDIP berpendapat, RUU JPSK juga menyebut dua tindakan yang berbeda yang akan dilkakukan dalam mengamankan sistem keuangan nasional. Yakni tindakan pencegahan yang tercantum pada Pasal 3, dan tindakan penanganan krisis pada Pasal 4. Menurut FPDIP, seandainya pemerintah tidak mengumumkan sistem keuangan nasional sedang dalam keadaan krisis, maka akan sulit untuk menilai apakah tindakan yang dilakukan pemerintah tersebut dalam rangka tindakan pencegahan atau tindakan menangani krisis.

 

Sementara FPAN yang diwakili oleh Marwoto Mitohardjono mengatakan, pada prinsipnya, FPAN memandang bahwa JPSK diperlukan untuk mencegah dan mengatasi resiko dan krisis pada sektor keuangan dan perbankan. Selain itu, JPSK memerlukan mekanisme yang memungkinkan diperolehnya keputusan secara cepat. Meski demikian, penanganan yang bergerak cepat tersebut harus sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karenanya, FPAN memandang perlu adanya perbaikan pada batang tubuh dari Perppu JPSK tersebut.

 

Batang tubuh yang perlu diperbaiki tersebut menyangkut definisi JPSK yang ada di Pasal 1, Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) yang ada di Bab 3, pencegahan krisis dalam Bab 4, penanganan krisis dalam Bab 5, dan sumber pendanaan dalam Bab 7. Tidak sampai disitu, FPAN juga mempertanyakan urgensi Pasal 29 yang memberikan imunitas kepada Menkeu dan Gubernur BI dari tuntutan hukum dalam melaksanakan perppu ini. 

 

FPKB yang diwakili oleh Misbah Hidayat juga mempertanyakan mengenai KSSK. Menurutnya, pembentukan KSSK dinilai kurang efisien dalam penanganan krisis keuangan global. Soalnya, penanganan krisis keuangan sudah terdapat dalam perppu dan UU sendiri. Jadi KSSK merupakan perwakilan dari lembaga-lembaga yang sudah ada, yang anggota sekaligus ketuanya adalah Menkeu dan Gubernur BI sebagai anggota. Mengapa itu tidak dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sudah ada saja, kata Misbah.

 

Selain itu, sambung Misbah, Perppu JPSK secara umum didisain hanya untuk mencegah kepanikan, bukan untuk pendekatan terapi pada saat krisis terjadi. Untuk itu, berkaitan dengan Perppu JPSK ini, masih perlu pertimbangan lebih mendalam untuk disahkan menjadi UU, tambahnya.

 

FPKS lain lagi. Partai ini bisa dibilang 'inkonsisten' dalam mengambil keputusan. Saat pembahasan di tingkat pertama, FPKS keberatan dengan struktur KSSK yang diketuai sekaligus sebagai anggotanya adalah Menkeu dan Gubernur BI. Menurut FPKS, hal itu akan mudah diinterpretasikan dengan Dewan Moneter yang dibentuk pada masa Orde Baru. Sementara UU BI telah mengatur bahwa negara telah memiliki Gubernur BI yang otonom dengan kewenangan penuh untuk mengurusi masalah moneter. Tapi di saat paripurna, FPKS yang juga terlihat plin plan saat memutuskan RUU Minerba, malah menyetujui Perppu JPSK menjadi UU meski dengan catatan. 

 

Bukan Dewan Moneter

Sri Mulyani tak tinggal diam. Dia menegaskan, KSSK bukanlah Dewan Moneter. Dewan Moneter dibentuk bedasarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Tugasnya membantu pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebiajakan moneter dengan mengajukan patokan-patokan dalam rangka menjaga kestabilan moneter, pemenuhan kesempatan kerja, dan peningkatan taraf hidup rakyat. Dewan moneter juga bertugas untuk memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karena pada saat itu bank sentral masih bagian dari pemerintah, ujar Sri Mulyani.

 

Sementara KSSK, lanjut Sri Mulyani, mempunyai tugas yang berbeda. KSSK mengevaluasi dan menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank atau lembaga keuangan non bank yang ditengarai berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. KSSK juga bertugas menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank atau lembaga keuangan non bank dari dampak krisis. Bedasarkan tugas-tugas tersebut, KSSK tidak berwenang untuk menetapkan kebijakan moneter dan tidak berwenang untuk memimpin dan mengkoordinasi pelaksanaan kebijakan moneter, katanya.

 

Terkait dengan perananan Menkeu sebagai Ketua KSSK dan Gubernur BI sebagai anggota KSSK, antara lain karena mempertimbangkan dampak sistemik. Menurut Sri Mulyani, permasalahan pada bank dan/atau lembaga keuangan non bank yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, merupakan kewajiban Menkeu sebagai pembantu Presiden.

 

Kebijakan ini membutuhkan dana yang relatif besar, sehingga dapat menimbulkan masalah bagi keuangan negara. Oleh karena itu, Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara, perlu melakukan analisa resiko fiskal dan menghitung kebutuhan dana tersebut agar tidak menyebabkan APBN menjadi kolaps. Dalam hal ini, Menkeu harus meminta persetujuan dan mempertanggungjawabkan dana itu kepada DPR.  

 

Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, wajar jika Menkeu ditunjuk sebagai ketua KSSK. Alasannya, Menkeu yang menentukan tindakan, bukan Gubernur BI yang membawa persoalan perbankan untuk bisa mempengaruhi dan membebani APBN. Pada akhirnya, Menkeu lah yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik kepada DPR dan masyarakat, katanya.           

 

Langgar Independensi BI

Mengenai Perppu JPSK yang dianggap melanggar independensi BI, Sri Mulyani mengatakan perppu tersebut adalah amanat dari UU BI itu sendiri. Dalam UU BI disebutkan, dalam rangka menjaga stabilitas rupiah, BI mempunyai tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan mengatur serta mengawasi bank.

 

UU BI juga mengatur bahwa pihak lain dilarang ikut campur terhadap pelaksanaan tugas BI tersebut. Sementara dalam Perppu JPSK, KSSK tidak berwenang untuk melakukan tugas BI, melainkan hanya bertugas menetapkan penanganan masalah likuiditas dan atau solvabilitas bank yang ditengarai dapat berdampak sistemik. Sedangkan pengaturan dan pengawasan terhadap bank masih tetap dilakukan oleh BI secara sepenuhnya.

 

Sidang paripurna pengesahan ketiga perppu tersebut sempat diskors selama 30 menit. Waktu selama itu digunakan untuk lobi antar fraksi mengenai Perppu JPSK. Hasilnya, Rapat Paripurna yang memakan waktu sekitar 4 jam tersebut, hanya mengesahkan dua perppu menjadi UU. Yakni Perppu No. 2/2008 dan Perppu No. 3/2008. Sedangkan Perppu JPSK, pemerintah diminta untuk merevisi beberapa pasal di dalamnya dan diserahkan kembali pada 19 Januari 2009.

Senyum Sri Mulyani Indrawati tak sesumringah saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (RUU LPEI). Kini, Menko Perekonomian sekaligus Menteri Keuangan itu harus kembali memutar otak untuk merevisi RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang ditolak DPR pada Kamis (18/12). RUU JPSK sebelumnya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 4 Tahun 2008. Perppu ini dibuat untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan global yang ikut dirasakan Indonesia.

 

Ditolaknya RUU JPSK jelas menjadi beban baru bagi pemerintah. Apalagi Perppu JPSK sudah terlanjur digunakan. Dan peraturan teknisnya seperti Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum, juga sudah diimplementasikan. Salah satunya untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dialami PT Bank Century Tbk. Setidaknya pemerintah harus buat peraturan baru untuk mengantisipasi apabila ada bank kolaps seperti Bank Century.

 

Pemerintah masih beruntung. Sebab dua perppu lainnya diloloskan DPR untuk menjadi UU. Kedua perppu itu adalah Perppu No. 2 Tahun  2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), dan Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

 

Sebagai informasi, pemerintah beberapa waktu lalu mengajukan ke DPR tiga RUU yang sebelumnya berbentuk perppu untuk disahkan menjadi UU. Pertama, RUU tentang Penetapan Perppu No. 2/2008. Kedua, RUU tentang Penetapan Perppu No. 3/2008. Dan ketiga, RUU tentang Penetapan Perppu No. 4/2008.

Halaman Selanjutnya:
Tags: