Semoga Penerimaan Pajak Sebanding dengan Penyelesaian Kasus
Catatan Awal Tahun Perpajakan:

Semoga Penerimaan Pajak Sebanding dengan Penyelesaian Kasus

Peningkatan pencapaian penerimaan pajak tahun ini cukup memuaskan. Sayangnya, capaian tersebut tidak diimbangi dengan penyelesaian kasus-kasus penggelapan pajak. Kepercayaan WP terhadap kebijakan Pemerintah sangat menentukan.

Oleh:
CR2/Mys
Bacaan 2 Menit
Semoga Penerimaan Pajak Sebanding dengan Penyelesaian Kasus
Hukumonline

 

Departemen Keuangan mencatat, hinga 5 Desember 2008 total penerimaan pajak sebesar Rp597,5 triliun. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp289,7 triliun. Dengan demikian, target penerimaan negara telah mencapai 99 persen dari target APBN Perubahan 2008 yang sebesar Rp884,2 triliun. Sedangkan dari sisi belanja, hingga 5 Desember telah mencapai 86,5 persen atau Rp856,4 triliun dari target Rp987,4 triliun. Dirjen Perbendaharaan Negara Herry Purnomo menyatakan seluruh pengeluaran telah termasuk Rp130 triliun yang harus habis akhir tahun ini.

 

Meski begitu, Darmin bangga dengan pencapaian tersebut. Menurutnya, kenaikan penerimaan pajak juga dipengaruhi adanya faktor reformasi kelembagaan yang terjadi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang dimulai sejak 2006. Saat itu, direktorat yang dipimpinnya telah melakukan berbagai upaya untuk mereformasi sistem administrasi perpajakan. Di antaranya adalah perubahan orientasi pada struktur perpajakan.

 

Kepatuhan Wajib Pajak (WP) untuk melaksanakan kewajibannya sangat tergantung pada pendekatan dan kebijakan Pemerintah. Dalam konteks perpajakan, Pemerintah memegang posisi dominan dibanding WP. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP UI 15 Oktober lalu, Safri Nurmantu menegaskan bahwa penduduk sebagai WP tak boleh disalahkan jika sekiranya target perolehan pajak tidak tercapai. Bila terjadi keragu-raguan dalam menerapkan perundang-undangan pajak, maka rakyatlah yang harus dikedepankan. Mengapa? Pemerintah telah mendapat kesempatan pertama dan posisi dominan dalam menyusun dan menetapkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, jawab Safri Nurmantu.

 

Dengan kata lain, menurut Nurmantu, kepercayaan (trust) WP terhadap Pemerintah sangat menentukan capaian perpajakan. Pemerintah seyogianya terus membangun dan memelihara kepercayaan rakyat, melalui kebijakan-kebijakan yang populis.

 

Kebijakan Sunset Policy

Penerimaan pajak yang meningkat juga tak lepas dari kebijakan penghapusan sanksi pajak atau Sunset Policy yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak. Kebijakan ini diperlukan dalam rangka keterbukaan untuk melaksanakan kewajiban di bidang perpajakan. Dalam hal ini, Ditjen Pajak memungkinkan untuk mendeteksi ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh masyarakat melalui data perpajakan yang dimilikinya.

 

Sekedar mengingatkan, sunset policy merupakan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau badan. Penghapusan tersebut berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati oleh masyarakat, baik yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang telah memiliki NPWP pada tanggal 1 Januari 2008. Namun, kebijakan ini cuma bisa dinikmati hingga akhir tahun ini saja.

 

Kebijakan Sunset Policy dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Untuk peraturan pelaksanaannya ditetapkan dalam PMK No. 66 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyampaian dan Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) serta Persyaratan Wajib Pajak yang Dapat Diberikan Sanksi Administrasi dalam Rangka Penerapan Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP.

 

Kebijakan ini sempat mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis memprediksikan sunset policy selain bisa efektif untuk menambah jumlah wajib pajak, kebijakan ini bisa juga menyasar kepad orang-orang yang berpenghasilan tinggi dan punya aset yang banyak, namun tidak mempunyai NPWP.

 

Berbeda dengan Harry, ekonom Iman Sugema justru mengkritik kebijakan tersebut. Menurutnya, tanpa pengawasan ketat, sunset policy hanya menimbulkan masalah. Dalam hal ini, petugas pajak tetap harus bisa menalaah laporan yang diberikan wajib pajak dengan baik. Soalnya, Jika disalahgunakan, maka kejahatan perpajakan akan lebih sulit terdeteksi.

 

Darmin beruntung. Rupanya kebijakan Sunset Policy cukup ampuh. Dia mengklaim, hingga akhir November jumlah wajib pajak baru sudah melampaui target Ditjen Pajak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Pajak, potensi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bila menggunakan pendekatan berbasis karyawan dapat mencapai 13,1 juta. Perhitungan tersebut muncul dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007.

 

Adapun potensi NPWP baru berdasarkan properti, dapat mencapai 10,2 juta. Perhitungannya tersebut berdasarkan data Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), seperti rumah, toko, atau apartemen dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rp60 juta ke atas. Dan hingga akhir tahun 2008, Ditjen Pajak memiliki target 6,9 juta wajib pajak.

 

Seyogianya, sunset policy berakhir pada 31 Desember 2008. Setelah batas waktu tersebut, Ditjen Pajak berjanji akan mengenakan sanksi tegas dan upaya hukum terhadap WP nakal atau dengan sengaja menghindari kewajiban. Ketika batas waktu nyaris berakhir, pengunjung kantor pelayanan pajak membludak. Pemandangan itu terlihat ketika hukumonline mendatangi KPP Pratama Pulogadung di Jalan Pramuka Raya, Jakarta pada 30 dan 31 Desember. Mobil parkir para WP meluber hingga ke jalan.

Praktik penghindaran pajak bukan hanya dilakukan WP perseorangan, tetapi juga badan usaha. Disertasi Ning Rahayu, dosen perpajakan Universitas Indonesia, yang dipertahankan pada November 2008, menggambarkan modus penghindaran pajak (tax avoidance) pada perusahaan penanaman modal asing di Indonesia.

 

Ning Rahayu menjelaskan dalam disertasinya praktik penghindaran pajak dilakukan antara lain melalui skema transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign corporation, pemanfaatan tax heaven, dan treaty shopping. Praktik penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku, papar Ning Rahayu.

 

Penanganan Kasus

Ya, Darmin boleh lega dengan pencapaian penerimaan pajak di tahun ini. Tapi jangan lupa, masih ada pekerjaan rumah yang belum diselesaikan olehnya, yakni kasus penggelapan pajak Asian Agri Group (AAG). Kasus yang merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun ini merupakan kasus penggelapan pajak dengan nilai terbesar di tahun ini.

 

Hal itu diakui sendiri oleh Kepala Sub Direktorat Penyidikan Ditjen Pajak Pontas Pane. Dia mengatakan, kasus-kasus lain yang ditangani Ditjen pajak jumlahnya tak sebesar penggelapan pajak yang telah dilakukan oleh AAG yang merupakan anak perusahaan Raja Garuda Mas (RGM) milik pengusaha asal Medan, Sukanto Tanoto.

 

Bukan kasus AAG saja yang kiranya perlu diperhatikan. Hingga saat ini kasus-kasus pajak yang sudah masuk penyidikan oleh Ditjen Pajak antaralain 12 kasus dengan 18 tersangka dengan kerugian negara Rp414 miliar dan denda Rp112 miliar. Kasus-kasus itu pun sudah beres di pengadilan dan para tersangkanya juga telah dijerat hukum. Selain itu, terdapat 15 kasus dengan 12 tersangka yang sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).

 

Lalu dua kasus sudah status dan sudah selesai dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung (P 21) dengan dua tersangka dan dugaan kerugian mencapai Rp32,989 miliar. Dan masih ada lagi yang masih diproses penyidikan dengan dugaan kerugian negara Rp1,9 triliun, termasuk didalamnya 16 kasus AAG yang belum dilimpahkan ke Kejaksaan.

 

Modus yang pada kasus yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut sangat klasik, yakni tidak melaporkan omset, memungut PPN namun tidak setor ke kas negara, tidak melaporkan penghasilan sebenarnya dan faktur pajak fiktif. Sektor-sektornya terdiri dari perdagangan, industri, pabrikan dan perkebunan.

 

Keraguan akan selesainya kasus AAG pun mulai disangsikan. Koordinator Solidaritas Untuk Wajib Pajak (SUWAP) Ajiyana Brajamusti berpendapat, kasus penggelapan pajak yang kini ditangani oleh Ditjen Pajak sebaiknya segera dituntaskan oleh aparat pajak itu sendiri. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus AAG bisa mengundang celah bagi Kejagung untuk turut 'main mata' menangani kasus ini.

 

Menurut Ajiyana, sudah jelas dengan adanya kisah buruk atas penanganan kasus yang melibatkan konglomerat yang ditangani Kejagung (contohnya: penangkapan jaksa oleh aparat Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), telah menyebabkan traumatik hukum yang berdampak terhadap menurunnya indeks kepercayaan publik dalam penegakkan hukum oleh aparat Kejagung.

 

Tak bisa dipungkiri, kejahatan penggelapan pajak sangat merugikan masyarakat. Apalagi, pembiayaan APBN Indonesia sangat tergantung dari sektor yang satu ini. Segenap masyarakat pun berharap, apa yang dikatakan Ajiyana tidak menjadi kenyataan. Kini, bola ada di tangan aparat hukum negeri ini. Serius tidaknya dalam menangani masalah ini, yang pasti terdapat hak rakyat di dalamnya.

 

Ke dalam, Darmin Nasution berusaha menekan penyimpangan yang dilakukan anak buahnya. Berdasarkan data per November 2008, tercaqtat 356 aparat Ditjen Pajak yang telah dijatuhi hukuman. Jumlah ini meningkat dibanding 2007 yang hanya 254 orang, atau tahun sebelumnya yang berjumlah 210 orang. Mayoritas oknum aparat pajak dikenakan sanksi disiplin ringan.

 

Kerja keras aparat Ditjen Pajak tentu menjadi kunci untuk mencapai target pada 2009 ini. Apalagi diprediksi, krisis ekonomi akan berdampak pada perolehan pajak. Diperkirakan penerimaan pajak akan menurun akibat penurunan utilisasi kapasitas produksi di dalam negeri. Apalagi, jika krisis moneter terus menghantui hari-hari di tahun 2009 ini.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Darmin Nasution mungkin bisa sedikit tenang dengan pencapaian penerimaan pajak di akhir tahun. Hingga akhir November saja, realisasi penerimaan pajak sudah mencapai Rp508 triliun atau mencapai 95,13 persen dari target APBN-P 2008.  Jumlah ini meningkat sebesar 41,04 persen dibandingkan realisasi penerimaan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp360,5 triliun.

 

Meski begitu Darmin tetap mengakui, seiring pertumbuhan telah terjadi perlambatan penerimaan pajak. Perlambatan tersebut bisa dilihat sejak September, Oktober dan November 2008 yang hanya mencapai 20 persen. Padahal, bulan-bulan sebelumnya pertumbuhan penerimaan bisa mencapai di atas 30 persen.

 

Jika dilihat dari pertumbuhan kuartal per kuartal, melambatnya penerimaan pajak ini juga nampak jelas. Pada kuartal I 2008 pertumbuhan total penerimaan pajak sebesar 52,94 persen di banding periode yang sama di 2007. Demikian juga dengan pajak non migas yang masih bertumbuh sebesar 45,92 persen. Namun pada akhir Juni 2008, penerimaan pajak mulai melorot menjadi 50,78 persen. Kemudian pada akhir September turun menjadi 46,39 persen. Menurutnya, pertumbuhannya akan terus terkoreksi karena dampak krisis global.

 

Penerimaan pajak itu terdiri dari pajak non migas dan migas. Pajak non migas hingga November 2008 mencapai Rp437,39 triliun dan pajak penghasilan (PPh) sektor migas sebesar Rp71,09 triliun. PPh migas memang naik, tapi secara umum juga melambat seperti pajak non migas, kata Darmin.

 

Pajak non migas hingga November terdiri dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas Rp226,14 triliun. Dan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) sebesar Rp183,54 triliun. Pajak bumi dan bangunan sebesar Rp20,42 triliun. Serta bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar Rp4,52 triliun, dan pajak lainnya Rp2,74 triliun.

Tags: