Perlakuan Diskriminasi Masih Terjadi pada Penyandang Cacat
Berita

Perlakuan Diskriminasi Masih Terjadi pada Penyandang Cacat

Para penyandang cacat masih dipandang sebelah mata, termasuk dalam kesempatan memperoleh pekerjaan yang layak. Akibat tak berjalannya fungsi pengawasan?

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Perlakuan Diskriminasi Masih Terjadi pada Penyandang Cacat
Hukumonline

 

Boleh jadi Gufron hanya satu dari sekian ratus atau ribuan penyandang cacat lainnya yang beruntung. Tidak hanya atas kesempatannya bekerja, tapi juga beroleh posisi dan jabatan yang tinggi.

 

Pada prinsipnya, setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan. Bagian penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan itu makin menegaskan, ‘Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat'.

 

Meski harus diperlakukan sama, namun dalam hal-hal tertentu perlakuan berbeda terhadap pekerja penyandang cacat mesti diterapkan. Hal ini diatur dalam Pasal 19 yang merumuskan, ‘Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanaan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan'.

 

Perlindungan kesempatan yang sama bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan tidak hanya diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Jauh sebelum UU itu lahir, pemerintah dan DPR sudah menerbitkan UU tentang Penyandang Cacat No. 4 Tahun 1997.

 

UU Penyandang Cacat bahkan terlihat sebagai payung hukum bagi penyandang cacat. Khusus mengenai aksebilitas kerja, UU ini bahkan menentukan bahwa perusahaan negara dan swasta memberi kesempatan kepada penyandang cacat untuk bekerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 UU Penyandang Cacat.

 

Sementara pada bagian penjelasan Pasal 14 UU, ditentukan mengenai perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang penyandang cacat untuk tiap 100 karyawan. Masih ada beberapa peraturan perundang-undangan lain yang melindungi kepentingan penyandang cacat, sebut misalnya UU Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Lemahnya Pengawasan

Meski banyak aturan hukum yang melindungi penyandang cacat, toh pada praktiknya sulit menemukan Gufron-Gufron lain di tiap perusahaan.

 

Heppy Sebayang, Koordinator Advokasi dan Bantuan Hukum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, menyoroti sisi implementasi peraturan yang masih minim. Undang-undangnya sudah bagus dan cukup lengkap menurut saya. Tinggal bagaimana implementasi dari undang-undang itu.

 

Lebih jauh Heppy juga mengeluhkan minimnya pengawasan oleh instansi pemerintahan terkait. Dalam konteks ketenagakerjaan, sudah sepatutnya pegawai pengawas dinas tenaga kerja mengawasi bagaimana kepatutan perusahaan dalam memberi kesempatan kerja kepada penyandang cacat. Faktanya, pengawasan Disnaker amat minim.

 

Harry Hikmat, Kabag Analisis Kebijakan Sosial Departemen Sosial berdalih bahwa Departemen Sosial (Depsos) tidak memiliki kompetensi untuk melakukan pengawasan terhadap perusahaan. Fungsi Depsos hanya dalam konteks rehabilitasi sosial. Artinya, mendidik, menyiapkan penyandang cacat untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat.

Awalnya setamat kuliah Gufron Sakaril menatap masa depan penuh percaya diri. Maklum, saat itu ia lulus dengan nilai yang tertinggi di kelasnya. Saya pikir, saya akan mudah mendapat pekerjaan dengan nilai saya yang cukup bagus. Tapi faktanya tidak, ujar Gufron membuka cerita.

 

Gufron adalah seorang penyandang cacat. Kedua lengannya tak tumbuh seperti lazimnya lengan orang lain. Selebihnya, tak ada perbedaan lain yang mencolok. Tapi jangan tanya nasib Gufron dalam hal pekerjaan. Sudah berapa lamaran saja saya buat ke perusahaan swasta? Tapi selalu gagal setelah saya datang interview, tutur dia dalam sebuah konferensi pers di Depkumham, Selasa (23/12).

 

Ironisnya, kegagalan tidak hanya diperoleh dari perusahaan swasta, tapi juga dari instansi pemerintah. Gufron bercerita tentang berapa kali ia gagal mengikuti tes penerimaan Pegawai Negeri Sipil lantaran tersandung syarat sehat secara jasmani dan rohani. Pada akhirnya saya merasakan sekali persepsi di masyarakat yang menyatakan bahwa penyandang cacat tak mampu bekerja.

 

Gufron tak cepat patah arang. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil. Pada 1994 ia diterima bekerja di Indosiar, sebuah televisi swasta nasional baru saat itu. Ia ditempatkan di bagian Humas. Waja, latar belakang pendidikannya adalah jurnalistik. Awalnya saya cuma dipekerjakan sebagai tukang kliping koran, aku Gufron. Karirnya terus melejit hingga pada 2000 ia diangkat sebagai Kepala Bagian Humas Indosiar.

Halaman Selanjutnya:
Tags: