Salah Tangkap Kemat Cs Berbuah Sanksi Etik dan Profesi
Berita

Salah Tangkap Kemat Cs Berbuah Sanksi Etik dan Profesi

Penyidik dan pembantu penyidik tidak boleh lagi menjabat fungsi reserse seumur hidup. Kapolsek dan Kasat Reskrim mendapat pembinaan ulang. Jaksa tidak diberi sanksi. Sanksi untuk hakim yang mengadili perkara Kemat pun tak jelas.

Oleh:
Nov/CR1/Ali
Bacaan 2 Menit
Salah Tangkap Kemat Cs Berbuah Sanksi Etik dan Profesi
Hukumonline

 

Seperti diketahui, identifikasi mayat yang ditemukan di kebun tebu di Jombang pada 27 September 2008, terungkap tidak dilakukan sesuai prosedur. Sehingga terjadilah kesalahan identifikasi yang akhirnya merembet menjadi salah tangkap, tuntut, dan hukum. Asrori yang diduga sebagai korban pembunuhan yang dilakukan Kemat Cs, terbukti tidak benar. Berdasarkan hasil tes Deoxiribo Nuclead Acid (DNA) Laboratorium Pusdokkes Polri, mayat tersebut adalah Fauzin Suyanto. Dan kini, tersangka –sebenarnya- pembunuh Fauzin sedang diproses hukum.

 

Untuk itu, selain memberikan hukuman kode etik profesi, ketiga belas personil Polri itu diultimatum Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk meminta maaf kepada Kemat Cs. Baik itu secara terbatas, seperti lewat surat, ataupun secara langsung, ujar Abu Bakar. Kemudian, dari Kapolda Jawa Timur, Kemat Cs diberikan uang silaturahmi. Sebesar Rp20 Juta diberikan kepada Kemat dan Devid. Rp10 juta kepada Maman, imbuhnya.

 

Dengan ini, kata Abu Bakar, kasus salah tangkap Kemat Cs diharap sudah tutup buku. Tidak ada lagi yang menanyakan tindakan apa yang dilakukan Polri kepada ketiga belas orang tersebut.

 

Sanksi untuk JPU dan hakim?

Penjatuhan sanksi ternyata tidak diberlakukan juga bagi penuntut umum dan hakim yang memvonis Kemats Cs. Padahal, yang terjadi pada Kemat dan Devid adalah salah vonis. Tentunya, ketiga pilar sistem peradilan pidana tersebut memiliki andil atas apa yang diderita Kemat Cs. Salah seorang pakar pidana pernah mengatakan seharusnya penuntut umum menganalisis bukti-bukti yang disodorkan penyidik, tidak hanya secara formal, tapi juga secara materil ketika di pengadilan. Apabila penuntut umum menjadi tidak yakin dengan dakwaannya, sudah sepatutnya terdakwa dituntut bebas, seperti yang terjadi pada kasus Udin Bernas di Yogyakarta.

 

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung M Jasman Panjaitan tetap kekeuh berdalih bahwa kesalahan ini bukan sepenuhnya akibat ulah penuntut umum karena pihaknya hanya meneruskan penyidikan yang dilakukan kepolisian. Kejaksaan kan hanya meneruskan penyidikan Polri. Namun, permintaan maaf sudah dilayangkan Jasman secara pribadi –sebagai Kapuspenkum- melalui media. Saya sudah minta maaf, dan diterima, dua kali saya minta maaf melalui Global TV dan TV One. Tapi secara institusi, belum karena tidak ada instruksi dari atasan untuk minta maaf.

 

Sama halnya dengan hakim Pengadilan Negeri Jombang yang memutus Kemat dan Devid masing-masing 17 tahun dan 12 tahun penjara. Bila Kepolisian mengumumkan secara terbuka penjatuhan sanksi ini, Mahkamah Agung (MA) justru bersikap sedikit tertutup. Sampai saat ini, publik tidak mengetahui apakah majelis hakim Pengadilan Jombang yang pernah memvonis Kemat dan David masing-masing 12 tahun penjara. MA memang akhirnya merevisi putusan ini dengan memutus bebas keduanya pada tingkat peninjauan kembali. Namun, terkait penjatuhan sanksi bagi para hakim PN itu masih gelap. 

 

Ketua Muda Bidang Pengawasan MA Djoko Sarwoko memang baru saja melansir telah menghukum 17 hakim nakal. Sayangnya, ia enggan membuka nama-nama hakim yang telah ditindak tersebut. Ini memang sudah menjadi kebiasaan di MA. Jangankan nama hakim, wilayah pengadilan tempat hakim itu bertugas juga tidak dipublikasikan. 

 

Bukan hanya publik yang tak bisa mendapatkan informasi nama hakim yang dihukum, lembaga pengawas eksternal MA semacam Komisi Yudisial (KY) pun tidak mengetahui. Padahal, tugas KY adalah memberi rekomendasi penjatuhan sanksi bagi hakim bermasalah. Jadi, KY tidak pernah tahu apakah rekomendasinya itu di follow up oleh MA atau tidak.

 

Di satu sisi, Komisioner KY Soekotjo Soeparto mengaku bisa memahami alasan MA. Mereka (MA) kan beralasan pengumuman sanksi itu bisa berdampak pada keluarga si hakim. Di sisi itu kita bisa menerimalah, ungkapnya. Namun sulitnya, lanjut Soekotjo ketertutupan ini akan membuat masyarakat tak tahu siapa saja yang telah dijatuhkan sanksi.  

Kasus salah tangkap yang terjadi di Jombang terhadap Imam Hambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto, dan Maman Sugianto akhirnya ditutup dengan pemberian sanksi kepada penyidik. Sanski itu dijatuhkan setelah Mahkamah Agung (3/12) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Kemat Cs. Kemat akhirnya bebas.

 

Kadiv Humas Mabes Polri Abu Bakar Nataprawira mengatakan sebelas orang penyidik dan pembantu penyidik dari Polres Jombang dan Polsek Bandar Kedung Mulyo diganjar sanksi kode etik profesi. Mereka dinilai tidak melakukan tugas secara profesional, sehingga dicopot dari jabatan fungsionalnya secara permanen sebagai reserse. Mereka selamanya tidak boleh lagi mengemban fungsi reserse. Jadi, tidak boleh menjadi penyidik maupun menjadi pembantu penyidik, jelasnya.

 

Selain sebelas personil tadi, Kapolsek Bandar Kedung Mulyo dan Kasat Reskrim Polres Jombang juga dikenai sanksi. Lantaran bukan aparat yang menyidik langsung, keduanya hanya diberi sanksi tidak boleh melakukan penyidikan perkara selama satu dan dua tahun. Hukuman ini disertai pula dengan pembinaan ulang profesi –dalam hal ini fungsi reserse. Menurut Abu Bakar, hanya sanksi etik dan profesi yang dikenakan kepada para penyidik. Dengan kata lain, tidak akan ada proses pidana bagi ketiga belas personil Polri yang terlibat dalam kasus salah tangkap Kemat Cs. Mereka cuma dianggap telah melakukan tugas secara tidak profesional.

Tags: